Jakarta, NU Online
Kondisi cuaca yang tidak menentu, kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan adalah dampak dari perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan, seperti penebangan liar. Perubahan iklim menyebabkan cuaca ekstrem dan kekeringan yang memicu kebakaran hutan menjadi lebih intens dan sering. Di sisi lain, deforestasi menghilangkan kemampuan tanah menyerap air, menyebabkan banjir saat musim hujan.
Di tengah kekhawatiran atas kondisi global itu, penting bagi tokoh agama untuk berbicara tentang pelestarian bumi dari mimbar, pesantren, rumah ibadah, madrasah, hingga kampus. Semangat inilah yang melandasi Kementerian Agama RI menggulirkan program penguatan ekoteologi, sebuah gerakan yang membangkitkan kesadaran umat beragama untuk merawat bumi.
Ekoteologi merupakan salah satu dari Asta Protas (8 program prioritas) Kementerian Agama RI yang menekankan hubungan manusia dengan alam berdasarkan nilai-nilai keagamaan dan keadilan ekologis.
Dalam konteks ini, ekoteologi menyoroti pentingnya menempatkan lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual umat beragama.
Gagasan ini bermula dari kegelisahan Menteri Agama RI Nasaruddin Umar melihat kondisi alam yang mengalami perubahan akibat ulah tangan manusia.
Dalam beberapa kesempatan, Nasar mengungkap manusia memiliki peran besar untuk menjaga bumi ini, sehingga tidak boleh memperlakukannya sebagai objek saja.
Penegasan ini disampaikan Nasaruddin dalam kegiatan International Conference on Islamic Ecotheology for the Future of the Earth (ICIEFE) 2025 dan Kick-Off for the Refinement of MoRA’s Qur’anic di Jakarta, Senin (14/7/2025).
"Jika menunda dunia ini kiamat maka jangan memperlakukan alam ini hanya sebagai objek semata. Sebebas-bebasnya kita mengeksploitasi alam semesta, alam raya, lingkungan melampaui daya dukungnya," kata Nasar.
Ia menambahkan bahwa pembakaran hutan, penimbunan pantai, penyempitan sungai, penggunaan pestisida, hingga pembakaran bahan terbarukan telah merusak ekosistem.
"Jadi ekosistem kita mulai rusak. Itu juga bukti bahwa kita gagal membangun persahabatan dengan alam semesta," kata Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta itu.
Menurutnya, setiap orang perlu mengubah mindset terhadap alam. Jangan menganggap alam ini the only object, tetapi harus menganggap alam ini adalah partisipan.
"Partner kita untuk menjalani kehidupan," tegasnya.
Ekoteologi memandang ketiga komponen ini sebagai satu kesatuan yang harus seimbang dan harmonis. Semakin kuat hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, semakin bermartabat manusia.
Hal ini yang kemudian ia sebut dalam ekoteologi. Konsep ini mengintegrasikan kesadaran lingkungan dengan nilai-nilai agama, yang menekankan hubungan sinergis antara manusia, alam, dan Tuhan (man, nature, and god).
Ia mendorong penerapan ekoteologi dalam berbagai sektor, seperti pendidikan (pesantren dan perguruan tinggi) melalui program penghijauan, gaya hidup hemat energi, dan pola konsumsi ramah lingkungan sebagai bentuk ibadah ekologis.
Di perguruan tinggi, Nasaruddin mendorong lembaga pendidikan teologi untuk mengembangkan ekoteologi, serta mengintegrasikannya ke dalam kurikulum cinta yang menekankan kasih sayang, empati, dan toleransi, termasuk terhadap alam.
Menag Nasaruddin juga mendorong gerakan menanam pohon sebagai ibadah ekologis yang bertujuan membangun kesadaran kolektif, selain manfaat ekologis dan sosialnya.
Di masjid, ia mengusulkan masjid menjadi pusat informasi dan edukasi untuk memberdayakan masyarakat dalam isu lingkungan.
"Revitalisasi nilai-nilai agama dapat menjadi fondasi etika lingkungan, dan ekoteologi menjadi strategi efektif untuk menumbuhkan kerukunan," ucapnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Lembaga Pembinaan, Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Al-Quran (LP3IA) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengapresiasi gerakan Kementerian Agama RI melalui program ekoteologi.
Gus Baha mengatakan bahwa salah satu keutamaan dalam surah Al-Mulk yakni Allah menegaskan betapa pentingnya mengelola alam secara hati-hati. Pasalnya, bumi telah didesain Allah sedemikian rupa, dan manusia bertugas memelihara ekosistem yang ada.
"Di situ manusia diingatkan oleh Allah Ta'ala. Kalau kamu hidup di bumi (merasa) tenang-tenang saja, bisa saja bumi ini tamur. Tamur itu likuifaksi," kata Gus Baha.
Gus Baha mengatakan, jika alam tak dikelola dengan baik boleh jadi benda-benda langit dapat membombardir bumi kapan saja.
"Potensi-potensi semacam itu menjadi alarm bagi manusia untuk bergerak menyelamatkan alam raya," terangnya.
Peran strategis tokoh agama
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid mengatakan bahwa tokoh agama di Indonesia memiliki peran strategis dalam menyuarakan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Ia menilai, agama sangat berpotensi untuk membangkitkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan pelestarian alam.
"Kalau di Indonesia pandangan agama itu penting sekali karena orang Indonesia sangat agamis. Sangat religius,” ungkap Alissa di Jakarta, Rabu (4/10/2023).
Sayangnya, religiusitas Muslim Indonesia terkadang berhenti di ritual ibadah semata seperti shalat, umrah, zakat, amal, infaq, dan sedekah. Padahal lebih dari itu, menjaga lingkungan juga termasuk pokok ajaran yang ditekankan dalam Islam.
“Sebagai umat Islam, karena tugas kita menjadi khalifah fil ard itu adalah memakmurkan bumi, maka bagian dari memakmurkan bumi itu adalah memelihara bumi,” terang Alissa.
Ia menekankan pentingnya peran pemimpin agama dalam menggugah kesadaran akan perubahan iklim kepada para jamaah termasuk menyiapkan pendakwah untuk membahas lingkungan.
“Kita perlu memperbanyak para dai-daiah, ustadz-ustadzah yang bicara tentang bagaimana hubbul bi’ah (cinta lingkungan), itu perlu untuk disampaikan. Lalu, menyampaikan ini mulai dari ceramah-ceramah sampai pembinaan-pembinaan langsung,” ungkap Alissa.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Abu Rokhmad mengatakan bahwa implementasi Asta Protas Kementerian Agama, pada butir keempat menekankan pentingnya penguatan ekoteologi.
Mandat ini juga sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, pada butir kedelapan Asta Cita yakni tentang penguatan harmoni lingkungan dan toleransi antarumat beragama.
Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2025, suhu global telah meningkat 1,3 derajat celsius dibandingkan masa praindustri, mendekati ambang batas 1,5 derajat yang ditetapkan dalam Paris Agreement.
Di Indonesia, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa 63 persen wilayah rawan bencana terkait langsung dengan krisis ekologis, antara lain banjir, kebakaran hutan, krisis air, dan gagal panen.
"Wacana ekoteologi Islam belum terintegrasi dalam kebijakan publik maupun pendidikan. Indonesia sebagai negara Muslim terbesar memiliki peran penting dalam menawarkan solusi berbasis nilai-nilai Islam yang ramah lingkungan," katanya.
Tak sekadar wacana
Rahma Shofiana dari Greenpeace Indonesia menilai langkah Kemenag dalam peluncuran program ekoteologi patut diapresiasi, karena sudah saatnya umat beragama mengambil tindakan untuk iklim.
"Pemimpin agama adalah salah satu yang paling berpengaruh di masyarakat Indonesia. Mereka memiliki peran dalam membimbing umat, dan mengedukasi komunitas tentang nilai-nilai agama," kata Rahma dihubungi NU Online secara terpisah.
Namun, ia menekankan agar alangkah baiknya nilai-nilai agama itu sejalan dengan aksi-aksi pelestarian lingkungan, sehingga umat beragama tidak hanya menjalankan ibadah sebagai ritual agama, tetapi juga sebagai kegiatan yang dapat menyelamatkan bumi dari krisis iklim.
"Program ekoteologi ini diharapkan tidak hanya sekedar menjadi jargon belaka. Tapi bagaimana kemudian bisa terwujud dalam kebijakan dan implementasi aksi," tuturnya.
Ia berpesan agar pelibatan anak muda dalam kampanye publik isu agama dan lingkungan ini.
"Suara anak muda berpengaruh dalam wacana dan kebijakan publik di Indonesia," katanya.
Greenpeace melaporkan perubahan iklim menjadi ancaman serius yang dapat mengganggu produktivitas pertanian dan memperburuk krisis pangan di masa depan. Ancaman tersebut terbukti dengan terjadinya penurunan luas panen 2,45 persen dan penurunan produksi padi 2,05 selama periode 2023.
Krisis iklim juga memicu lonjakan kasus karhutla (kebakaran hutan dan lahan), meningkat 55 persen para kuartal pertama 2024 dibandingkan kuartal pertama 2023. Sementara kasus bencana banjir, berdasarkan data periode 1 Januari-1 Agustus 2024, kasus bencana banjir sudah mencapai 60 persen dari periode 2023.
Bukan hanya kasus bencana alam, dampak perubahan iklim juga memperparah ketidakadilan sosial. Kaum buruh, terutama mereka yang bekerja di sektor informal, menjadi yang paling rentan terkena dampak krisis iklim. Perempuan dan anak-anak pun menjadi korban, melalui peningkatan risiko bencana, kelangkaan pangan, dan beban kerja yang bertambah.
Manusia sebagai penyumbang utama krisis iklim, tentunya memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan nyata dalam mengatasi perubahan iklim. Alih-alih terus berinvestasi pada energi kotor, butuh keseriusan pemerintah dengan sektor swasta untuk berkomitmen dalam mengatasi perubahan iklim yang terus merusak lingkungan dan merugikan manusia, ekonomi, dan makhluk hidup lainnya.
Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) memandang bahwa ekoteologi adalah landasan moral dan spiritual yang penting dalam penguatan kesadaran kolektif terhadap bahaya bencana dan perubahan iklim.
"NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia memberikan kontribusi besar melalui pemikiran dan tindakan yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan dalam menghadapi bencana dan perubahan iklim," kata Pengurus LPBI PBNU, Anwar Sjani.
Anwar mengatakan bahwa melalui kajian dan pengajian keagamaan, masyarakat diajarkan untuk menjaga lingkungan sebagai bagian dari iman dan takwa. Peran ulama juga penting.
"Kiai dan ulama memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan pesan bahwa perubahan iklim dan ancaman bencana harus direspons secara preventif dan adaptif, berlandaskan nilai-nilai agama," katanya.
"NU mendorong penggabungan kearifan lokal dan ajaran agama dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim," pungkasnya.
Kementerian Kehutanan merilis hasil pemantauan tahunan mengenai kondisi hutan dan angka deforestasi di Indonesia. Pemantauan ini dilakukan secara menyeluruh di seluruh daratan Indonesia yang mencakup 187 juta hektare, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, menggunakan citra satelit Landsat yang disediakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Hasil pemantauan menunjukkan bahwa luas lahan berhutan di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 95,5 juta hektare, atau 51,1 persen dari total daratan. Dari angka tersebut, sekitar 91,9 persen (87,8 juta hektare) berada di dalam kawasan hutan.
Sementara itu, angka deforestasi netto pada 2024 tercatat sebesar 175,4 ribu hektar. Angka ini diperoleh dari deforestasi bruto sebesar 216,2 ribu hektare dikurangi hasil reforestasi yang mencapai 40,8 ribu hektare. Mayoritas deforestasi bruto terjadi di hutan sekunder dengan luas 200,6 ribu hektare (92,8 persen), 69,3 persen di antaranya terjadi di dalam kawasan hutan dan sisanya di luar kawasan hutan.
Berbagai inisiatif konkret diluncurkan Kemenag untuk menerjemahkan nilai ekoteologi dalam kehidupan nyata. Di antaranya adalah Gerakan 1 Juta Pohon, Eco-Masjid dan KUA Hijau, Green Waqf, serta penguatan literasi ekoteologi melalui penerbitan buku-buku tematik.
Gerakan 1 Juta Pohon
Kemenag menginisiasi Gerakan Penanaman 1 Juta Pohon Matoa yang dilaksanakan serentak di seluruh unit kerja Kemenag, masjid, KUA, dan lembaga pendidikan keagamaan.
Pohon matoa dipilih sebagai simbol karena merupakan tanaman endemik Indonesia, memiliki nilai ekologis tinggi, adaptif terhadap berbagai kondisi lingkungan, dan juga menghasilkan buah yang bernilai.
Di Kota Palu misalnya, seluruh pejabat Kemenag lokal, kepala madrasah, penyuluh lintas agama, dan masyarakat ikut menanam pohon matoa sebagai bagian dari momentum ini.
Eco-Masjid dan KUA Hijau
Sebagai bagian dari program ekoteologi, Kemenag mempromosikan konsep Eco-Masjid, yakni masjid yang dirancang dan dikelola dengan prinsip ramah lingkungan yakni pengelolaan sampah, penggunaan energi terbarukan, penghijauan pekarangan, dan penyuluhan lingkungan lewat kegiatan keagamaan yakni melalui khutbah Jumat dan majelis taklim.
Di Yogyakarta, KUA Jetis bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) meluncurkan program Eco-Masjid. Setiap calon pengantin yang mendaftar di KUA harus memberikan bibit pohon, yang nantinya ditanam di lingkungan masjid wilayah Kemantren Jetis.
Selain masjid, KUA dinilai strategis untuk dikembangkan sebagai KUA Hijau yang juga akan memasukkan elemen penghijauan di berbagai layanan keagamaan seperti bimbingan pranikah dan penyuluhan agama.
Green Waqf dan Wakaf Hutan
Kemenag bersama Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan MOSAIC menggalakkan program Green Waqf (wakaf hijau) dengan fokus pada wakaf hutan. Program ini diusung sebagai simbol pelestarian bumi, di mana tanah wakaf tidak hanya untuk ibadah ritual, tetapi juga sebagai ruang konservasi lingkungan.
Wakaf hutan menjadi bagian dari upaya menjaga keberlanjutan lingkungan sekaligus memberikan manfaat ekonomi sosial kepada masyarakat sekitar.
Masjid dan mushala ramah lingkungan
Selain program penghijauan dan wakaf, Kemenag juga membuka skema bantuan bagi masjid dan mushala, termasuk kategori ramah lingkungan. Bantuan pembangunan atau rehabilitasi masjid dan mushala, serta operasional rintisan masjid/mushala ramah lingkungan.
Untuk mendapatkan bantuan, masjid/mushala harus terdaftar di Sistem Informasi Masjid (SIMAS), memiliki pengurus dan dokumen pendukung, dan mengajukan proposal.
Peran sosial dan edukasi keagamaan
Program-program ini juga disertai dengan strategi edukasi agama lingkungan melalui Penyuluh agama yang dilibatkan dalam dakwah lingkungan.
Pengintegrasian pelestarian lingkungan ke dalam materi di madrasah sebagai bagian dari kampanye Madrasah Go Green.
Penanaman pohon dan penghijauan sebagai bagian dari ritual keagamaan (contoh: calon pengantin menyumbangkan bibit pohon).
Buku Ekoteologi Islam
Kemenag memperkuat komitmennya dalam merespon krisis ekologis dengan peluncuran Buku Ekoteologi Islam dan Buku Policy Brief dalam acara MADADA Fest 2025 yang digelar pada 7 Oktober di Auditorium Gedung Kementerian Agama.
Acara tersebut menjadi momentum strategis untuk menegaskan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan melalui nilai-nilai keagamaan.
Menurut Menag, peluncuran buku ini merupakan hasil konkret dari International Conference on Islamic Eco-Theology for the Future of the Earth yang digelar pada 14-16 Juli 2025, yang menjadi fondasi pengembangan pemikiran dan kebijakan ekoteologi di Indonesia.
Buku Ekoteologi Islam ini terdiri dari lima subtema yakni Ajaran Al-Qur’an dan sunnah tentang etika lingkungan; Integrasi ekoteologi dalam pendidikan Islam dan praktik keagamaan; Kerangka etika Islam untuk keadilan iklim dan dialog lintas agama; Penguatan agenda kebijakan publik berbasis ekoteologi Islam; Implementasi nilai-nilai keislaman dalam gerakan ekologis global.
Sementara Buku Policy Brief bertajuk Ekoteologi Islam dan Krisis Iklim: Membangun Jalan Etis dan Berkelanjutan hadir untuk memberi arah kebijakan yang berlandaskan nilai agama dan kesadaran ekologis.
Menag berharap kedua buku ini akan menjadi rujukan utama bagi pengembangan ekoteologi Islam kontekstual di Indonesia.
Buku ini diimplementasikan di lembaga-lembaga pendidikan, pesantren, masjid, dan sebagai pertimbangan dalam penyusunan kebijakan lingkungan nasional.
Buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi
Kementerian Agama merilis buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi: Membangun Kesadaran Ekoteologis Berbasis Al-Qur’an pada 6 Oktober 2025 di Gedung Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal (BQMI), TMII.
Buku ini disusun oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) sebagai upaya menjawab tantangan ekologis global melalui tafsir kontekstual atas ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan alam dan ciptaan.
Ia berharap buku ini menjadi pijakan bagi pengembangan kurikulum keagamaan yang lebih ramah lingkungan.
"Kita bisa kembangkan fikih lingkungan, ushul fiqh lingkungan, bahkan menambah kulliyatul khams dengan satu prinsip baru: hifzhul bī’ah (menjaga alam),” ujarnya.
Buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi ini juga diharapkan bukan hanya memperkaya literatur tafsir, tetapi juga mendorong gerakan nyata di masyarakat agar menjaga alam sebagai bagian dari iman.
Program Blissful Mawlid di Kampus
Ekoteologi menjadi salah satu pilar dalam program Blissful Mawlid. Kegiatan dilakukan berupa diskusi, gerakan hijau berbasis nilai spiritual di kampus dan masjid, serta penguatan kesadaran lingkungan yang menjadi bagian dari rangkaian acara Blissful Mawlid ini.
