Hampir seluruh peradaban kuno memiliki ajaran ziarah suci, perjalanan agung, berat atau jauh. Orang Barat menyebutnya dengan pilgrimage. Ide tentang ziarah ini merupakan common sense atau kesadaran bersama bahwa seseorang memang harus mengasingkan diri dari tanah yang dia kenal menuju tanah yang tak ia kenal untuk melakukan refleksi-refleksi diri.
Pilgrimage ini biasanya dilakukan menuju tempat di mana orang suci dalam keyakinan mereka hidup dan berkarier. Buddhisme, Hinduisme, Kristen, Yudaisme, bahkan agama-agama Pagan memiliki tradisi berziarah seperti ini. Agama Islam, yang kita anut, buka kekecualian. Kita mengenal perjalanan agung ini atau ziarah khusus ini dengan nama haji, hajj.
Hajj, secara bahasa berarti berniat, bertujuan, bermaksud. Dalam agama Islam, haji dilakukan menuju Makkah dan berisi ritual-ritual yang sarat akan tradisi Abrahamik, alias bersifat Ibrahim. Haji ini kewajiban, tiang agama, sesuatu yang pokok atau inti. Sebab itu, ia masuk rukun Islam yang kelima, setelah syahadat, shalat, zakat, dan puasa. Haji adalah wajah atau Islam seperti rukun Islam yang lain. Jadi, memang sangat penting.
Namun demikian, sejak awal tradisi haji hanya dimaksudkan bagi mereka yang mampu, kuat, dan tahan, seperti termaktub dalam Surat Ali Imran ayat 97, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”
Ayat di atas menekankan kewajiban berhaji, tetapi pada saat bersamaan membatasi man istathâ‘a ilayhi sabîla, bagi yang sanggup dan mampu melakukan perjalanan. Artinya, kewajiban haji bagi yang mampu atau sanggup. Sebaliknya, yang tidak mampu hukumnya tidak wajib. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: Apa yang dimaksud dengan “mampu”?
Para ulama menyebutkan setidaknya ada sebelas standar seseorang disebut mampu. Dari sebelas standar kelayakan itu, menurut penulis hanya ada enam yang relevan dengan zaman sekarang.
Pertama, memiliki ongkos pulang-pergi. Kedua, tersedianya transportasi yang memadai. Ketiga, rutenya aman. Keempat, tersedianya konsumsi di tempat-tempat tujuan (atau tempat istirahat di tengah perjalanan). Kelima, adanya mahram, suami, atau rombongan yang membuat wanita aman melakukan perjalanan.
Keenam, ini yang juga tak kalah penting dan sering dilupakan, adalah kesehatan jasmani. Jika salah satu dari keenam syarat ini tidak mampu dipenuhi oleh calon jemaah haji, maka kewajiban haji sudah gugur baginya.
Para ulama menyebutkan bahwa memaksakan pergi berhaji padahal prasyarat tidak terpenuhi adalah suatu bentuk ghurur, ditipu oleh setan, meskipun hajinya sendiri sah, berpahala, dan menggugurkan kewajibannya. Namun demikian, orang yang demikian ini—selain mendapat pahala—juga mendapat dosa dikarenakan ia ghurur, alias terkena tipu daya setan. Haji yang semacam ini sangat sulit diberi predikat mabrur.
Di zaman dulu, perjalanan haji sangatlah jauh, melelahkan, resiko tinggi. Maka tak heran jika banyak ulama-ulama yang tidak berhaji. Maka tak mengherankan bila beberapa ulama berfatwa bahwa ahl magrib alias penduduk Maroko dan sekitarnya, di zaman dulu, tidak wajib berhaji.
Ulama Malikiyah terkemuka, Al-Thurthusyi, berfatwa dengan tegas bahwa penduduk Maroko dan sekitarnya (sekali lagi saya tegaskan: di zaman dulu!) tidak wajib berhaji. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah jarak yang sangat jauh. Ia menulis:
فمن غرّ وحجّ سقط فرضه ولكنه آثم بما ارتكب من الغرر
“Jika seseorang terus memaksa berhaji, maka kewajiban haji tetap tertunaikan namun ia mendapat dosa sebab ia tanpa sadar terperangkap tipu daya setan (gharar).”
Oleh sebab itu, jika haji tidak terlaksana maka hal itu bukanlah akhir dari segalanya. Banyak jalan ibadah lain yang bisa dilaksanakan. Bagaimana pun, menjaga keselamatan diri lebih didahulukan oleh agama dari pada ajaran-ajaran agama yang bersifat ritual (idza ta‘âradla ḫifdhun-nafs ‘ala ḫifdhid-dîn quddima ḫifhhun-nafs). Bahkan yang bersifat akidah, jika keselamatan diri terancam, maka seseorang boleh untuk ‘berpura-pura’ melepaskan aqidah untuk menyelamatkan diri.
Tentu saja logika yang sama bisa kita gunakan untuk haji; jika kesehatan terancam, tak perlu bersedih, menjaga kesehatan juga jauh lebih bernilai ibadah dari pada haji. Begitu pula sebaliknya; memaksa diri untuk terus berangkat haji tidak membuat seseorang lebih dianggap teguh ibadahnya dari pada yang mendahulukan keselamatan.
Kholili Kholil, alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.