Keluarga Maslahat ala KH Bisri Syansuri (1): Bela Hak Perempuan, Restui Program KB

Kiai Bisri konsisten membela hak-hak perempuan dan keluarga secara seimbang, di antaranya terkait hak publik untuk perempuan, inisiatif penyelarasan UU Perkawinan, dan KB.

KH Bisri Syansuri lahir dengan nama Muhammad Mustajab, anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan suami istri Syansuri Abdus Shomad dan Siti Rohmah (Mariah).


Leluhur Kiai Bisri Syansuri adalah keluarga maslahat terpandang dan terhormat, yang melahirkan ulama-ulama besar dalam beberapa generasi, di antaranya adalah Kiai Kholil, Kiai Ma’shum dan Kiai Baidhowi.


Karenanya, bukan hal yang mengherankan jika dari tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan keagamaan semacam itu tumbuh seorang yang kemudian hari menjadi sosok ulama terkemuka dan teladan dalam keluarga maslahat.


Kiai Bisri Syansuri menikah dengan Nyai Nur Khodijah pada 1914. Pada masa-masa awal setelah pernikahan, Kiai Bisri menghabiskan waktunya untuk membantu mengurus santri dan mengajar di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas.


Tiga tahun setelah menikah, atas inisiatif dirinya dan istri serta turut mendapatkan dorongan dari mertua, Kiai Bisri mbabat alas mendirikan pesantren di sebuah desa di selatan Tambakberas yang bernama Denanyar.


Kiai Bisri merintis pesantren setahap demi setahap. Pesantren berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Santri berdatangan dari luar daerah dan semua dididik Kiai Bisri dengan penuh keikhlasan dan istiqamah.


Pembela hak perempuan

Kiai Bisri senantiasa konsisten membela hak-hak perempuan dan keluarga secara seimbang, di antaranya adalah terkait hak publik untuk perempuan, inisiatif penyelarasan Undang-Undang Perkawinan, dan Keluarga Berencana (KB).


Kepedulian Kiai Bisri pada hak publik perempuan ini selaras dengan keputusan Nahdlatul Ulama dari masa ke masa. Para ulama NU terus memproduksi keputusan keorganisasian yang membela hak-hak perempuan.


Dalam Konferensi Besar (Konbes) Ulama NU pada 1957 misalnya, NU memutuskan bahwa menurut hukum Islam perempuan diperbolehkan menjadi anggota DPR/DPRD sesuai dengan kaedahnya.


Kemudian, Konferensi Besar (Konbes) Ulama NU pada 1960 memutuskan membolehkan pembatasan keturunan atau perencanaan keluarga (family planning).


Merujuk tahun 1960 bermakna bahwa fatwa ulama NU ini sudah terjadi pada Orde Lama, yaitu kepemimpinan Presiden Soekarno. Pada tahun itu, di antara ulama terpandang pakar fiqih dan ushul fiqih adalah KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisri Syansuri.


Dapat ditarik kesimpulan bahwa Konbes NU yang menjaga kemaslahatan perempuan ini muncul jauh-jauh masa ketika sebelum diperkenalkan program KB pada 1967 oleh pemerintah Orde Baru, Presiden Soeharto. Program pemerintah itu akhirnya juga direspon PBNU pada 1969, ketika Syuriyah PBNU mengeluarkan keputusan tentang Keluarga Berencana (KB).


Kemudian Mukti Ali, Menteri Agama periode 1971-1978, memohon pandangan tujuh ahli agama, dan di antaranya adalah Kiai Bisri Syansuri dengan pelaksanaan “Musyawarah Ulama Terbatas mengenai Keluarga Berencana Dipandang Dari Segi Syariat Islam” yang diadakan oleh Departemen Agama RI di Wisma Heny yang berlangsung pada 26-29 Juni di Jakarta.


Pada 28 Juni 1972, Kiai Bisri Syansuri, sebagai Rais ‘Aam PBNU, menyampaikan fatwa tanggapan tentang KB. Pada ujung pelaksanaan musyawarah itu, pada 29 Juni 1972 keluar keputusan tujuh para ulama itu.


KB untuk kemaslahatan keluarga

Kiai Bisri Syansuri, sebagai representasi Nahdlatul Ulama, merestui program Keluarga Berencana (KB), yang bertujuan untuk kemaslahatan keluarga.


Pemikiran progresif itu mengundang kekaguman pemimpin luar negeri dari negeri-negeri Muslim yang berkunjung ke Pesantren Denanyar, untuk mengambil inspirasinya. Demikian sebagaimana diceritakan Kiai Abdul Aziz Masyhuri di hadapan para pengajar Pesantren Denanyar dalam salah satu serial pengajian kitab.


Sholihan, santri Denanyar pada 1970-an turut memberikan kesaksian bahwa pada pertengahan tahun 70-an ada dua belas perwakilan negara yang silaturahim dan sowan kepada kiai Bisri Syansuri.


"Alhamdulillah, saya sendiri yang menyerahkan buku Fatwa KB Kiai Bisri Syansuri itu kepada para tamu perwalian 12 negara di Ndalem Kasepuhan. Saya mencium tangan mereka. Saya juga mencium tangan Menteri Agama, ketika itu. Ketika Kiai Bisri berpidato itu, kemudian diterjemahkan oleh Gus Dur dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, bertempat di Ndalem Kasepuhan Pondok Denanyar," tuturnya ketika penulis wawancarai beberapa tahun lalu.


Dalam fatwanya yang kemudian dibukukan, Kiai Bisri secara tegas menyatakan bahwa pada dasarnya, program Keluarga Berencana (KB) itu bertujuan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya.


Dengan demikian bahwa setiap tujuan yang bermaksud untuk kemaslahatan atau kesejahteraan tentu akan dibenarkan oleh Islam selama cara-cara yang ditempuh bisa dibenarkan oleh syari’at Islam.


Kiai Bisri mendasarkan kebolehan KB itu antara lain dengan mengutip pandangan hukum Imam al-Ghazali dengan dasar beberapa riwayat hadits yang dapat diinterpretasikan sebagai kebolehan suatu keluarga untuk menunda kehamilan.


Menurut Kiai Bisri, KB pada dasarnya memang bertujuan untuk kemaslahatan, baik bagi suami istri secara keluarga maupun masyarakat atau kaum Muslimin, dan pelaksanaannya tidak berbeda dengan ‘azl (penundaan kehamilan). Oleh karena itu, KB yang dilakukan oleh suami istri dengan alasan kesehatan jasmani atau rohani, tidak dilarang oleh Islam selama tidak membahayakan.


Dalam sudut pandang Kiai Bisri, praktik Keluarga Berencana dapat dibenarkan atau dibolehkan selama dapat dipenuhi beberapa syarat-syarat ini: (1) tujuan dan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan hukum Islam; (2) pelaksanaannya tidak dipaksakan kepada masyarakat; (3) obat-obatan/alat-alat yang dipergunakan harus dikontrol dengan ketat dan diberikan sanksi hukuman yang berat bagi siapa saja yang menggunakannya untuk maksud yang tidak baik.


Memaknai KB, berarti membahas soal pengendalian jumlah penduduk. Pada waktu program Keluarga Berencana diperkenalkan, dalam kalangan masyarakat Muslim, memang sempat terjadi perbedaan pendapat karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.


Selain itu, KB menurut para penyanggah, merupakan bentuk pengebirian umat Islam dan dapat menghambat peningkatan pemeluk agama. Namun dengan argumentasi para ulama, khususnya Kiai Bisri, perbedaan pendapat itu tidak berlarut-larut, setidaknya ada sikap saling menghormati perbedaan pendapat, sebagaimana hal ini sudah biasa terjadi di lingkungan Nahdlatul Ulama, dan pada umumnya di masyarakat Indonesia.


Demikianlah, terlihat jelas bahwa Kiai Bisri dalam banyak sikapnya senantiasa berpegang teguh pada tekstualitas fiqih dan kaidahnya. Namun, menyangkut hajat dan maslahat masyarakat banyak, dalam hal ini terkait dengan KB, Kiai Bisri melakukan kontekstualisasi fiqih, sekaligus membuktikan sikap kenegaraannya; mendukung pemerintah terkait program yang sejalan dengan prinsip dan maslahat keagamaan terkait keluarga maslahat.


Yusuf Suharto
Kolomnis

logo