Jakarta, NU Online
Tiga bulan telah berlalu sejak Kementerian Agama RI secara resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) pada Juli 2025 silam. Sebuah terobosan kebijakan yang lahir dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi mental dan karakter pelajar yang semakin tergerus oleh arus zaman.
Inisiatif ini bukan sekadar wacana, melainkan sebuah ikhtiar konkret untuk membangun kembali fondasi pendidikan yang tidak hanya mengejar kecerdasan kognitif, tetapi lebih-lebih menanamkan benih-benih cinta kepada Sang Pencipta, sesama manusia, alam semesta, dan diri sendiri ke dalam sanubari setiap putra-putri bangsa.
Langkah ini diharapkan mampu melahirkan generasi yang tidak hanya pandai secara akademis, tetapi juga berbudi pekerti luhur, berempati tinggi, dan menjadi penyejuk dalam kehidupan bermasyarakat.
Seperti halnya setiap perubahan, proses implementasi Kurikulum Cinta berjalan setahap demi setahap. Tidak ada klaim kesempurnaan yang digaungkan sejak hari pertama. Justru, semangat untuk terus belajar, beradaptasi, dan memperbaiki diri menjadi napas dari perjalanan panjang kurikulum ini.
Dari sudut-sudut ruang kelas di berbagai penjuru negeri, berkumandang cerita-cerita tentang upaya nyata, meski kerap terbentur tantangan, untuk mewujudkan visi mulia Kurikulum Cinta.
Praktik-praktik awal implementasi Kurikulum Cinta di tiga tingkat pendidikan madrasah: Madrasah Aliyah (MA), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), menggambarkan sebuah mozaik perjuangan yang penuh harap dalam merajut karakter luhur anak bangsa.
Meretas jalan toleransi berlandaskan cinta
Di sebuah ruang guru Madrasah Aliyah Anwaarul Hidayah, Karangnangka, Purwokerto, Dede Qurrotul Aini tampak serius menatap layar komputernya.
Tiga bulan pasca-peluncuran resmi Kurikulum Cinta, Dede, guru Akidah Akhlak untuk kelas 12 ini, tengah menyusun dengan cermat sebuah peta pembelajaran. Baginya, Kurikulum Cinta bukan sekadar tambahan materi, melainkan sebuah paradigma yang menuntut pendekatan fundamental dalam mendidik.
“Kami sebagai pihak sekolah tidak serta-merta mengubah semua silabus dalam semalam karena tentu agak mustahil. Kami memilih untuk memulainya dari pintu yang paling mungkin, yaitu melalui penguatan nilai-nilai tasamuh atau toleransi dalam pelajaran akidah akhlak,” ujar Dede kepada NU Online, Selasa (21/10/2025).
Dede berpendapat, siswa-siswi MA yang tengah berada di gerbang kedewasaan adalah calon-calon pemimpin masa depan. Memupuk sikap toleransi pada mereka tidak bisa lagi sekadar berupa hafalan definisi. Ia membutuhkan dasar pijakan yang kokoh, yang bersumber dari cinta yang tulus.
“Kaitan KBC dengan topik tasamuh yaitu dengan cara menanamkan nilai cinta kepada Allah dan kepada manusia. Bagaimana mungkin kita bisa benar-benar bertoleransi jika di hati tidak ada cinta kepada Sang Pencipta semua makhluk, dan cinta kepada sesama ciptaan-Nya?” jelasnya.
Dalam praktiknya, Dede merancang diskusi-diskusi kelompok yang memicu siswa untuk menganalisis fenomena sosial kontemporer, antara lain ujaran kebencian di media sosial atau konflik antarkelompok, melalui kacamata akidah dan akhlak.
Dede tidak lagi puas jika siswa hanya bisa menjawab soal pilihan ganda tentang pengertian tasamuh. Ia ingin melihat mereka mampu berargumen dengan santun, mendengarkan pendapat yang berbeda, dan merespons dengan empati.
“Tantangan terbesarnya adalah menyinergikan pola pikir siswa dan guru,” ujarnya.
“Tidak bisa dipungkiri, selama bertahun-tahun ‘kontrak belajar’ di kelas adalah untuk meraih nilai bagus. KBC menggeser tujuan itu menjadi ‘proses untuk menjadi manusia berakhlak mulia’. Ini pergeseran yang tidak mudah. Baik guru dan siswa sama-sama butuh waktu beradaptasi," imbuh Dede.
Tantangan lain yang ia soroti adalah keteladanan. Guru-guru, termasuk Dede, masih merasa kesulitan mengintegrasikan nilai cinta dalam pembelajaran. Teori sudah dipelajari, tetapi implementasinya membutuhkan kesadaran penuh.
"Sebagai guru, kita harus konsisten. Seringkali fokus kita tercurah untuk menjejalkan materi agar tuntas, sementara pendalaman nilai cinta terabaikan. Padahal, nilai cinta itu harus dirasakan oleh siswa, bukan hanya diajarkan tetapi juga harus terpancar dari setiap interaksi kita,” paparnya.
Meski demikian, langkah kecil yang diambil Dede mulai menunjukkan tanda-tanda positif. Beberapa siswa yang sebelumnya cenderung pasif mulai berani menyampaikan pendapat dengan lebih terbuka. Suasana kelas terasa lebih hangat dan inklusif. Prosesnya masih panjang dan jauh dari sempurna. Namun, benih-benih tasamuh yang berlandaskan cinta telah mulai ditabur di hati para calon pemimpin masa depan itu.
Menavigasi jiwa remaja untuk mencintai diri
Suasana berbeda ditemui di Pondok Pesantren Luhur Al Tsaqafah, Jakarta Selatan. Di balik tembok asrama putri yang teduh, Hana Fauzia, seorang guru Bimbingan Konseling (BK) sekaligus kepala asrama, telah lama mempraktikkan filosofi yang sejalan dengan Kurikulum Cinta, bahkan sebelum kurikulum itu resmi diluncurkan.
Baginya, dunia remaja MTs adalah lahan yang subur sekaligus rentan, sebuah masa transisi penuh gejolak dalam pencarian jati diri.
“Meski kami belum mendapat sosialisasi resmi KBC, nilai-nilainya yang saya pahami cocok dengan apa yang kami coba bangun di sini,” ujar Hana kepada NU Online, Kamis (23/10/2025).
Pilar-pilar Kurikulum Cinta yang sering diterapkan Hana dalam membersamai anak didiknya adalah cinta kepada alam, hewan, tumbuhan, dan manusia.
"Semua rasa cinta itu pada akhirnya bermuara kepada cinta kepada Allah," kata Hana.
Hana percaya, bagi remaja, mencintai sesuatu yang abstrak seperti Tuhan bisa menjadi konsep yang sulit dicerna. Oleh karena itu, ia memilih untuk membangun jembatan melalui cinta kepada hal-hal yang konkret dan dapat mereka rasakan langsung.
“Anak-anak cenderung butuh contoh yang nyata. Mulailah dari mencintai kucing yang berkeliaran di pesantren, merawat tanaman di kebun, hingga menyayangi teman yang sedang bersedih. Dari situlah kita naikkan level cintanya menuju Dzat yang menciptakan semua yang mereka cintai itu,” jelasnya.
Pendekatan Hana sangat terasa dalam menangani konflik antarsantri. Ia menolak model rekonsiliasi instan yang hanya berujung pada formalitas permintaan maaf.
"Saya tidak mau minta maaf hanya jadi jalan cepat untuk menyelesaikan masalah tanpa memberi waktu anak untuk memproses akibat dari tindakannya tersebut,” tegasnya.
Ia menggambarkan sebuah proses yang ia sebut “rekonsiliasi berbasis empati”. Saat mendampingi dua santri yang bertengkar, Hana tidak langsung memerintahkan mereka untuk berjabat tangan. Ia mengajak masing-masing pihak untuk duduk tenang, merefleksikan perasaan mereka, dan yang lebih penting, mencoba menempatkan diri di posisi temannya.
“Apa yang kira-kira dirasakan oleh dia? Apa yang membuatnya tersinggung? Lalu, hal apa yang bisa kamu lakukan untuk membuat perasaannya lebih baik?” terangnya.
Menurut Hana, proses ini memakan waktu ekstra. Butuh kesabaran dan pendampingan yang intens. Namun, buah yang dihasilkan jauh lebih manis dan berkelanjutan.
“Setelah konflik terselesaikan di level manusia, barulah saya sisipkan nilai spiritual. Saya gambarkan bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang, bahkan kepada makhluk yang tidak beriman sekalipun. Jika Tuhan saja begitu penyayang, masak kita sebagai sesama Muslim tidak bisa saling menyayangi?” ujarnya.
Melalui pendekatan psikologis dan pengembangan diri ini, Hana telah menjadikan Kurikulum Cinta sebagai kompas untuk menavigasi para remaja agar tidak hanya mencintai luarannya, tetapi juga mampu mengenali, menerima, dan mencintai diri mereka sendiri. Harapannya agar dapat menjadi sebuah fondasi untuk membangun cinta yang sehat kepada segala hal di luar diri mereka.
Kesabaran berbuah senyum penuh cinta
Tawa riang dan celoteh ceria bersahutan di ruang kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah Nurul Falah, Depok, Jumat (24/10/2025). Di tengah keriangan itu, Ryan Apriani, atau yang akrab disapa Bu Lian, dengan sabar berkeliling membimbing anak-anak didiknya yang sedang asyik menggunting dan menempel kertas berwarna-warni. Mereka sedang membuat mozaik berbentuk buah apel.
Ini merupakan salah satu cara Lian menerjemahkan Kurikulum Cinta untuk dunia anak-anak yang masih polos dan konkret dalam berpikir.
“Anak-anak usia MI ini dunianya adalah bermain dan berkreasi. Saya tidak bisa memberi materi tentang cinta yang abstrak. Tetapi, nilai-nilainya bisa kita tanamkan melalui aktivitas sehari-hari, lintas pelajaran, bahkan dari pelajaran seni sekalipun,” jelas Lian.
Proses membuat mozaik yang terlihat sederhana itu, bagi Bu Lian, adalah laboratorium mini untuk memupuk nilai-nilai Kurikulum Cinta.
“Dari aktivitas menggunting dan menempel yang butuh ketelitian ini, anak-anak belajar arti kesabaran. Mereka belajar untuk tidak terburu-buru, menghargai proses,” ujarnya.
Ia juga menyelipkan nilai tolong-menolong saat ada anak yang kehabisan kertas warna dan nilai menghargai karya orang lain dengan memuji hasil kerja temannya. Usai karya mozaik apel mereka selesai, pembelajaran tidak berhenti di situ.
Lian mengajak anak-anak duduk melingkar. “Anak-anak, siapa yang suka makan apel?” tanyanya disambut serempak tangan-tangan mungil teracung.
“Wah, enak ya apel. Berwarna merah, rasanya manis. Tahukah kalian, siapa yang menciptakan buah apel yang lezat ini?” tanya Lian.
Dengan bahasa yang sederhana dan penuh kasih, Lian mengajak mereka mengagumi kebesaran Allah yang menumbuhkan buah-buahan lezat dari tanah untuk dinikmati manusia.
“Selain bersyukur, saya juga ingin menumbuhkan rasa cinta dan tanggung jawab untuk menjaga apa yang sudah Allah berikan di bumi ini. Mulai dari hal kecil, seperti tidak membuang sampah sembarangan agar tanah tetap subur,” imbuhnya.
Pendekatan melalui seni dan apresiasi alam ini menunjukkan bahwa Kurikulum Cinta bisa diimplementasikan secara halus dan menyenangkan di tingkat paling dasar pendidikan. Tidak perlu jargon yang berat, tetapi melalui praktik langsung yang membekas di hati.
Senyum puas dan cahaya antusiasme di mata anak-anak itu saat berhasil menyelesaikan mozaik mereka adalah bukti nyata bahwa benih cinta telah mulai tumbuh, disirami dengan kesabaran, bimbingan, dan keteladanan seorang guru.
Kurikulum Cinta memang masih berusia sangat muda. Implementasinya di berbagai tingkat pendidikan, dari MI, MTs, hingga MA, masih berupa mozaik-mozaik kisah yang berwarna-warni, dengan tingkat kedalaman dan keberhasilan yang bervariasi.
Tantangan seperti kesenjangan pemahaman antara guru dan siswa, kebutuhan akan pelatihan yang lebih intensif bagi pendidik, dan konsistensi dalam keteladanan, masih menjadi pekerjaan rumah yang besar.
Namun, seperti kata pepatah, “perjalanan seribu mil dimulai dari satu langkah”. Langkah-langkah kecil yang diambil oleh Dede di Purwokerto, Hana di Jakarta, dan Lian di Depok, serta ribuan guru lainnya di seluruh Indonesia, adalah bukti bahwa semangat Kurikulum Cinta hidup dan bergulir.
Mereka adalah para perajut karakter di garis depan, yang dengan segala keterbatasan dan keikhlasan, berusaha menjahit benang-benang cinta ke dalam kain tenun pendidikan Indonesia.
Proses ini mungkin belum maksimal, tetapi terus berjalan, terbuka pada perbaikan, dan yang terpenting, telah dimulai. Memulai dan menjalani setiap prosesnya dengan hati, itulah sumbangsih terbaik yang bisa diberikan untuk memupuk karakter luhur dan menyemai benih kasih bagi masa depan anak bangsa.
