Kampus dan Pesantren, Ujung Tombak Gerakan Ekoteologi di Ruang Pendidikan

Ekoteologi adalah cara pandang keagamaan yang mengajarkan manusia untuk hidup lebih harmonis dengan alam.

Jakarta, NU Online

Gerakan Kementerian Agama menanam kesadaran ekologis melalui ruang-ruang pendidikan dan keagamaan terus digencarkan. Sebab, persoalan lingkungan yang kian kompleks tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan ilmiah semata. Diperlukan perubahan paradigma yang lebih luas dengan memadukan dimensi etis, spiritual, dan sosial dalam merancang strategi keberlanjutan.


Cara ini tengah dilakukan Kementerian Agama RI melalui gagasan ekoteologi. Secara harfiah, ekoteologi merupakan gabungan antara teologi dan ekologi. Teologi berarti sesuatu yang berkaitan dengan ketuhanan, sementara ekologi membahas tentang lingkungan.


Singkatnya, ekoteologi adalah cara pandang keagamaan yang mengajarkan manusia untuk hidup lebih harmonis dengan alam. Bagi Kemenag, isu lingkungan dapat disehatkan melalui ajaran agama tentang ekologi, sebab agama memiliki kekuatan besar untuk membangun peradaban.


Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBP SDM) Kemenag RI Prof Ali Ramdhani mengatakan bahwa ekoteologi pada dasarnya bertujuan membangun harmoni antara manusia dan alam.


"Kita sadar betul dunia ini satu-satunya tempat kita menitipkan hidup bahkan lebih jauh semesta ini sebuah tempat untuk kita melakukan lebih jauh bukan sebatas ibadah kepada sang khalik baik dalam konteks ibadah vertikal maupun horizontal maka penopang terhadap manusia pada dimensi spiritualnya adalah menjaga kehidupan dunia ini agar dapat berlangsung secara keberlanjutan jadi komprehensif," katanya, ditemui NU Online di Makara Art Center Universitas Indonesia (UI), Senin, 13 Oktober 2025.


Dhani, sapaan akrabnya, berpandangan bahwa tiga hal menjadi program strategis dan aktualisasi dalam menciptakan kemaslahatan, yakni moderasi beragama, kurikulum berbasis cinta, dan ekoteologi. Secara filosofis dan praktis, ekoteologi membangun konsep yang berlandaskan nilai-nilai agama.


"Arahan Menteri Agama, kalau hidup kita selalu digerakkan oleh logos kemudian etos di atas logos ada yang mengarahkan nilai spiritual maka kita menggerakkan sebuah model yang menggerakkan manusia tidak sekedar logika semata tapi nilai-nilai spiritual," tuturnya.


Menurutnya, ekologi adalah amanah dari Sang Pencipta untuk dipelihara, baik pada ruang filosofis maupun ruang praktis. Dalam ruang praktis, hal sederhana misalnya mengimplementasikan nilai bahwa kebersihan adalah bagian dari iman, menciptakan ruang bersih agar hidup lebih sehat, serta menanam pohon.


"Itu juga menjadi bagian dari kewajiban teman-teman CPNS, PPPK, dan ini diamplifikasi sedemikian rupa sampai dengan pernikahan tetapi ekoteologi tidak cukup hanya pada ruang penanaman pohon tetapi sebuah kesadaran tentang bagaimana memelihara alam ini secara berkelanjutan, banyak hal termasuk pada cara dieksploitasi dari SDA yang kemudian tidak mengganggu keseimbangan alam untuk memperbaiki dirinya," tambahnya.


Ia mengutip Mahatma Gandhi bahwa alam ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tetapi tidak akan mampu memenuhi tuntutan keinginan seseorang yang serakah.


"Jadi kata kuncinya 'serakah'. Kalau kata serakah ini tiada maka segala sesuatunya baik-baik saja dan untuk melawan serakah maka harus hadir nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber pada agama," tegasnya.


Pada dimensi praksis nyata, BMBPSDM Kemenag telah melakukan banyak hal seperti pembersihan sungai, pemeliharaan hutan, hingga penanaman pohon secara masif. Namun tantangannya, semua persoalan ini berkaitan dengan peradaban. Proses peradaban, jika ditelusuri hulunya, bermula dari kesadaran—mulai dari pemikiran, penghayatan, hingga bermuara pada ruang nyata.


"Jadi bagaimana pola pikirnya bagus, bagaimana menghayatinya bagus, dan melaksanakan dengan baik. Ekoteologi tidak boleh berhenti pada ruang-ruang pemikiran atau penghayatan tapi harus mewujud dalam ruang aktualisasi diri," jelasnya.


Dosen UIN Saifuddin Zuhri (Saizu) Purwokerto Muhammad Ash-Shiddiqy mengapresiasi program penguatan ekoteologi dalam Asta Protas Kemenag RI. Ia menyebut program ini sebagai langkah penting untuk membumikan spiritualitas Islam ke dalam tindakan ekologis nyata. Dalam perspektif ekonomi lingkungan, pendekatan ini menyeimbangkan antara kemaslahatan manusia dan kelestarian alam sejalan dengan prinsip maslahahammah dan al-‘adl fi al-‘ardh.


Sebagaimana diajarkan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 1999-2014 KH Sahal Mahfudh, pembangunan harus berorientasi pada tasharruf bil ma’ruf yakni pengelolaan sumber daya secara bijak dan berkelanjutan, bukan eksploitatif.


"Jadi, ekoteologi bukan hanya gerakan tanam pohon, tapi transformasi kesadaran ekonomi menuju gaya hidup zuhud ekologis: konsumsi seperlunya, produksi beretika, dan distribusi yang adil," kata Shiddiqy dihubungi terpisah.


"Di kampus, kami mulai dengan audit lingkungan internal (penghematan listrik, air, dan kertas), pendidikan hijau di kurikulum, serta kemitraan dengan pesantren dan masyarakat sekitar dalam gerakan menanam pohon dan bank sampah syariah," tambahnya.


Menurutnya, langkah kecil ini berorientasi pada tawazun atau keseimbangan antara spiritual, sosial, dan ekologis sebagaimana diajarkan para ulama terdahulu hingga kini.


Pesantren Hijau

Di pesantren, Kementerian Agama (Kemenag) meluncurkan gerakan Pesantren Hijau sebagai wujud nyata penerapan konsep ekoteologi. Direktur Pesantren Kemenag Basnang Said menyampaikan bahwa program ini merupakan bagian penting dari gerakan nasional penghijauan, sekaligus refleksi ajaran agama yang menekankan kepedulian terhadap lingkungan.


Beberapa pesantren telah menerapkan program Pesantren Hijau, di antaranya Pondok Pesantren Al-Hamid di Jakarta Timur, Pesantren Al-Ikhlas di Bone, dan Pesantren As’adiyah di Wajo, Sulawesi Selatan.


Mengapa perlu diterapkan di pesantren? Menteri Agama Nasaruddin Umar meminta agar konsep ekoteologi juga diterapkan di pesantren sebagai upaya menjaga lingkungan. Ia menegaskan ekoteologi bukan sekadar wacana, melainkan praktik nyata yang dapat dimulai dari lingkungan pesantren. Program penghijauan, gaya hidup hemat energi, hingga pola konsumsi ramah lingkungan merupakan bentuk ibadah ekologis yang sejalan dengan ajaran Islam.


"Ekoteologi wajah konkretnya ada penghijauan di pondok. Pesantren tidak boleh jorok," katanya pada peringatan Hari Santri 2025 di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.


Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mubtadi-ien Bahrul Ulum KH Mohammad Asrori menilai, jika pesantren berhasil menginternalisasikan nilai ekoteologi, maka ribuan desa di sekitarnya akan ikut merasakan dampaknya. Pesantren dapat menjadi laboratorium hidup untuk praktik ramah lingkungan, mulai dari pengelolaan sampah, pertanian organik, konservasi air, hingga energi terbarukan.


"Program Kemenag 2025 yang mendorong pemberdayaan pesantren berbasis ekologi bisa menjadi lokomotif transformasi sosial. Bukan hanya mencetak ulama, tetapi juga ulama hijau yang mampu berdakwah sekaligus menggerakkan aksi nyata penyelamatan lingkungan," tulisnya dalam opininya berjudul Ekoteologi dan Pemberdayaan Pesantren Jalan Hijau Kemenag 2025 yang tayang di Kompasiana.


Namun agar gagasan ekoteologi tidak berhenti pada ranah wacana, Kemenag perlu menyiapkan model pemberdayaan pesantren yang berlapis. Beberapa langkah strategis antara lain integrasi kurikulum hijau berupa mata pelajaran fiqih lingkungan, tafsir tematik tentang alam, hingga kajian hadis ekologis perlu dimasukkan dalam kurikulum pesantren.


Kemenag juga perlu menyiapkan pelatihan bagi kiai dan ustadz. Para pengasuh pesantren perlu mendapatkan pelatihan ekoteologi dan keterampilan praktis lingkungan, antara lain teknik pertanian berkelanjutan, pengelolaan energi, atau mitigasi bencana. Hal ini penting karena kiai merupakan figur sentral yang menentukan arah kebijakan pesantren.


Selanjutnya, pesantren dapat dikembangkan sebagai pusat ekonomi hijau. Pesantren bisa membangun unit usaha berbasis lingkungan seperti produksi pupuk organik, bank sampah, atau energi biogas dari kotoran ternak. Hasilnya bukan hanya meningkatkan kemandirian ekonomi pesantren, tetapi juga memberi contoh nyata bagi masyarakat.


Kemenag juga dapat memfasilitasi terbentuknya forum atau jaringan pesantren hijau lintas daerah. Pertukaran pengalaman, inovasi, dan praktik terbaik akan mempercepat penyebaran gerakan ekoteologi. Namun demikian, pesantren tidak bisa bergerak sendiri. Dukungan dari perguruan tinggi, LSM lingkungan, pemerintah daerah, dan sektor swasta perlu dioptimalkan.


"Kolaborasi ini memperkuat kapasitas pesantren sekaligus memperluas dampak gerakan," tulisnya.


Program Pesantren Hijau sendiri sudah lama digagas oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui tiga lembaga, yakni Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU), Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU), dan Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU). Ketiga lembaga tersebut fokus pada program Pesantren Hijau karena isu lingkungan sangat penting, khususnya dalam konteks Nahdlatul Ulama sebagai ormas yang peduli terhadap isu-isu lingkungan.


Pesantren dipilih karena merupakan subkultur yang memiliki kontribusi besar bagi peradaban, khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Wakil Ketua LPBI PBNU, Maskut Candranegara, menegaskan bahwa masalah lingkungan hidup harus ditanggapi secara serius.


"Isu lingkungan ini sudah menjadi isu global. Jadi tidak hanya Indonesia tetapi sudah mendunia, dan itu harus semua pihak untuk ikut serta bersama-sama berperan mengatasi permasalahan lingkungan ini," kata Maskut.


Ia menjelaskan, dalam keluarga besar Nahdlatul Ulama, perhatian utama harus diberikan kepada komunitas yang paling dekat, yakni pesantren.


"Yang paling terdekat ini tentunya di kalangan pondok pesantren, harus menjadi perhatian sebelum melangkah lebih luas lagi. Kami bersama-sama dengan LAZISNU dan RMI, kami mencoba untuk melangkah satu persatu dengan mengawalinya hari ini kami belajar di Pondok Pesantren Darul Muttaqien," ujarnya.


Ada tujuh pondok pesantren yang menjadi bagian dari program Pesantren Hijau, yakni Pesantren Mahasina Bekasi (Jawa Barat), Pesantren Al-Kenaniyah Jakarta, Pesantren Al-Hamid Cilangkap Jakarta Timur, Pesantren Al-Hamidiyah Depok (Jawa Barat), Pesantren Al-Mubarok Mranggen (Demak, Jawa Tengah), Pesantren Zainul Hasan Genggong (Jawa Timur), dan Pesantren Malnu Menes (Pandeglang, Banten).


Pesantren dipilih karena memiliki figur kiai yang memiliki otoritas penuh terhadap pengelolaan pesantren, serta komunitas santri dan masyarakat sekitar yang besar. Dengan demikian, pesantren diharapkan dapat membangun kesadaran ekologis secara masif melalui komunitasnya.


"Jadi prinsip 3R, Reduce (kurangi), Reuse (gunakan kembali), dan Recycle (daur ulang) itu nanti benar-benar bisa kita tanamkan dan bisa kita jadikan sebuah habit (kebiasaan) di pesantren, agar ini (program) akan bisa menjadi kontribusi pesantren dan juga kontribusi NU dalam konteks untuk merawat jagat itu," ujarnya.


Ekoteologi Masjid

Program ekoteologi juga diterapkan di masjid. Ketua Lembaga Dakwah PBNU KH Abdullah Syamsul Arifin menyatakan bahwa masjid memiliki potensi besar sebagai pusat dakwah kesalehan ekologis. Baginya, kesalehan umat bukan hanya bersifat spiritual dan sosial, tetapi juga mencakup kesalehan terhadap lingkungan.


“Empat bentuk kesalehan spiritual, individu, sosial, dan natural, harus dibina secara seimbang. Masjid sangat strategis untuk itu, karena pesan keagamaan yang disampaikan khatib sangat efektif membentuk kesadaran kolektif,” ungkapnya.


Menurutnya, diperlukan panduan yang kontekstual dan aplikatif agar para khatib, takmir, dan jemaah memiliki pegangan dalam mengintegrasikan nilai-nilai ekologis ke dalam aktivitas masjid.


Lembaga Dakwah PBNU bahkan telah bekerja sama dengan Kementerian Agama untuk menyusun buku panduan nasional penerapan ekoteologi di masjid. Panduan ini disiapkan sebagai acuan bagi pengurus masjid dalam menerapkan prinsip-prinsip kesalehan ekologis yang berakar dari ajaran Islam. Sebanyak 60 peserta dari unsur LD PBNU, pengurus masjid Jabodetabek, tokoh agama, akademisi, peneliti, dan tim perumus buku dilibatkan dalam proses penyusunan.


Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Abu Rokhmad menegaskan bahwa buku panduan ini menjadi langkah awal untuk mendorong masjid hadir sebagai motor dakwah lingkungan berbasis nilai-nilai keislaman. Menurutnya, penerapan ekoteologi bukan hanya sebatas menanam pohon di halaman masjid.


Ekoteologi di Perguruan Tinggi

Dalam upaya mendukung pencapaian keadilan ekologis dan melibatkan kampus dalam gerakan global pelestarian lingkungan, Kemenag menggandeng Forum Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan bersama Jaringan Gusdurian. Dalam diskusi yang berlangsung di Asrama Haji Pondok Gede, 30 Agustus 2025, forum ini merumuskan prototipe green campus yang bertujuan menciptakan lingkungan kampus ramah lingkungan dengan prinsip zero waste society.


Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Asep Saepudin Jahar mengatakan konsep ini bertujuan mengintegrasikan pendekatan agama, kearifan lokal, serta teknologi ramah lingkungan. Lima indikator utama dalam menciptakan green campus meliputi tata ruang dan infrastruktur ramah lingkungan, pemanfaatan energi terbarukan, pengolahan sampah dan air, transportasi ramah lingkungan, serta pendidikan dan penelitian yang responsif terhadap lingkungan.


Penggunaan energi terbarukan menjadi bagian dari upaya pengurangan jejak karbon di kampus. Selain itu, pengelolaan limbah dan daur ulang juga menjadi langkah penting dalam menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan kampus.


"Untuk itu, kampus-kampus yang terlibat dalam gerakan ini akan dijadikan sebagai laboratorium sosial untuk menguji dan memodelkan penerapan konsep green campus, yang diharapkan dapat diperluas ke seluruh kampus di Indonesia," ujarnya.


Forum ini juga menegaskan bahwa dalam implementasinya, kampus-kampus diharapkan dapat mengembangkan kurikulum berbasis ekoteologi yang memperhatikan aspek keagamaan dan kearifan lokal. Sebagai contoh, pengenalan kurikulum ekoteologi ini akan menyentuh berbagai disiplin ilmu, baik ilmu sosial, ekonomi, maupun teknik lingkungan.


"Hal ini juga akan mendukung pencapaian tujuan global seperti Sustainable Development Goals (SDGs),  khususnya tujuan ke-16 mengenai perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat," ungkapnya.


Suci Amaliyah
Kontributor

logo