Keluarga Maslahat ala KH Bisri Syansuri (2): Merintis Pesantren Putri Pertama di Indonesia Bersama Istri

Pesantren Mamba'ul Ma'arif memiliki 3 kategori santri perempuan, yakni santri yang mengalami depresi, santri yang persiapan nikah, dan santri yang mengaji pada umumnya.

Kebesaran seorang tokoh tampak dari karya hidup dan kebermanfaatannya di masyarakat. Hal ini juga berlaku bagi KH Bisri Syansuri, Rais ‘Aam PBNU (1971-1980).


Mustasyar PBNU KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam suatu ceramah Haul Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Nur Khodijah berpandangan, jasa pendiri pesantren putri pertama di Indonesia ini tidak kalah dibandingkan dengan jasa perjuangan para pahlawan pembela perempuan lain, sebagaimana yang ditorehkan oleh RA Kartini.


Pernyataan tersebut bermakna bahwa ketokohan Pengasuh Pesantren Denanyar ini sangat besar dan harus menjadi tonggak kenangan yang diteruskan para anak bangsa.


Ihwal pernikahan Nyai Nur Khodijah dengan Kiai Bisri Syansuri berawal ketika Nyai Nur Khodijah bersama ibundanya, yakni Nyai Lathifah, menunaikan ibadah haji bersama pada 1914.


Kemudian keduanya bertemu dengan Kiai Wahab Hasbullah, kakak kandung Nyai Khodijah yang saat itu sedang menempuh pendidikan di Mekah bersama sahabatnya yakni Kiai Bisri Syansuri. Tidak lama setelah pertemuan itu, Kiai Wahab Hasbullah bermaksud menjodohkan adiknya dengan sahabat karibnya yang berasal dari Tayu Jawa Tengah tersebut.


Menurut Gus Dur, Kiai Bisri mulai belajar di Makkah pada 1911/1912, bermakna beliau menikah setelah kurang lebih dua tahun dari masa belajar dan ibadah haji dan pernikahan ini bukan suatu halangan bagi beliau berdua untuk terus belajar kepada para ulama di Mekah-Madinah. Namun, karena ada peristiwa perang dunia pertama, membawa pasangan pengantin muda ini memutuskan kembali ke tanah air di tahun yang sama.


Merintis pesantren putri pertama di Indonesia

Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif berdiri pada 1917, saat usia Kiai Bisri dan Nyai Nur Khodijah ketika itu masih terbilang muda. Kiai Bisri berusia 30 tahun sedangkan Nyai Nur Khodijah berusia 20 tahun.


Mulanya pesantren ini hanya mengasuh santri putra. Namun dua tahun kemudian atau pada 1919, peantren ini mulai menerima santri putri di tengah situasi pada umumnya masyarakat pribumi kebanyakan mengalami kesulitan akses pendidikan, apalagi bagi perempuan. Pesantren ini dinamakan Mamba’ul Ma’arif dengan harapan menjadi tempat tumbuhnya kebijaksanaan dan bersemainya ilmu-ilmu keagamaan.


Lokasinya strategis, kurang lebih dua kilometer dari arah barat Kota Jombang. Di sebelah timur pondok terdapat pasar dan pabrik gula peninggalan Belanda. Sementara di sebelah utara dan barat, berupa hamparan sawah serta perkebunan yang subur. Mata pencarian masyarakat sekitar umumnya bertani, berdagang di pasar, dan buruh pabrik.


Bagi Nyai Nur Khodijah dan Kiai Bisri, hambatan-hambatan tersebut harus disikapi secara bijak dengan langkah strategis yang bisa diterima oleh masyarakat. Caranya melalui pendidikan untuk kaum perempuan di lingkungan pesantren.


Perjuangan Nyai Nur Khodijah dan Kiai Bisri Syansuri tentu tidaklah mudah, terlebih pada periode awal ketika beliau berdua baru saja membina rumah tangga. Oleh karenanya, pemberian pendidikan secara sistematis kepada santri putri dapat dipandang sebagai fenomena yang menarik dalam tradisi pesantren. Pendirian Pondok Pesantren Putri Denanyar dipandang sebagai satu-satunya yang ada di tanah Jawa pada masa itu.


KH Abdul Aziz Masyhuri dalam In Memorian KH M Bisri Syansuri Pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif dan Pendiri NU yang Terakhir Wafatnya mengungkapkan, “Perlu diingat, bahwa Pondok Putri Denanyar adalah merupakan satu-satunya pondok putri yang ada pada masa itu.”


Pesantren Mamba’ul Ma’arif menjadi pelopor pendidikan perempuan di pesantren yang berupaya menjangkau lebih banyak perempuan dan tidak terbatas pada kalangan atas priyayi.


Pada awalnya pesantren putri dianggap oleh masyarakat sebagai hal yang kurang lazim, meskipun pada waktu itu sudah ada sekolah perempuan yang mulai bermunculan di kota-kota besar. Sekolah formal dirintis oleh perempuan-perempuan yang di kemudian hari diikuti oleh banyak kalangan di berbagai penjuru Nusantara.


Pesantren putri ini bertempat di beranda belakang rumah (ndalem kasepuhan). Anak-anak perempuan dibimbing untuk belajar agama dan kitab kuning sebagaimana anak laki-laki. Langkah tersebut sempat dianggap aneh oleh sebagian ulama pesantren sendiri, termasuk oleh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama dan juga guru Kiai Bisri.


Pada suatu hari sang guru datang untuk melihat perkembangan pesantren putri yang diasuh muridnya itu. Begitu beliau selesai melihat proses belajar mengajar santri putri, Kiai Hasyim Asy’ari pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Maknanya, Kiai Hasyim Asy’ari tidak melarang maupun membolehkan.


Dengan demikian, Nyai Nur Khodijah dan Kiai Bisri tidak memperoleh izin secara spesifik dari sang guru. Beliau berdua memutuskan untuk melanjutkan terobosannya tersebut karena tidak ada larangan dari guru beliau.


Selain itu, beliau juga merasa pendirian pesantren putri tersebut sangatlah penting, Kiai Bisri dan Nyai Nur Khodijah menganggap pesantren khusus putri didirikan karena kebutuhan zaman, dan hak pendidikan bagi kaum perempuan.


Generasi putri pada masa itu mendapatkan pendidikan keagamaan di lingkungan terdekat, yaitu di rumah masing-masing, mendatangkan atau mendatangi pengajar khusus. Jadi, memang belum ada sekolah putri sebelumnya yang menyentuh arah pesantren.


Lembaga pendidikan keagamaan yang dikemas dalam bentuk pondok pesantren putri mulai dikenal di Indonesia berkat jasa pasangan KH. Bisri Syansuri dan Nyai Nur Khodijah. Walaupun tokoh yang dikenal sebagai perintis pesantren perempuan adalah KH Bisri Syansuri, tapi tentu saja sosok Nyai Nur Khodijah memiliki andil besar di dalamnya.


Ibu Nyai Hj Mu’tamaroh (Putri KH Wahab Hasbullah), salah seorang murid Nyai Nur Khodijah menceritakan keadaan tempat belajar mengaji kala itu, “Soalnya kalau dulu itu mondok itu, ngaji pulang, ngaji pulang. Dulu itu yang terkenal Pondok Putri Denanyar. Waktu saya mondok di sana itu, kira-kira anaknya (baca: santri putrinya) hampir ada lima puluhan.”


Tahun 1921 adalah awal mula penerimaan dan pendirian resmi pesantren putri ini dengan lebih merata menerima secara terbuka santri putri dari berbagai daerah. Puncaknya pada 1930 didirikan Madrasah Diniyah Putri Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar.


Perlahan namun pasti, perkembangan pesantren ini lumayan pesat. Kiai Bisri kemudian membagi wewenang pengawasan terhadap para santri. Kiai Bisri mengasuh dan memberi pelajaran sehari-hari kepada santri putra. Sementara Nyai Nur Khodijah mengasuh dan mengajar santri putri.


Dengan demikian, Pesantren Denanyar hanya butuh waktu dua tahun untuk menerima pelajar putri sebagai bagian dari santri pesantren. Gagasan Kiai Bisri dan Nyai Nur Khodijah ini kemudian menjadi inspirasi bagi banyak pesantren putri, termasuk di sekitar Tebuireng dan Tambakberas.


Pesantren Putri Denanyar ini sangat terkenal sebagai pesantren yang mendidik para perempuan agar menjadi insan bermartabat, memahami wawasan keislaman dasar melalui pengajian kitab kuning, dan mampu membaca Al-Qur’an dengan baik. Bahkan, ada identitas tersendiri untuk santri putri.


“KH Bisri Syansuri memberikan identitas tersendiri bagi para santri perempuannya, yaitu mengenakan atasan berupa kebaya dan bawahan berupa sewek atau sarung, kemudian menggunakan kerudung sebagai penutup aurat (rambut) yang hanya diselempangkan,” demikian Gus Dur dalam buku Kiai Bisri Syansuri Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat.


Kerudung di sini maksudnya kain selendang yang disangkutkan di kepala santri putri sebagai upaya menutup aurat perempuan. Model berpakaian ini merupakan kebiasaan Nyai Nur Khodijah yang digunakan sebagai acuan para santri putri ketika melaksanakan pendidikan di pesantren tersebut.


Antusiasme proses pendidikan kaum perempuan di lingkungan pesantren berlangsung bertahap. Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Nur Khodijah sering mendapat kritikan bahwa tugas utama perempuan bukanlah sekolah, tetapi menjadi ibu rumah tangga. Namun, tekad keduanya sudah bulat. Seiring waktu berjalan, proses perjuangan Kiai Bisri dan Nyai Nur Khodijah dalam membangun pondok pesantren putri pertama telah membawa perubahan yang signifikan.


Pendekatan dakwah dua ulama ini semakin diminati masyarakat, khususnya kaum perempuan. Pandangan masyarakat mulai terbuka dan memahami bahwa kedudukan perempuan sangat dimuliakan dalam ajaran Islam. Maka, kelas perempuan ini mampu bertahan dengan jumlah santri yang semakin bertambah di bawah pengelolaan dan asuhan Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Nur Khodijah secara langsung.


Kategori santri untuk kemaslahatan keluarga

Pesantren perempuan atau pesantren putri di Denanyar didirikan untuk kemaslahatan keluarga, khususnya perempuan. Menurut salah seorang cucu Kiai Bisri yaitu Nyai Muhassonah, terdapat tiga kategori santri yang diasuh dan dibimbing Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Nur Khodijah pada masa kedua beliau bersama. Nyai Nur Khodijah wafat pada 22 Ramadhan 1374 H atau 15 Mei 1955.


“Kategori pertama santri Denanyar iku, seng mondok kene iku wong seng stres-stres. Kedua, wes meh dadi manten. Ketiga, bagian ngaji (Kategori pertama santri Denanyar itu, yang mondok di sini itu orang yang stres. Kedua, sudah hampir jadi pengantin. Ketiga, bagian mengaji)," Nyai Muhassonah.


Jadi, ada tiga kategori santri yaitu (1) santri dari kalangan para perempuan yang mengalami depresi atau stres/tekanan batin; (2) santri perempuan yang sedang menjalani persiapan menikah atau calon pengantin wanita; dan (3) santri yang bagian mengaji pada umumnya, misalnya santri dari keluarga, saudara, dan dari tetangga Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif di kampung Denanyar dan sekitarnya. Berikut ini penjabarannya:


1. Santri perempuan yang mengalami depresi


Nyai Muniroh Iskandar mendapatkan cerita dari ibunya (Nyai Muhassonah):

Santri seng dipun tilar sedo garwone lan dipun cereaken. Dados tiyang seng stres-stres terose ibuk teng mriki niku katah tiyang stres. Kaleh Mbah Nur Khodijah niku ditlateni, dijak wirid, istighotsah. Akhire sampun waras-waras, dibalekaken terus payu. Waras, dibalekaken, payu. (Santri “perempuan” yang ditinggal wafat suaminya dan ada juga yang karena diceraikan. Jadi, orang yang stress kata ibu saya, di sini itu banyak. Oleh Mbah Nur Khodijah itu ditekuni, diajak wiridan, dan istighotsah. Akhirnya setelah sembuh, dikembalikan kepada keluarganya, kemudian menikah. Sembuh, dikembalikan kepada keluarganya, kemudian menikah).”


Dari cerita-cerita yang disampaikan tersebut, salah satu kategori santri putri yang nyantri di Pondok Pesantren Denanyar saat itu adalah para santri perempuan yang mengalami depresi. Penyebab depresi ini adalah karena mereka mengalami problem dalam rumah tangga, misalnya sang suaminya meninggal dunia, suami yang tiba-tiba menceraikan tanpa sebab, dan suami yang mengambil hak asuh anak mereka.


Solusi yang diterapkan Kiai Bisri Syansuri dan Nyai Nur Khodijah untuk mengatasi problem santri kategori ini adalah dengan mengajak mereka istiqamah semakin mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan wiridan, istighotsah, shalat hajat, berdoa, dan mengaji Al-Qur’an. Lambat laun mereka pun sembuh dan kembali sehat seperti sedia kala. Ketika mereka sudah sehat, mereka kembali kepada keluarganya dan siap membina rumah tangga kembali.


2. Santri perempuan yang persiapan menikah


Nyai Muniroh Iskandar menyampaikan perihal santri putri Denanyar yang melakukan persiapan menikah:

Santri seng bade dipun nikahaken kaleh tiyang sepuhe. Dadi mondok niku namung persiapan nikah. Tigang ulan mpun dilamar tiyang, bade dinikahaken, dipondokaken mriki. Nopo perlune? Nah, dawuhe ibuk, diajari dziba’an, diajari khataman, diajari moco doa Khotmil Qur’an. Teng kampung niku dawuhe ibuk mesti kudu iso moco doa Khotmil Qur’an. (Santri yang akan dinikahkan oleh orang tuanya. Jadi mondok itu hanya persiapan untuk menikah. Tiga bulan sudah dilamar orang, akan dinikahkan, dipondokkan di sini. Apa tujuannya? Nah, kata ibu, diajari dziba’an, diajari khataman, diajari membaca doa Khatmil Qur’an. Di kampung itu kata ibu, harus bisa membaca doa Khatmil Qur’an).”


Ibunda Nyai Muniroh, yakni Nyai Muhassonah memperjelas santri kategori ini. Mereka merupakan para santri perempuan yang sudah dilamar dan tinggal menunggu hari pelaksanaan pernikahan.


Santri seng wes meh dadi manten, wes dilamar uwong, wes karek hari H ne. Yo kadang muk sakwulan, rongulan. Golek stempel tok, kok e mondok Denanyar. Wes nduwe calon, sakwulan mlebu, trus dadi manten. Wes nduwe calon, jek tas rongulan mlebu, trus dadi manten. Wes enek jodone, golek stempel, dadi manten iku bisa dikatakan dia alumni Denanyar.”(Santri yang sudah hampir menjadi pengantin, sudah dilamar orang, tinggal menunggu hari H saja. Ya, kadang cuma satu bulan, dua bulan. Mencari "stempel" saja kok mondok di Denanyar itu. Sudah punya calon, sebulan masuk pondok, lalu jadi pengantin. Sudah punya calon, dua bulan masuk pondok, lalu jadi pengantin. Sudah ada jodohnya, mencari "stempel", jadi pengantin itu bisa dikatakan dia alumni Denanyar)," kata Nyai Muhassonah.


Kemudian Nyai Muhassonah memberikan tambahan penjelasan:

Terus wes bar dadi manten, rono Dziba’an. Kan nginep, nginep ngunu. Tumpakane Dokar. Nginep, Khataman Qur’an mulai juz telung puluhAmma yatasa’alun… sampek mari iku. Terus Dziba’an sampek bengi. Nginep-nginep, mene isuk kaet muleh. Lah iku dakwahe. Dengan begitu, kan orang tertarik. Terus podo mondok mriki. Yo ngono iku tok... (Kemudian setelah menjadi pengantin, ada acara Dziba’an. Mereka menginap, seperti itu. Naik dokar. Menginap, Khataman Qur’an mulai dari juz tiga puluh ‘Amma yatasa’alun… sampai selesai. Kemudian Dziba’an sampai malam. Menginap, lalu pagi harinya baru pulang. Nah, itulah dakwahnya. Dengan begitu, orang jadi tertarik….).”


Penulis pribadi, ketika menelusuri manuskrip dan kitab peninggalan Kiai Bisri Syansuri menemukan banyak dokumen, dan di antaranya adalah kertas satu lembar yang berada dalam lembaran sebuah kitab yang berisi tulisan tangan, ketika ada peristiwa pernikahan santri. Tertulis tahun 1952 yang kemudian akad pernikahan santri Denanyar itu dilaksanakan di Pesantren Denanyar, kemudian boyongan di Kajen.


Sebelumnya dinyatakan bahwa santri yang dinikahkan oleh Kiai Bisri Syansuri itu sowan ke Ndalem Kasepuhan pada Ahad Pahing 5 Dzulqa’dah. Sementara itu, akad nikahnya dilaksanakan pada 29 Agustus 1952 atau Kamis Wage 7 Dzulhijjah 1371. Penemuan dokumen ini menjadi bukti bahwa memang cerita turun temurun tentang kategori santri perempuan untuk persiapan pernikahan benar-benar ada dan valid.


3. Santri mengaji pada umumnya


Nyai Muhassonah yang merupakan salah satu cucu kesayangan sekaligus santri Kiai Bisri dan Nyai Nur Khodijah menceritakan:

Santri bagian ngaji….Yo Ngaji Qur’an, Safinatun Najah, Sulamut Taufiq, Bidayatul Hidayah, Adabul Mar’ah pernikahan iku lo yo...Memang pondok putri pertama ndek Jombang yo nggone Mbah Yai Bisri iki. Uwakeh seng podo mondokno putrane iku. Pokok yo Ngaji Qur’an iku iso apik ambek Dziba’an. (Santri bagian mengaji….ya mengaji Qur’an, kitab Safinatun Najah, Sulamut Taufiq, Bidayatul Hidayah, Adabul Mar’ah tentang pernikahan itu juga. Memang pondok putri pertama di Jombang ya di tempat Mbah Yai Bisri ini. Banyak yang mengirim putrinya mondok di situ. Pokoknya ya mengaji Qur’an itu bisa bagus dengan Dziba’an).”


Salah seorang cucu Kiai Bisri Syansuri, yaitu Nyai Muflihah Shohib menceritakan, “Murid atau santri putri yang pertama dari Kiai Bisri dan Mbah Nyai Khodijah kebanyakan adalah keponakan-keponakan beliau, termasuk Bu Nyai Jumiatin Musta’in, Bu Nyai Mu’tamaroh, Bu Nyai Mundjidah, Bu Nyai Mas’adah Hisyam, Neng Mamah putrinya Kiai Mahrus Lirboyo, Neng Sus putrinya Kiai Romli.”


Pada masa awal merintis pesantren putri, persoalan kesinambungan belajar sempat menjadi persoalan dalam pengelolaan pesantren putri. Ada santri yang terpaksa tidak melanjutkan pelajaran karena keharusan menikah. Kelas perempuan pertama di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif pada masa Nyai Nur Khodijah belum menargetkan cita-cita tinggi seperti mencetak ulama perempuan.


Fokus belajar pada masa itu, kaum perempuan memperoleh pendidikan dasar serta mempersiapkan mereka untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik. Mereka belajar kitab-kitab pernikahan seperti Adab al-Mar’ah dan Uqud al-Lujayn, di samping kitab dasar seperti Safinatun Najah dalam bidang Fiqh dan Aqidat al-Awam dalam bidang Tauhid. Untuk pengajian berupa kitab-kitab kuning, seluruhnya di bawah bimbingan langsung Kiai Bisri Syansuri, sedangkan khusus untuk pengajian Al-Qur’an langsung dibimbing oleh Nyai Nur Khodijah.


Hal demikian sebagaimana yang disampaikan Nyai Mahfudhoh, “Kalo Mang Bisri saya ikut ngajinya kitab (Kalau dengan Paman Bisri, saya ikut belajar kitab).”


Hj Asma’ juga menceritakan bahwa:

Ngajine ten Bu Nyai mbendinten Ba’dho Shubuh nggeh terus mboten enten preine. Nek Mbah Yai niku ngaose nggeh ngentosi mpun podo nglumpuk. Dados diutus nglumpuk terus diulang kaleh Mbah Yai Bisri. “Bu Nyai namung mucal Qur’an mawon. Mboten mucal kitab, tapi Mbah Yai seng mucal kitab kathah. Kitab seng gawe wong arep dadi manten nggihan. Nek ngaji yo ndek ndaleme Mbah Yai. (Belajar mengaji dengan Bu Nyai setiap hari setelah Subuh dan tidak ada liburnya. Kalau Mbah Yai Bisri, mengajarnya menunggu sampai semua berkumpul. Jadi, disuruh berkumpul lalu diajar oleh Mbah Yai Bisri. "Bu Nyai hanya mengajar Al-Qur'an saja. Tidak mengajar kitab, tetapi Mbah Yai Bisri yang mengajar banyak kitab. Kitab yang digunakan untuk orang yang akan menikah. Kalau belajar mengaji, ya di rumahnya Mbah Yai).”


Zaman telah berubah dengan adanya sistem pendidikan klasikal formal, dan kategori tiga santri putri Denanyar sebagaimana disebut sudah semakin menepi. Santri kategori ketiga yaitu belajar dan mengaji inilah yang kemudian menjadi dominan hari ini di pesantren putri mana pun, saat ini termasuk di Denanyar.

 

Penulis: Yusuf Suharto, Pegiat Sejarah Pesantren Denanyar dan Dosen Ma’had Aly

 

Bahan Rujukan

Hilmy, Muhammad. Biografi KH. Bisri Syansuri . Jombang: Yayasan Mamba'ul Ma'arif, 2014.

Sekretariat PP Mamba’ul Ma’arif. Al-Marhum KH. Bisri Syansuri. Jombang, 1980.

Shohib, Abdussalam. Kiai Bisri Syansuri Tegas Berfiqh lentur Bersikap. Surabaya: Pustaka Adea, 2015.

Atik Masfiah, dan Yusuf Suharto. Nyai Nur Khodijah Perintis Pesantren Putri Indonesia. Akademia Pustaka, 2023.

Masyhuri, Abdul Aziz. Al-Maghfurlah KH M Bishri Syansuri. Surabaya: Al-Ikhlas, 1983.

Wahid, Abdurrahman. 1989. Kiai Bisri Syansuri Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat. Jakarta: Majalah Amanah, 1989.

Halaqah Bu Nyai Inspiratif, 21 Januari 2023 di Pesantren Putri Denanyar

Wawancara Dzuriyah dan Tim Pegiat Sejarah Denanyar kepada para narasumber


Yusuf Suharto
Kolomnis

logo