Agresi Israel terhadap Gaza tak hanya membunuh warga sipil kebanyakan, tapi juga menyasar para jurnalis yang bertugas di sana. Ini membuat derajat kekejian dalam genosida Israel di Gaza naik berkali-kali lipat. Para jurnalis perang, yang sebenarnya dilindungi oleh Hukum Humaniter Internasional, menjadi sasaran tanpa pandang bulu oleh tentara Israel.
Data yang dihimpun Committee to Protect Journalist (CPJ) hingga Selasa (14/11/2023) memperlihatkan setidaknya 42 jurnalis serta pekerja media terbunuh. Sementara belasan lainnya dilaporkan mendapatkan serangan, cedera, dan ditangkap tentara Israel. Termasuk di antaranya adalah pembunuhan anggota keluarga jurnalis. Salah satunya dialami oleh kepala biro Al Jazeera Gaza yang anggota keluarganya terbunuh ketika sedang meliput.
Menurut CPJ, sejak organisasi ini merekam kasus-kasus pembunuhan terhadap jurnalis pada 1992, pembunuhan oleh tentara Israel kali ini mengikuti pola yang sudah dilakukan puluhan tahun setiap eskalasi konflik di Palestina meningkat.
CPJ mencatat setidaknya ada dua pola yang dilakukan Israel setelah pembunuhan terjadi. Pertama, otoritas Israel akan menyangkal bahwa bukan mereka yang melakukan pembunuhan, melainkan Hamas atau kelompok-kelompok lain. Pola mengelak ini terlihat, misalnya, dari pembunuhan jurnalis senior Al Jazeera, Shireen Abu Akleh, pada 2022.
Ketika bukti-bukti menunjukkan bahwa tentara Israel adalah yang membunuh, pola kedua akan digunakan. Mereka akan menyebut jurnalis yang dibunuh adalah jurnalis yang merupakan anggota kelompok teroris. Pola ini terlihat dari pernyataan perwakilan Israel di PBB yang menyebut jurnalis yang menjadi target Israel adalah anggota Hamas dan karena itu sah untuk dibunuh. Pernyataan yang kemudian disangkal oleh media-media seperti Reuters, Associated Press, CNN, dan New York Times.
Data dan keterangan dari CPJ tersebut sekaligus menunjukkan bahwa pembunuhan terhadap jurnalis yang bertugas di Gaza adalah sesuatu yang disengaja, bukan karena kecelakaan.
Mengapa Israel menyasar jurnalis?
Pada setiap kasus pembunuhan terhadap jurnalis, salah satu kesimpulan yang terlihat jelas adalah karena pelaku terganggu dengan liputan-liputan yang bisa menggoyang kekuasaannya. Dalam konteks yang terjadi di Gaza, tentu para jurnalis yang bersikap kritis akan mengganggu narasi yang dibangun Israel bahwa mereka adalah korban dan orang-orang Palestina adalah teroris. Upaya membangun narasi ini juga dilakukan tentara Israel dengan memaksa jurnalis media-media Barat untuk melekat (embedded) ke mereka dan footage yang diambil harus diperiksa terlebih dahulu.
Di era media sosial ketika akses informasi semakin terbuka, jurnalis dan berbagai kelompok masyarakat sipil adalah ancaman. Karena itu, membunuh jurnalis akan memberikan chilling effect kepada para jurnalis lain dan media-media.
Salah seorang jurnalis Palestina, Abu Sabra, menyebut bahwa kasus-kasus pembunuhan jurnalis akan memengaruhi cara jurnalis meliput di lapangan. Mereka akan menghindari lokasi-lokasi yang berpotensi ada konflik dan sebisa mungkin dekat dengan ambulans atau rumah sakit agar tidak menjadi target serangan.
Selain itu, kebanyakan kasus pembunuhan tersebut hampir selalu berujung tidak diprosesnya pelaku pembunuhan. Tekanan dunia internasional tidak memiliki dampak signifikan atau memberikan tekanan terhadap Israel. Para pelaku memiliki impunitas yang memungkinkan mereka bisa melenggang bebas dan melakukan hal yang sama berulang kali. Puncaknya tentu dalam serangan yang terjadi sepanjang Oktober-November 2023 ini.
Impunitas memang menjadi problem mendasar dalam setiap kasus kekerasan dan pembunuhan jurnalis. Menurut data UNESCO, sejak 1993 lebih dari 1.600 jurnalis dibunuh dengan lebih dari 80 persennya tidak terselesaikan dan tidak diketahui siapa pelakunya.
Dalam konteks penjajahan Israel atas Palestina, pembunuhan terhadap para jurnalis tentu berpengaruh terhadap liputan-liputan independen. Untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang apa yang terjadi di Israel dan Palestina, jurnalis harus memiliki kebebasan meliput dan tidak di bawah bayang-bayang ancaman pembunuhan. Berpegang pada sumber resmi seperti pejabat pemerintahan tidak akan pernah menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi di era media sosial ketika misinformasi secara sengaja dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan.
Wisnu Prasetya Utomo, dosen Ilmu Komunikasi UGM dan mahasiswa S3 di Department of Journalism Studies, University of Sheffield, UK.