Keluarga Maslahat ala KH Bisri Syansuri (3-Habis): Memperjuangkan Revisi UU Perkawinan

Perdebatan mengenai RUU Perkawinan sangat alot, melibatkan unsur keagamaan, organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan, organisasi kewanitaan.

Pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, berbagai kerajaan seperti Sriwijaya, Singosari, dan Majapahit berkembang dan dipengaruhi oleh hukum agama Hindu dan Budha. Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit berperan penting dalam mengatur hukum adat, termasuk hukum perkawinan dan keamanan negara.


Setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, muncul kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang mengadopsi hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya. Sultan sebagai pemimpin mengangkat penghulu untuk mengatur urusan agama dan memberikan fatwa.


Pada abad ke-13, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh mengadopsi hukum Islam Mazhab Syafi'i, diikuti oleh kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Jepara, Tuban, dan Gresik pada abad ke-15 dan ke-16.


Di bagian timur Indonesia, terdapat kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, dan Bima yang juga menganut hukum Islam bermazhab Syafi'i. Hukum Islam menjadi kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia dan diadopsi oleh berbagai kerajaan Islam di Nusantara.


Hukum Masa Penjajahan

Ketika Belanda masuk ke Indonesia melalui VOC pada 1596, mereka mempertahankan kebijakan hukum yang telah dijalankan oleh para sultan, termasuk hukum Islam. Bahkan, VOC memfasilitasi penerbitan buku-buku hukum Islam untuk pegangan hakim peradilan agama.


Setelah masa VOC, Inggris sempat menguasai Indonesia, sebelum akhirnya Belanda kembali dan berusaha mengganti hukum dengan hukum Belanda.


Muncul dua teori hukum di kalangan Belanda: Recepcio in Complexu yang menganggap hukum Islam berlaku bagi orang Indonesia asli, dan teori Receptie oleh Snouck Hurgronje yang menganggap hukum adat sebagai hukum yang berlaku di masyarakat Indonesia.


Kolonial Belanda kemudian mengakui hukum adat daripada hukum Islam, namun tetap mempertahankan peradilan agama untuk urusan perkawinan. Undang-Undang Perkawinan yang dibuat Belanda sering kali tidak mengakomodasi kepentingan umat Islam, yang memungkinkan terjadinya pernikahan beda agama.


Meskipun Kongres Perempuan Indonesia pada 1928 mengusulkan penyusunan undang-undang perkawinan, usulan tersebut menghadapi hambatan. Hingga akhir penjajahan, Belanda tidak berhasil membuat undang-undang perkawinan yang berlaku secara nasional, hanya ada peraturan untuk golongan tertentu seperti Ordonansi Perkawinan Kristen dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) untuk warga keturunan Eropa dan Cina, sementara bagi umat Islam hanya ada peraturan hukum formal dari kitab fiqih.


Undang-Undang Perkawinan Masa Orde Lama

Pada masa pemerintahan Orde Lama (1945-1965), berbagai peraturan hukum perkawinan warisan Kolonial Belanda masih berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia yang berbeda, tanpa undang-undang perkawinan yang berlaku secara nasional.


Golongan Kristen dan keturunan Eropa-Cina telah memiliki kodifikasi hukum yang jelas, sementara golongan Islam belum memilikinya, yang menyebabkan berbagai permasalahan dalam kasus-kasus perkawinan.


Upaya pemerintah untuk menetapkan undang-undang perkawinan dimulai pada tahun 1946 dengan UU No. 22 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang berlaku untuk Jawa dan Madura, serta Sumatra.


Upaya untuk menyusun undang-undang perkawinan nasional terus berlanjut, termasuk pembentukan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk pada tahun 1950. Panitia ini menghasilkan rancangan undang-undang perkawinan yang mencakup peraturan umum dan khusus untuk berbagai golongan agama.


Namun, RUU yang diajukan pada 1952 dan RUU inisiatif Soemari pada 1958, yang mengusulkan monogami wajib bagi umat Islam, menghadapi berbagai kendala, baik internal maupun eksternal, hingga akhirnya ditarik kembali tanpa menjadi undang-undang. Hingga akhir pemerintahan Orde Lama, tuntutan untuk memproduksi undang-undang perkawinan nasional masih belum terwujud.


Pembahasan RUU Perkawinan zaman Kiai Bisri

Saat masa penuh kesulitan setelah percobaan penggulingan kekuasaan oleh G-30-S/PKI pada 1965, dengan pertumpahan darah dan perpindahan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, Kiai Bisri Syansuri kerap harus meninggalkan Jombang untuk turut serta dalam pengambilan keputusan di lingkungan Nahdlatul Ulama mengenai masalah-masalah nasional, karena Kiai Abdul Wahab pada tahun itu telah banyak menghadapi uzur karena sakit.


Dalam periode setelah wafatnya Kiai Abdul Wahab pada akhir 1971 dan pengangkatan Kiai Bisri Syansuri sebagai Rais ‘Aam, semakin jelas beratnya tanggung jawab memimpin Nahdlatul Ulama.


Organisasi ini semakin nyata membuktikan diri sebagai kekuatan sosial-keagamaan yang memiliki kekuatan jumlah anggota dan daya tahan dalam banyak gelombang persoalan. Begitu banyak perkembangan yang menguji kelangsungan hidupnya sendiri.


Dalam konteks inilah, Nahdlatul Ulama dipaksa meleburkan fungsi politiknya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, NU tidak ingin terbawa arus hanya dalam urusan politik kepartaian, NU secara tegas memperkuat fungsinya sebagai gerakan sosial-keagamaan yang bersifat non-politik (jam’iyah) di luar kepartaian.


Kiai Bisri sebenarnya keberatan dengan cara-cara peleburan ini, tetapi beliau tidak berpangku tangan melihat tantangan demi tantangan yang dihadapi. Meski aktif di PPP, Kiai Bisri berhasil menempatkan NU sebagai organisasi masyarakat yang kokoh dan tangguh, serta pada 1984 disempurnakan oleh cucunya, Gus Dur, dengan Nahdlatul Ulama kembali ke Khittah 1926.


Tantangan besar pertama adalah munculnya sebuah Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang secara keseluruhan jauh dari ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya. Proses perundingan untuk menyetujui RUU tersebut agar menjadi Undang-Undang (UU) berlangsung sangat alot dan ketat.


Pada periode Orde Baru ini, dalam masa sidang 1967-1971, Parlemen (DPR-GR) membahas kembali RUU Perkawinan, yaitu:


1. RUU Perkawinan Umat Islam yang berasal dari Departemen Agama, diajukan kepada DPR-GR pada Mei 1967.


2. RUU Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan dari Kehakiman, diajukan kepada DPR-GR pada September 1968.


Pembahasan kedua RUU ini mengalami kemacetan, karena ada fraksi yang menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama. Menurut fraksi ini, pengaturan perkawinan sebagaimana ditentukan oleh kedua rancangan undang-undang tersebut tidak sesuai dengan hakekat bernegara Pancasila dengan masyarakat yang majemuk. Pandangan ini mendapatkan respons, bahwa undang-undang tersebut tidak mengubah Indonesia menjadi negara agama, namun berusaha memperbaiki nasib kaum ibu yang beragama Islam.


Pada Juli 1973, pemerintah melalui Departemen Kehakiman kembali mengajukan RUU Perkawinan yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal kepada DPR hasil pemilu 1971. Presiden Soeharto menarik kembali kedua RUU perkawinan yang disampaikan kepada DPR-GR pada tahun 1967.


RUU Perkawinan pada 1973 mendapat perlawanan dari kalangan Islam dan perguruan tinggi organisasi dan tokoh Islam berpendapat bahwa RUU tersebut bertentangan dengan agama dan Pancasila serta UUD 1945.


Dari 73 pasal RUU Perkawinan, beberapa pasal dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut sebagian ulama. Pasal 2 ayat (1) RUU Perkawinan yang menyatakan sahnya perkawinan hanya jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan mendapat kritik karena dalam pandangan para ulama, sahnya perkawinan adalah pada saat akad nikah.


Ketentuan Pasal 49 ayat (1), (2), dan (3) RUU Perkawinan mengenai hubungan perdata antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan dengan ibunya juga mendapat perhatian. Dalam musyawarah para ulama yang dipimpin KH Bisri Syansuri di Pondok Pesantren Denanyar Jombang pada 24 Rajab 1393 H/22 Agustus 1973, diputuskan untuk mengusulkan perubahan RUU Perkawinan.


Penolakan umat Islam terhadap RUU tersebut mendapat perhatian dari pemerintah. Presiden Soeharto menerima delegasi partai/fraksi PPP yang dipimpin oleh KH Bisri Syansuri dan KH Masykur.


Serangkaian lobi antara penguasa dengan Fraksi PPP dan Fraksi ABRI menghasilkan konsensus bahwa semua hukum agama Islam yang termuat dalam RUU tersebut tidak akan dikurangi, dan semua peraturan pelaksanaannya tidak akan diubah. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dihilangkan dari RUU tersebut.


Perdebatan mengenai RUU Perkawinan sangat alot, melibatkan unsur keagamaan, organisasi masyarakat, organisasi kepemudaan, organisasi kewanitaan. Setelah mengalami perubahan atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja, RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada 22 Desember 1973 disahkan menjadi undang-undang pada 2 Januari 1974 sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


Demikianlah respons para ulama, khususnya Kiai Bisri Syansuri yang tegak lurus mengawal kemaslahatan umat untuk keluarga maslahat.


Yusuf Suharto
Kolomnis

Lainnya

logo