Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari: Perlawanannya terhadap Kolonialisme, dari Pemikiran hingga Pergerakan

Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari merupakan sosok yang gigih dalam melawan kolonialisme melalui pergerakan dan pemikirannya.

Namanya Muhammad Hasyim. Ia lahir dari rahim keluarga pesantren pada 24 Dzulqa’dah 1287 atau 14 Februari 1871 di Desa Gedang, sekitar dua kilometer sebelah timur Jombang. Ayahnya, Kiai Asy’ari, merupakan pendiri Pesantren Keras di Jombang, sedangkan kakeknya, Kiai Usman, adalah kiai terkenal dan pendiri Pesantren Gedang yang didirikan pada akhir abad ke-19. Pun moyangnya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas, Jombang. Sementara ibunya, Nyai Halimah, adalah putri dari Kiai Usman. Kakeknya itu menikahkan putrinya dengan Kiai Asy’ari karena santrinya tersebut dinilai sebagai sosok dengan keilmuan dan akhlaknya yang mengagumkan. Jika dirunut ke atas, silsilah Kiai Hasyim bersambung hingga ke Jaka Tingkir dan Brawijaya.


Kiai Hasyim merupakan putra ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. Sampai umur lima tahun, dia berada dalam asuhan orang tua dan kakeknya di Pesantren Gedang. Selepas itu, ia pindah mengikuti orang tuanya yang mendirikan pesantren di Keras. Kehidupan pada masa kecilnya di lingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik.


Saat mengandung dirinya, konon ibunya bermimpi bulan jatuh ke dalam kandungannya. Hal itu ditafsirkan bahwa anak dalam kandungan tersebut bakal mendapat kecerdasan dan keberkahan dari Allah swt. Penafsiran itu terbukti dengan kealimannya yang sudah terasah sejak belia mengingat di usianya yang ketiga belas tahun, Kiai Hasyim sudah menggantikan orang tuanya mengajar para santri.


Sebagai seorang pembelajar yang haus akan ilmu, ia tidak mencukupkan diri belajar pada orang tua dan kakeknya saja. Karenanya, ia mulai keluar dari lingkungannya pada usia 15 tahun untuk belajar di beberapa pesantren di Jawa dan Madura, yaitu Pesantren Wonokoyo, Probolinggo; Pesantren Langitan, Tuban; Pesantren Trenggilis, Semarang; Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura; dan Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo. 


Tidak berhenti di dalam negeri, Kiai Hasyim juga melanjutkan studinya ke Hijaz. Selama tiga tahun dia ditemani oleh saudara iparnya, Kiai Alwi, yang kemudian menjadi pembantu terdekatnya dan teman yang paling setia dalam mendirikan Pesantren Tebuireng. Di Makkah, mula-mula ia belajar di bawah bimbingan Syekh Mahfudz dari Tremas (w. 1920), ulama Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhari di Makkah. Sosok inilah yang memengaruhi Kiai Hasyim sampai dikenal sebagai seorang ulama yang ahli dalam ilmu hadits. 


Kiai Hasyim melarang santrinya menjalankan praktik sufi di pesantrennya semata agar mereka tidak terganggu dalam belajar. Dia juga menolak tarekat yang dianggap menyimpang dari  ajaran Islam. Sebagai contoh, ia mengutuk sikap Kiai Romli yang terlalu menyanjung Kiai Khalil Bangkalan sebagai wali. Untuk mempertahankan sikap ini, dia menerangkan bahwa gurunya, Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, telah melarang berbagai praktik tarekat. Akan tetapi, berbeda dengan pendekatan gurunya yang satu ini, Kiai Hasyim tidak menolak segala bentuk praktik sufi. Dia hanya melarang praktik-praktik sufi yang dianggapnya tidak murni Islam. Kepada Syekh Ahmad Khatib, Kiai Hasyim juga belajar  fiqih mazhab Syafi’i.


Sementara pemikirannya yang modern naga-naganya terbentuk dengan perkenalannya pada sosok Syekh Muhammad Abduh dari Mesir. Meskipun setuju dengan sejumlah pemikirannya, Kiai Hasyim juga tidak sepakat dalam beberapa hal. Ia memuji rasionalitas penafsiran Abduh, tetapi tidak menganjurkan kitab ini untuk dibaca muridnya lantaran Abduh mengejek ulama tradisionalis karena dukungan mereka pada praktik-praktik Islam yang di anggap tidak dapat diterima. juga setuju dengan dorongan Abduh untuk meningkatkan semangat muslim, namun tidak setuju dengan pendapat Abduh untuk membebaskan  umat dari tradisi mazhab. Berbeda dengan Abduh, Kiai Hasyim justru percaya bahwa  tidak mungkin memahami Al-Qur’an dan hadits tanpa memahami perbedaan pendapat pemikiran hukum. Penolakan terhadap mazhab, menurutnya, akan memutarbalikkan ajaran Islam.


Di antara guru-guru Kiai Hasyim yang lain adalah ulama terkenal Syekh  Nawawi dari Banten dan guru-guru “non-jawi” (bukan  dari Nusantara), seperti Syekh Sayyid Abu Bakar Syatha dan Syekh Dagistani yang merupakan ulama-ulama terkenal pada masa itu. Karenanya, bisa dianggap bahwa perkembangan intelektual Kiai Hasyim juga didorong oleh intelektual muslim  internasional. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila banyak muridnya yang kemudian menjadi ulama yang disegani.


Otoritas keilmuan Kiai Hasyim yang mumpuni tersebut pada akhirnya, di kemudian hari, juga diserap dan melahirkan murid-murid beliau yang juga hebat. Di Makkah, Kiai Hasyim Asy'ari memiliki banyak murid dari berbagai negara, antara lain Syekh Sa'dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), serta Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria). Kemudian murid dari tanah air, antara lain KH. Abdul Wahab Chasbullah (Tambakberas, Jombang), KHR Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), serta KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH Shaleh (Tayu).


Hadratussyekh

Kiai Hasyim dikenal dengan nama gelar yang tersemat di depannya, yakni hadratussyekh (maha guru). Penggunaan atribut itu untuk Kiai Hasyim merupakan gelar kehormatan yang tidak hanya diakui oleh orang Indonesia, tetapi juga oleh ulama dunia. Bahkan menurut sejumlah riwayat, hadratussyekh itu tersemat sejak ia tinggal dan mengajar di Makkah al-Mukarramah. 


Secara bahasa, istilah syekh, artinya orang tua, orang lanjut usia, kepala suku, pemimpin, ketua, dan tuan, sedang secara istilah, kata tersebut merujuk pada seorang yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam. Guru atau pengajar di Arab, pada umumnya disebut Syekh. Di Indonesia, gelar Syekh barangkali sejajar atau satu tingkat di atas sebutan kiai, yang tidak merujuk pada gelar akademik seperti doktor hingga profesor. Sementara hadratu, berasal dari kata hadhara yahdluru, artinya hadir, menyaksikan, memandang, mengamati, memandang, melihat. Jadi kalau disebut Hadratussyekh, secara tekstual, berarti kehadiran seorang Syekh, yang tidak hanya wujud manusianya, tetapi juga kedalaman ilmu dan spiritualnya.


Gelar Hadratussyekh tidak diberikan kepada sembarang orang. Di Indonesia, Kiai Hasyim sepertinya satu-satunya ulama yang memperoleh gelar ini dan diakui oleh dunia. Syarat keilmuannya sangat berat. Di antaranya, menurut KH Ahmad Muwafiq atau biasa dipanggil Gus Muwafiq, harus hafal kutubus sittah, cakupan kitab hadis Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasai, dan Sunan Ibnu Majah, baik matan maupun sanadnya.


Kualifikasi tersebut lebih tinggi dari syarat mendapatkan gelar-gelar lainnya, seperti gelar Al-Faqih hanya mensyaratkan seseorang hafal 2.000 hadis sahih, Asy-Syekh mensyaratkan hafal kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Al-Alim minimal mampu menghafal seperempat dari isi Al-Qur'an, Al-Allamah mampu menghafal keseluruhan ayat Al-Qur’an. Itulah sebabnya, Zamakhsyari Dhofier menyebutkan bahwa Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari muncul sebagai ulama yang paling dikagumi pada awal abad 20. 


Karya

Kiai Hasyim menulis kitab tidak kurang dari 20 judul. Tema yang dianggit hampir seluruh bidang-bidang utama dalam dirasah islamiyah; akidah, syari’ah, akhlaq, hingga ilmu fiqih. Karya-karyanya sampai sekarang masih menjadi rujukan utama pesantren-pesantren.


Dulu, kitab-kitab beliau hanya dibaca di pesantren-pesantren Jawa, tetapi seiring tumbuhnya pesantren dalam 30 tahun terakhir ini dan alumni-alumni pesantren Jawa makin tersebar, kitab-kitab karyanya juga dibaca di pesantren-pesantren di pulau-pulau besar. Berikut ini beberapa karya penting Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari.
 

  1. Adabul 'Alim Wal Muta'allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru;
  2. Risalah Ahlis Sunnah wal Jama'ah adalah pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut Ahlussunnah wal Jama'ah atau Aswaja;
  3. At-Tibyan Fin Nahyi an-Muqothoatil Arham wal Aqorib wal Ikhwan adalah kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan NU. 
  4. An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin adalah kitab yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada Nabi Muhammad saw. 
  5. Ziyadatut Ta'liqot adalah adalah kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu;
  6. At-Tanbihatul Wajibat li Man Yasna' Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang peringatan maulid nabi Muhammad saw yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar;
  7. Dhou'ul Misbah fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan Hadratusysyekh KH M Hasyim Asy’ari tentang lembaga perkawinan;


Selain menulis kitab, Kiai Hasyim juga rajin menyebarkan ilmu dan pendapatnya di sejumlah media yang beredar secara nasional pada waktu itu, di antaranya, majalah Soeara Moeslimin Indonesia (majalah milik Masyumi), Berita NO, Soeloeh NO, Swara NO, dan sebagainya. Tema yang ia tulis tidak sebatas bidang ilmu keagamaan, tapi juga meliputi pertanahan dan pertanian, politik internasional, kolonialisme, dan macam-macam lagi.


Hadratussyekh memang seorang penulis produktif. Sebagian besar ia menulis dalam bahasa Arab. Selain yang telah disebutkan di atas, terdapat pula karya-karya lainnya sebagai berikut.

 
  1. Al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlah al-‘Ulama’ (Aturan Dasar Perkumpulan Nahdlatul Ulama), membicarakan prinsip-prinsip utama organisasi NU; 
  2. Al-Mawa’izh (Nasihat), mengajak muslim untuk bersatu dan bekerja bersama; 
  3. Hadits al-Mawt wa ‘Ashrah al- Sa’ah (Hadis mengenai Kematian dan Kiamat), yang mengupas hadits-hadits Nabi Saw mengenai hari pembalasan; 
  4. Hasyiyah Fath al-Rahman, sebuah komentar terhadap Al-Risalah al-Wali Ruslan oleh Syekh al-Islam Al-Zariyyat al-Anshari; 
  5. Al-Durar al-Muntathirah fi al-Tis’ ‘Asyarah (Mutiara-mutiara mengenai Sembilan belas Masalah) mengenai tasawuf; 
  6. Al-Risalah al-Tauhidiyyah (Catatan tentang Teologi) tentang Ahlussunah wal Jama’ah;
  7. Al-Qala’id fi Bayani ma Yajib min al-‘Aqa’id (Syair- syair Menjelaskan Kewajiban-kewajiban Akidah), kumpulan empat puluh hadits Nabi saw. 


Keluarga

Di usianya yang baru berkepala dua, ia menikah dengan putri sang kiainya di Siwalan, Panji, Sidoarjo, yaitu Khadijah binti Kiai Ya’qub. Pernikahan ini disebabkan kesan mendalam gurunya terhadap santrinya itu, tiada lain Kiai Hasyim. Setelah menikah, yaitu pada 1891, ia dan istrinya menunaikan ibadah haji ke Makkah atas biaya mertuanya. Mereka tinggal di Makkah selama tujuh bulan. Namun, kepulangannya ke Tanah Air tidak dibarengi istrinya yang telah wafat di Tanah Suci  setelah melahirkan seorang anak yang bernama Abdullah. Perjalanan ini sangat mengharukan karena sang anak juga meninggal dalam umur dua bulan.


Diketahui, Hadratussyekh menikah tujuh kali selama hidupnya. Selain sempat menikahi Khadijah, binti Kiai Ya’qub dari Pesantren Siwalan Panji (Sidoarjo) yang wafat di Tanah Suci, ia kemudian menikah lagi dengan Nafisah binti Kiai Romli dari Kemuring  (Kediri). Kiai Hasyim juga menikah dengan Nafiqah, putri Kiai Ilyas dari Sewulan (Madiun) dan Masrurah, putri saudara dari Kiai Ilyas, pemimpin Pesantren Kapurejo (Kediri).


Sebagai seorang kiai, ia pun mengajari anak-anaknya tentang dasar-dasar ilmu agama Islam dan kemudian mengirimkan mereka ke pesantren lain dengan harapan akan mendapat pengalaman pesantren seperti dirinya sendiri. Harapan ini paling tidak terlaksana pada anak perempuannya, Nyai Khoiriyah, yang kemudian mendirikan pesantren sendiri, Pesantren Seblak. Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari mendorong anak-anak putrinya untuk  menikah dengan para kiai yang mengajar di Tebuireng    dan anak-anak lelaki menikah dengan putri-putri kiai sehingga ikut melestarikan tradisi moyang mereka.


Selain hal yang dicapai Nyai Khoiriyah, keturunan Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari yang lain kemudian menjadi pemimpin-pemimpin Pesantren Tebuireng sekaligus aktif dalam kegiatan politik tingkat  nasional, seperti KH Abdul Wahid Hasyim merupakan salah seorang perumus Piagam Jakarta dan kemudian menjabat sebagai Menteri Agama. Hal serupa juga terjadi kepada anaknya yang paling kecil, Yusuf Hasyim, yang aktif di militer dan politik tingkat nasional. Selain keduanya, ada juga KH Abdul Karim Hasyim yang pernah juga terlibat politik, selain dikenal dengan karya-karya sastra Arabnya.


Sikap politik

Sebagai seorang yang terlibat aktif di tengah masyarakat, Kiai Hasyim juga aktif dalam dunia perpolitikan Indonesia. Pengaruhnya tampak bukan saja dari sisi keulamaannya dengan beragam karyanya yang telah disebutkan di atas, tetapi juga kepemimpinannya dalam organisasi masyarakat Islam Nahdlatul Ulama sebagai Rais Akbar sejak pendiriannya pada 1926 sampai wafatnya pada tahun 1947. Pun ia juga didapuk sebagai pimpinan tertinggi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI).


Sikapnya yang terpenting adalah ajakannya kepada seluruh  umat Islam untuk bersatu dalam aksi bersama. Ajakan persatuan ini disampaikannya dalam berbagai kesempatan mengingat kondisi umat yang terpecah- pecah ketika itu dan kebutuhan akan persatuan yang sangat mendesak bagi bangsa Indonesia. Dalam  pidatonya, al-Mawa’izh (Nasihat), yang disampaikan  pada 1936 di Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin,  Kiai Hasyim telah mencoba mendamaikan perselisihan antara kaum modernis dan  tradisionalis. 


Di Hijaz, Kiai Hasyim Asy’ari  juga mendapat pengaruh dari perkembangan politik lokal seperti sentimen antikolonial, kemunculan nasionalisme Arab dan Pan-Islamisme. Mansfield (1976: 163) melukiskan fenomena ini dalam kata-kata berikut: “Kekuatan Pan-Islam meningkat sebagai reaksi invasi Barat pada abad ke-19 oleh Kristen Eropa. Anjuran Pan- Islamisme ini adalah agar umat Islam bersatu dalam menghadapi ancaman bersama ekspansi Eropa.” Demikian juga, Snouck Hurgronje menganggap serius kebangkitan ini sebagai salah satu sumber yang memengaruhi para siswa Nusantara di Hijaz. Dalam kata-katanya, “Gerakan Pan-Islam bukanlah tanpa pengaruh terhadap masyarakat Jawi di Makkah; mereka semua tersentuh oleh harapan yang sama” (Dhofier, 1995: 3). 


Tidak mengherankan, seruan persatuan umat itu lantas membekas dalam benak Kiai  Hasyim Asy’ari dan mengilhaminya untuk mewujudkan persatuan umat Islam dalam membebaskan tanah air dari cengkeraman kolonialisme. Beliau merealisasikan harapan ini dengan jalan bergabung dengan gerakan antikolonial.
 

Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari juga peduli pada kondisi politik umat Islam. Selama masa awal kemerdekaan Indonesia, dia sedih karena beberapa orang berusaha menggunakan Islam sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Beliau berkata: 


Kita menemukan bahwa peran masyarakat muslirn dalam arena (poilitik) ini sangat tidak   penting.   Pengaruh   agama   dalam arena poiitik di Indonesia sangat lemah, bahkan mati. Bahkan, ada   bahaya   yang lebih besar lagi yaitu Islam teiah digunakan oleh sebagian orang sebagai kendaraan mencapai tujuan-tujuan dan harapan- harapan mereka, baik daiam bidang politik maupun pribadi. Sangatlah berbahaya bila masyarakat memandang mereka tindakannya tidak sesuai dengan ajaran Islam sebagai muslim.


Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari selanjutnya membandingkan kondisi politik ketika itu dengan politik pada masa awal kemunculan Islam. Ia percaya bahwa fondasi politik pemerintahan Islam yang telah diletakkan oleh Nabi Muhammad saw, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar bin Khattab, mempunyai tiga tujuan, yaitu memberi persamaan bagi setiap Muslim, melayani kepentingan rakyat dengan jalan perundingan, dan menjaga keadilan. Ia menyatakan lebih lanjut bahwa:


Bentuk pemerintahan Islam tidak ditentukan.  Ketika yang kita hormati Nabi Muhammad Saw. meninggal dunia, beliau tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai bagaimana memilih kepala negara. Jadi, pemilihan kepala negara dan banyak hal lagi mengenai kenegaraan tidak ditentukan, (dan umat Islam) tidak terikat untuk mengikuti suatu sistem. Semua (sistem) dapat dilaksanakan pada masyarakat Islam pada setiap tempat.


Akan tetapi, Kiai Hasyim Asy’ari menekankan bahwa ajaran Islam tidak akan dapat berjalan dengan baik selama kepentingan masyarakat Islam terpecah-pecah. Oleh karena itu, dia menganggap   tujuan   akhir   politik   Islam di Indonesia adalah pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan, bukan hanya bibir. Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari pun menyatakan, “Kita, masyarakat Islam Indonesia tidak ingin memperebutkan posisi kepemimpinan, kita hanya ingin mereka yang menduduki dan memegang kepemimpinan negeri ini melaksanakan ajaran Islam yang telah diperintahkan oleh Allah Yang Maha Suci dan Agung.”


Pada awal karir, Kiai Hasyim Asy’ari bukanlah seorang aktivis politik juga bukan musuh utama penjajahan Belanda. Dia ketika itu belum peduli betul untuk menyebarkan ide-ide politik dan umumnya tidak keberatan dengan kebijakan Belanda selama tidak membahayakan keberlangsungan ajaran- ajaran Islam.


Kesadaran politik Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari muncul karena kondisi kolonialisme di Indonesia dan di Timur Tengah. Perlawanan bersenjata kaum muslim pada paruh kedua abad ke-19, sebagaimana yang terjadi pada Perang Paderi di Minangkabau (1821-1837), Perang Diponegoro di Jawa (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1904), untuk menyebut beberapa, pasti telah memengaruhi pemuda Hasyim yangtumbuh menjadi dewasa pada seperempat terakhir abad tersebut. 


Memang, sejak kedatangannya di Nusantara, Belanda menghadapi tantangan dari kaum muslim yang dimotori oleh ulama desa dan guru-guru agama. Gerakan anti-Belanda ini didorong oleh rasa keinginan yang kuat untuk mempertahankan Islam dan untuk memerdekakan Nusantara. 


Oleh karena itu, beberapa sejarawan menganggap gerakan nasionalis bersumber dari sentimen keagamaan yang mengajak penduduk pribumi untuk merebut kemerdekaan. Kebencian terhadap pemerintah kolonial ini didorong oleh anggapan umum bahwa Belanda adalah kafir dan oleh karena itu tidak bisa diterima.


Sejak umat Islam kalah dalam konfrontasi bersenjata melawan Belanda, perjuangan bersenjata berubah menjadi perjuangan melalui bidang pendidikan dan kebudayaan. Oleh karena itu, kita mendapatkan banyak bekas pengikut pertempuran ini mendirikan lembaga pendidikan yang dinamakan pondok pesantren yang digunakan untuk menjaga budaya dan moral bangsa dari penetrasi budaya Barat. 


Dalam lembaga- lembaga pendidikan, tidak hanya tradisi Islam murni yang terus dijaga dan dikembangkan, tetapi juga untuk mengimbangi pendidikan Barat yang dikembangkan oleh pemerintah untuk menjaga dan memperpanjang cengkeraman penjajahannya dengan jalan mengarahkan cara berpikir para penduduknya. 


Dua jenis tanggapan yang berbeda terhadap kehadiran Belanda itu pasti telah memengaruhi persepsi Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari terhadap kekuasaan Belanda. Berdasarkan doktrin Sunni “jalan tengah” (tawassut); dia pasti telah menyembunyikan perasaan anti-Belanda yang diperoleh dari lingkungan dan para guru beliau yang sebagian merupakan pelaku perjuangan bersenjata. Beliau tidak melawan Belanda secara terbuka atau militan, tetapi juga tidak bekerja sama dengannya.


Kesadaran politik Kiai Hasyim Asy’ari juga berasal dari pengalaman belajarnya. Walaupun kurikulum pesantren jarang berbicara mengenai ide-ide politik atau mendiskusikan krisis-krisis politik, masyarakat pesantren bukanlah tidak sadar terhadap kesulitan sehari-hari penduduk pribumi muslim yang diakibatkan oleh penjajah. Tiadanya pembicaraan ide-ide politik dalam kurikulum pesantren disebabkan oleh antara lain kebijakan kolonial untuk mengikis Islam politik yang telah merosot sejak hegemoni imperialisme Barat di negara-negara muslim. 


Akan tetapi, karena para siswa terlibat mengajar dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat, pesantren menjadi terlibat lebih aktif dalam persoalan-persoalan masyarakat. Para santri tidak hanya berdakwah, tetapi juga membimbing masyarakat dalam menyelesaikan persoalan keseharian mereka. Dalam hal ini, para pemimpin pesantren juga menjadi pemimpin informal masyarakat di sekitar mereka. Sejalan dengan ini, Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari telah beruntung mendapat hal-hal positif dari pesantren termasuk menajamkan kesadarannya dalam hal politik sebab Islam tidak memisahkan antara urusan negara dan agama.


Pada tahun 1886-1891, Saat Kiai Hasyim Asy’ari berumur belasan tahun, dia mengembara dan bertempat tinggal di berbagai pesantren di Jawa   dan   Madura.  Pengembaraan ini mempunyai dua keuntungan: pertama, Kiai Hasyim Asy’ari mendapat pelajaran dan pengalaman dari sejumlah guru; kedua,  Kiai Hasyim Asy’ari lebih sadar akan kesatuan Nusantara karena murid-murid pesantren berasal dari berbagai daerah dan bahkan dari luar Jawa. 


Beberapa pesantren yang dikunjunginya juga berada tidak jauh dari Surabaya yang merupakan pusat pergerakan nasional pada awal abad ke-20. Kiai Hasyim Asy’ari pasti mengetahui ide-ide nasionalisme yang berkembang pada masa itu. Kesadaran politik dunia Islam juga didapatkannya ketika belajar di Makkah, kota metropolis bagi dunia Islam. 


Makkah ketika itu selain menjadi pusat pendidikan dan ibadah juga menjadi semacam tempat suaka politik bagi para politikus muslim yang lari dari negerinya. Lingkungan Makkah inilah yang juga meningkatkan kesadaran Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari atas kondisi sosial politik dunia Islam yang mengenaskan. Umumnya, dunia Islam ketika itu sedang berhadapan dengan imperialisme Barat. Ketika itu, Pan-Islamisme juga sedang disebarluaskan oleh Jamal ad-Din al- Afghani sebagai alat pembebas melawan kolonialisme. 


Namun, di antara pengaruh terpenting Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy’ari adalah pada saat mengeluarkan fatwa jihad, 17 September 1945. Fatwa ini antara lain berbunyi: (1) Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam meskipun bagi orang fakir; (2) hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid; (3) hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.


Berpijak pada fatwa inilah, kemudian para ulama se-Jawa dan Madura mengukuhkan Resolusi Jihad dalam rapat yang digelar pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar NU di Bubutan, Surabaya. Undangan rapat pengukuhan fatwa jihad ini juga dikemukakan oleh KH Saifuddin Zuhri. Dalam bukunya yang berjudul Berangkat dari Pesantren (1987).


Selain dihadiri oleh para utusan konsul NU se-Jawa dan Madura, pertemuan penting ini juga dihadiri oleh panglima Laskar Hizbullah, KH Zainul Arifin. Rapat ini dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Dalam suasana kota yang mulai memanas terbakar api revolusi, keputusan rapat ini ditutup dengan pidato Kiai Hasyim yang menegaskan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan.


Dalam tempo singkat, fatwa Resolusi Jihad fi Sabilillah ini disebarkan melalui masjid, musalla, dan gethuk tular alias dari mulut ke mulut. Atas dasar pertimbangan politik, Resolusi Jihad ini tidak disiarkan melalui radio dan surat kabar. Sebaliknya, Resolusi Jihad yang disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia disiarkan melalui surat kabar, di antaranya dimuat di Kedaulatan Rakjat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi 26 Oktober 1945; Antara, 25 Oktober 1945; Berita Indonesia, Djakarta, 27 Oktober 1945.


Fatwa Jihad fi Sabilillah dan Resolusi Jihad ini dibawa oleh konsul-konsul Nahdlatul Ulama yang hadir untuk disebarluaskan kepada umat Islam di daerahnya masing-masing. Sedangkan salinan dari Keputusan Resolusi Jihad fi Sabilillah dikirimkan kepada Presiden Soekarno, pimpinan Angkatan perang Republik Indonesia, dan kepada Markas Tinggi Hizbullah, milisi umat Islam.


Harian Kedaulatan Rakjat tanggal 26 Oktober 1945 memuat judul besar, “Toentoetan Nahdlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik Soepaja Mengambil tindakan jang Sepadan Resoeloesi”. Pengaruh Resolusi Jihad ini semakin meluas. Selain Hizbullah, anggota kelaskaran lain berbondong-bondong ke Surabaya. Melalui corong radionya, Bung Tomo menggelorakan semangat rakyat. Pidato Bung Tomo ini semakin “menggila” setelah terbitnya Resolusi Jihad dan kabar kedatangan tentara Sekutu, 25 Oktober 1945. 


Dalam pandangan Bizawie, ada tujuan ganda yang ingin dicapai melalui Resolusi Jihad ini. Pertama, sebagai bahan untuk “mempengaruhi” pemerintah dan agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang terindikasi menggagalkan kemerdekaan. Kedua, jika himbauan yang ditujukan kepada pemerintah itu tidak terwujud maka resolusi bisa dijadikan pegangan moral bagi Laskar Hizbullah, Sabilillah, dan badan perjuangan lain untuk menentukan sikap dalam melawan kekuatan asing.


Kiai Hasyim wafat jelang dua tahun kemerdekaan Republik Indonesia pada usia 76 tahun, tepatnya pada 25 Juli 1947 di kediamannya di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Almarhum dikebumikan di dalam pondok yang didirikannya.


logo