Tokoh disegani dan multitalenta itu dikenal dengan sapaan Kiai Wahab. Beliau memiliki nama lengkap Abdul Wahab bin Chasbullah bin Said bin Syamsuddin bin Nurkholifah (Pangeran Paku Projo) bin Husain (Prabu Anom Kusumo) bin Abdul Djalil bin Zainuddin bin Isa bin Abdul Wahid bin Sholeh (Pangeran Santri) bin Djoko Tingkir. Beliau dilahirkan di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, pada tahun 1881 atau 1884 (Greg Fealy), 1883 (Greg Barton), 1887 (Choirul Anam), 1888 (Aboebakar Atjeh), dan 1888 (Parlaungan).
Dalam buku Sejarah Tambakberas cetakan lama, tim sejarah Tambakberas menghitung dan menyimpulkan bahwa tahun kelahiran Kiai Wahab adalah 1886. Pendapat ini didasarkan pada buku Kiai Abdul Halim, murid sekaligus sahabat Kiai Wahab Chasbullah sejak di Makkah tahun 1914. Beliau menuliskan bahwa Kiai Wahab setelah mondok di pesantren yang ada di Nusantara, selanjutnya mukim di Makkah selama lima tahun. Berangkat ke Makkah di usia 23 tahun, dan pulang pada usia 28 tahun bersamaan dengan perang dunia, yaitu tahun 1914 M.
Membaca uraian Kiai Abdul Halim di atas, dapat dimengerti periode Kiai Wahab belajar di Makkah adalah sejak tahun 1909 sampai 1914 M. Dengan demikian, jika tahun 1909 Kiai Wahab berusia 23 tahun, maka tahun kelahiran Kiai Wahab adalah 1886 M (1909 dikurangi 23).
Namun demikian, belakangan tim sejarah Tambakberas menemukan data baru berupa tulisan tangan Kiai Wahab yang menceritakan kelahiran beliau. Dalam catatan tangan pegon dari Kiai Wahab tertulis redaksi,"...miturut tulisane Abi (Kiai Chasbullah), lahirku dino Isnain Pon tanggal 29 sasi Suro tahun Wawu. Dadi ing tahun 1942 iki, umurku wes 54 tahun Masehi = 56 Qomari, ing tahun (1949) umur 64 Qomari.” Data tersebut setelah kami hitung, Kiai Wahab dilahirkan pada Senin Pon, 29 Muharrom 1305 H atau jika dikonversikan ke masehi didapati Senin, 17 Oktober 1887. Data ini diperkuat dengan temuan Miftakhul Arif dalam disertasinya yang juga menyebut tahun 1305 H/1887 M sebagai angka tahun kelahiran Kiai Wahab.
Sewaktu kecil, Kiai Wahab menerima pelajaran dasar-dasar Islam dari ayahnya sendiri sampai berusia 13 tahun, baik mengenai pelajaran membaca Al-Qur’an, ilmu tauhid, fiqih dan sedikit ilmu tasawuf, begitu juga pelajaran bahasa Arab. Kemudian melanjutkan ke Pesantren Langitan, Tuban, berguru kepada Kiai Soleh. Antara umur 15-17 tahun, beliau berguru di pesantren Nganjuk, yaitu pesantren Mojosari di bawah bimbingan Kiai Zainuddin, menantu Kiai Soleh, dan di Pesantren Cepoko Nganjuk. Dari Kiai Zainuddin memperoleh pelajaran ilmu fiqih yang agak lanjut, terutama kitab Fathul Mu’in.
Kiai Wahab kemudian mencari ilmu di Pondok Tawangsari, Sepanjang, Sidoarjo, selama setahun. Beliau melanjutkan belajar ilmu fiqih kepada Kiai Mas Ali (saudara ibu kandungnya sendiri), terutama mempelajari Iqna’. Sementara ilmu tajwid Al-Qur’an diperolehnya dari Kiai Mas Abdullah, kakak dari Kiai Mas Ali.
Kemudian Kiai Wahab memutuskan pergi belajar kepada Kiai Muhammad Kholil, Bangkalan. Di sin,i beliau memperdalam ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab, antara lain kitab-kitab karangan Ibn Malik dan Ibn Aqil.
Tatkala kembali lagi ke Jawa, pesantren yang mula-mula didatangi Kiai Wahab adalah Pondok Branggahan, Kediri, dengan gurunya yang terkenal, Kiai Fakihuddin. Meskipun tinggal setahun di sini, banyak kitab penting yang dikajinya, seperti tafsir Al-Qur’an, tauhid dan tasawuf, sejarah Islam, juga kitab-kitab fiqih lanjut seperti kitab Fathul Wahab.
Sesudah itu, Kiai Wahab pergi ke Tebuireng. Selain menyempurnakan pelajarannya mengenai Fathul Wahab, Mahalli, Baidhawi dan ilmu isti’arah, beliau juga mulai mengajar ilmu-ilmu fiqih, akhlak, sharaf, nahwu, dan lain-lain, bagian rendah dan menengah. Di sini Kiai Wahab menjadi lurah Pondok Tebuireng.
Dari beberapa pondok pesantren itulah, Kiai Wahab muda memperdalam berbagai ilmu agama. Ketika usianya mencapai sekitar 23 tahun, beliau sudah kelihatan matang dan banyak yang menyebutnya sebagai kiai muda yang tangkas. Namun, ayahnya (Kiai Chasbullah) masih menganggap belum cukup. Kiai Wahab muda masih perlu belajar lagi. Sekitar tahun 1909 M, Kiai Wahab dikirim ke Makkah untuk memperdalam ilmunya.
Beliau bermukim di sana kira-kira selama lima tahun. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiai Wahab untuk mengaji dengan guru-guru yang alim. Di antaranya adalah Kiai Mahfudz Termas yang mengarang kitab Syafi’i, terutama mengenai ilmu hukum, tasawuf, ushul fiqih. Selanjutnya Kiai Mukhtaram Banyumas, dengan menamatkan kitab-kitab besar seperti Fathul Wahab, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, yang pada waktu itu menjadi Mufti Syafi’i di Makkah dengan mengaji ilmu fiqih, Kiai Baqir Yogyakarta dengan mengaji ilmu mantik, Kiai Asy’ari Pasuruan dengan mengaji ilmu hisab (falak), Syekh Said Al-Yamani dan Said Ahmad Bin Bakry Syatha dengan mengaji ilmu nahwu (Usymuni), baik di rumahnya maupun dalam masjid. Selanjutnya Kiai Wahab berguru kepada Syekh Abdul Karim Ad-Daghestany dengan menamatkan kitab Tuhfah di masjid. Kepada Syekh Abdul Hamid Kudus mengaji ilmu ‘arudh dan ma’ani, dan Syaikh Umar Bajened mengaji ilmu fiqih dan lain-lain.
Kegemarannya berdebat juga mendapat saluran yang tepat. Di Makkah. Kiai Wahab bertemu guru mujadalah yang menguasai ilmu perdebatan, yaitu Kiai Muchith asal Panji, Sidoarjo. Seperti gayung bersambut, Kiai Wahab yang suka mengolah otak akhirnya berguru kepada Kiai Muchith untuk menguasai ilmu perdebatan.
Kiai Wahab wafat pada hari Rabu, 12 Dzulqa'dah 1391 H atau 29 Desember 1971 M. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang.
Kiai Wahab adalah manusia multitalenta. Banyak bidang beliau ketahui dan kuasai. Di bawah ini adalah ringkasan aktifitas beliau selama masa “muda” atau masa sebelum kemerdekaan dan belum menjabat sebagai rais aam PBNU.
Masa Muda: Pendidikan, Ekonomi, Solidaritas, Media dan BM
Kiai Wahab mendirikan madrasah yang disebut Mubdil Fan pada tahun 1912 yang berada di sekitar pondok induk, atau sumber lain mengatakan di serambi Masjid Jami’ Tambakberas. Setelah sekian kali madrasah ini beraktifitas, ayahnya, Mbah Kiai Chasbullah tidak berkenan dengan model pembelajaran yang tidak lazim berlaku di pondok Tambakberas. Kata Kiai Djamaluddin Achmad, akhirnya Mbah Chasbullah melempari lokasi pembelajaran itu dengan kerikil atau bata kecil sambil berucap, “Ngaji nganggo bor, alamat bar” (belajar dengan memakai papan tulis, pertanda akan bubar). Madrasah Mubdil Fan inilah laboratorium kecil Kiai Wahab yang sangat mungkin menginspirasinya untuk mendirikan sekolah Nahdlatul Wathan di banyak daerah pada waktu itu, dan menjadi model pendidikan madrasah diniyyah. Sukses merintis Mubdil Fan, Kiai Wahab lalu mendirikan Madrasah Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan di Surabaya. Ali Haidar dalam bukunya Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia menjelaskan, Kiai Wahab Chasbullah merintis Nahdlatul Wathan pada tahun 1914, dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum tahun 1916.
Andree Feillard menambahkan, Nahdlatul Wathan berdiri di Surabaya dengan gedungnya yang besar dan bertingkat. Pada tahun-tahun awal, Madrasah Nahdlatul Wathan diasuh oleh para ulama terkenal, antara lain KH Mas Mansur. Gedung sekolah itu lama-kelamaan menjadi markas "tempat menggembleng” para remaja. Lahirlah sebutan “Jam'iyah Nashihin”, dan calon pemimpin muda untuk kegiatan dakwah digembleng di situ.
Dalam waktu yang singkat, Nahdlatul Wathan dalam usia lima tahun pertama telah berdiri beberapa cabang madrasah di Malang, Gresik, Semarang, Jombang, dan beberapa tempat di Surabaya sendiri. Sebagian ada yang tetap menggunakan nama Nahdlatul Wathan, sebagian lagi menggunakan nama lain seperti Far'ul Wathan, Hidayatul Wathan, Khithabatul Wathan atau Akhul Wathan dan lain-lain.
Selanjutnya, setelah beberapa cabang Nahdlatul Wathan berdiri dan melakukan kegiatannya, di Surabaya muncul sebuah organisasi baru yang bernama Tashwirul Afkar (representasi gagasan-gagasan). Organisasi ini didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan, pengasuh pesantren di Kebondalem, Surabaya, bersama Kiai Mas Mansur, Kiai Wahab dan Mangun. Sampai dengan tahun 1929, sejak berdiri tahun 1918, nama resmi organisasi itu ialah Surya Sumirat Afdeling Taswirul Afkar. Setelah itu organisasi tersebut mendapat pengakuan badan hukum resmi, maka nama Surya Sumirat dihapuskan.
Kiai Wahab pada tahun 1927 di Surabaya menegaskan, "Kewajiban kita sebagai Muslim adalah mengajak yang bodoh untuk belajar dan yang pintar untuk mengajar.” Sejak usia muda, Kiai Wahab memiliki perhatian khusus pada dunia pendidikan. Apa sebabnya? Jumlah santri terus merosot. Untuk membuktikannya, Kiai Wahab melakukan riset di empat kota di Jawa Timur. Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Jombang. Hasilnya cukup mengagetkan. Di Surabaya, jumlah santri dari 2.065 menjadi 1.602. Sidoarjo, dari 1.740 santri menjadi 484. Mojokerto, dari 620 santri menjadi 300. Jombang, dari 2.450 santri menjadi 1.607.
Saat itu, sebagian umat Islam dan kiai masih memiliki anggapan bahwa perempuan makruh belajar menulis. Fatwa makruh itu didasarkan pada fatwa Ibn Hajar al-Haitami dalam karyanya al-Fatawa al-Haditsiyah yang oleh sebagian kiai dipahami secara sepenggal, tidak utuh. Padahal kemakruhan itu dikaitkan dengan illat (alasan rasional hukum) khashyatal mafasid, yakni khawatir menimbulkan kerusakan. Namun, bagi Kiai Wahab illat itu saat ini tidak lagi relevan. Sebaliknya, maslahatnya jauh lebih besar dan meyakinkan. Dari sini terlihat betapa Kiai Wahab mampu mengkontekstualisasikan kitab kuning dengan keahlian usul fiqihnya.
Tak hanya berwacana, Kiai Wahab pun berupaya mewujudkan pendidikan berkeadilan gender. Di Madrasah Tambakberas yang merupakan kelanjutan dari Mubdil Fan, Kiai Wahab mulai membuka kelas putri. Di antara gurunya adalah Nyai Mas Wardiyah, isteri dari KH Abdrurrachim Chasbullah (adik kandung Kiai Wahab). Di bawah asuhan Nyai Mas Wardiyah ini, kaum perempuan di sekitar Tambakberas mendapat pendidikan baca tulis. Selain itu, adik iparnya yang lain, KH Bisri Syansuri, di tahun 1919 juga merintis kelas perempuan yang kelak menjadi cikal bakal pondok putri pertama di Jawa Timur. Melihat karakter fiqih Kiai Bisri yang "keras” dalam hukum, besar kemungkinan ada andil Kiai Wahab di dalam upaya pendirian kelas putri di Denanyar tersebut.
Tidak hanya pendidikan, dalam bidang ekonomi, Kiai Wahab menyadari akan pentingnya membangun sektor ekonomi. Kiai Wahab menghubungi kawan-kawannya di Kediri, Jombang dan Surabaya, yang sehari-hari bekerja memperjualbelikan produk-produk pertanian, perkebunan, dan industri. Dari komunikasi Kiai Wahab dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para pedagang di tiga kota tersebut, terkumpul 45 orang. Mereka membangun organisasi kaum pedagang yang, menurut Choirul Anam, pada awal tahun 1910-an mendapat desakan dari pedagang kota. Dengan terkumpulnya para tokoh tersebut, akhirnya menurut Ali Haidar, Ahmad Zahro, dan Andree Feillard, Kiai Wahab Chasbullah membentuk sebuah koperasi pedagang bernama Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918.
Dari data yang bisa ditelusuri, anggotanya adalah Kiai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng; H Abdul Wahab Chasbullah dari Tambakberas; dan H Bisri Syansuri dari Denanyar. Dari Tambakberas yang lain adalah K Hasyim, H Abdul Hamid, H Abdurrochim, Syafi’i, H lhsan, Kasran Mak Mustam, Abdullah Madal, H Maksum, Faqih bin A Syakur, lmani, K Abdussyukur, dan Munasyid. Masih ada beberapa anggota dari sekitar Jombang, Kediri dan Surabaya. Sebagai refleksi, awal tahun 1900, tepatnya tahun 1918, Indonesia masih jauh dari kemerdekaan, Kiai Tambakberas dengan pelopornya Kiai Wahab yang masih berusia 31 tahun dengan didampingi adik-adiknya sudah berupaya mengorganisir kekuatan ekonomi.
Kiai Wahab juga menyadari tentang politik Internasional. Pada tahun 1938, Kiai Wahab menyerukan solidaritas untuk membantu Palestina. Hal tersebut bisa disimak dari pidato beliau di Menes Banten pada tanggal 15 Juni 1938. Pikiran Kiai Wahab di atas ditindaklanjuti dengan beberapa kegiatan, antara lain dengan doa bersama dalam bentuk qunut nazilah. Nampaknya Belanda tidak suka kegiatan itu. Pada Muktamar NU ke-14 di Magelang tahun 1939, KH Saifuddin Zuhri menyinggung larangan yang dilakukan oleh Hoofd Parket (Kejaksaan Agung) di Batavia atas doa qunut nazilah yang diinstruksikan oleh HBNO (PBNU) kepada cabang-cabang NU di seluruh Indonesia untuk mendoakan keselamatan para pejuang Palestina dalam menghadapi lnggris dan kaum Zionisme yang menghalang-halangi kemerdekaannya. Untuk mengklarifikasi hal di atas, HBNO datang kepada Hoofd Parket di Batavia untuk menjelaskan bahwa qunut nazilah itu bukan menganjurkan penghinaan kepada golongan lain seperti yang dituduhkan, melainkan semata karena kewajiban solidaritas sesama umat Islam.
Solidaritas Palestina ini juga menyebar ke tingkat daerah. KH Saifuddin Zuhri memaparkan perjalanannya saat ke daerah Purworejo untuk menghadiri rapat umum NU dalam peringatan Isra' Mi'raj. Zaman itu dalam lingkungan NU, setiap tanggal 27 Rajab disebut “Pekan Rajabiah” yang diisi dengan tiga macam tujuan. Pertama, peringatan Isra' Mi'raj Nabi Besar. Kedua, peringatan harlah (hari lahir) NU karena NU didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 atau 31 Januari 1926. Ketiga, hari solidaritas Palestina, untuk meningkatkan dukungan moral dan material kaum Nahdliyyin/Nahdliyyat kepada perjuangan saudara-saudara mujahidin Palestina yang menghadapi penjajah Inggris dan kaum Zionis Internasional (Israel).
Kesadaran Kiai Wahab juga menyentuh pada pentingnya media massa. KH Saifuddin Zuhri mengatakan bahwa Kiai Wahab menegaskan harus adanya mass-media lain di samping dakwah dan tabligh yang lazim dilakukan oleh setiap organisasi Islam di zaman itu. Untuk alasan tersebut, dikumpulkanlah uang dari sahabat-sahabat Kiai Wahab, lalu beliau membeli sebuah percetakan serta sebuah gedung sekaligus untuk kantor pusat Nahdlatul Ulama di Sasakstraat 23 Surabaya.
Selanjutnya diterbitkan majalah setengah bulanan, yakni “Soeara Nahdlatul Oelama” yang selama tujuh tahun langsung dipimpin oleh Kiai Wahab sendiri selaku pemimpin umum dan pemimpin redaksinya. Kemudian, disempurnakan teknik dan jurnalistiknya di bawah asuhan KH Mahfudz Shiddiq dengan nama “Berita Nahdlatul Oelama” hingga saat tamatnya kekuasaan Hindia-Belanda. Mendampingi “Berita Nahdlatul Oelama”, terbit pula “Soeloeh Nahdlatul Oelama” di bawah Umar Burhan, “Terompet Ansor” di bawah pimpinan Tamyiz Khudlory, dan sebuah majalah berbahasa Jawa “Penggugah” (Pembangun) yang mula-mula dipimpin oleh Kiai Raden Iskandar kemudian diganti oleh Saifuddin Zuhri. Semua penerbitan ini dihentikan berhubung dengan larangan pemerintah balatentara Jepang.
Terakhir, Kiai Wahab sering mengikuti debat ilmiah dalam ajang yang kita kenal sekarang dengan bahtsul masail. Kata Abu Bakar Atjeh, Kiai Wahab mempunyai cara sendiri untuk membangkitkan semangat ulama-ulama, dan mengarahkan perhatiannya kepada kemajuan dengan mengemukakan soal-soal khilafiah. Dengan senjata ini, banyak ulama yang dahulu tidak menaruh minat dalam urusan keduniaan dan kenegaraan. Akhirnya sebagian besar masuk gerakan Nahdlatul Ulama yang mempunyai dasar-dasar politik dan pandangan hidup yang tidak dapat dinamakan kolot. Jika Kiai Wahab menghendaki suatu perubahan dalam hukum muamalah, karena tidak sesuai dengan praktik sehari-hari, beliau tidak langsung mengkritik atau mengemukakan pendirian pribadi, tetapi dibawanya masalah itu menjadi pokok perdebatan dalam kalangan alim ulama, sehingga mereka mengerti duduk perkaranya.
Kiai Wahab juga menuangkan buku hasil diskuisnya dengan para kiai sepuh termasuk KH Hasyim Asy’ari, KH Faqih Maskumambang, dan kiai lainnya terkait perluasan masjid Peneleh yang ada makamnya. Hasil diskusi ini beliau tulis dalam dalam sebuah buku yang diberi judul “Panyirep Gemuruh”. Dinamakan Panyirep Gemuruh bisa jadi maksudnya dengan adanya kitab itu menjadikan tidak ada lagi suara-suara kritikan dan kegaduhan terkait perluasan masjid Peneleh. Kiai Wahab mencatat, KH Faqih Maskumambang dan KH Dahlan Kebondalem berpendapat haram meneruskan proyek perluasan masjid. Hal ini beda dengan KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Said, KH Muntaha, KH Azhari, KH Zakaria, KH Basuni dan KH Syarif.
Sepertinya KH Hasyim Asy'ari dan KH Faqih Maskumambang sering berhadapan dalam debat ilmiah. Sebelumnya, KH Faqih Maskumambang dan KH Hasyim Asy’ari pernah berdebat tentang kentongan yang dituangkan oleh Kiai Hasyim Asy'ari dalam kitab al-Jasus fi Bayani Hukmin Naqus. Kiai Faqih membantahnya dengan kitab berjudul Hazzur Ru'us fi Raddil Jasus 'an Tahrimin Naqus.
Asal tahu, debat agama antarkiai besar terjadi begitu “panas” dan “keras”. Misalnya pada suatu waktu, ada acara kongres NU yang dibahas hukum penghulu saat meminta upah ketika menikahkan. Menurut Kiai Faqih Maskumambang, hal itu adalah haram karena sama dengan mempersulit orang yang mau menikah. Namun dalam pandangan Kiai Hasyim Asy'ari, bahwa pendapat Kiai Faqih tidak bisa dilaksanakan di masyarakat Indonesia dan bisa dicari qaul kedua yang membolehkan. Debat ilmiah tetap berlanjut hingga pada titik Mbah Hasyim menyitir hadis jika terjadi perbedaan pendapat yang tidak bisa diselesaikan, maka hendaknya ikut suara mayoritas.
Mbah Kiai Hasyim melanjutkan ucapannya agar siapa yang setuju dengan Kiai Faqih agar angkat tangan dan yang setuju dengan pendapat Mbah Kiai Hasyim agar angkat tangan. Para hadirin semua angkat tangan setuju dengan pendapat Mbah Kiai Hasyim. Hanya satu kiai yang sependapat dengan Kiai Faqih, yakni menantu KH Hasyim Asy'ari sekaligus keponakan KH Faqih yakni KH Ma'shum Ali (1877-1933).
Nah, "voting" atas pendapat keagamaan tersebut langsung dibantah lagi oleh Kiai Faqih yang terkenal tegas, tanpa tedeng aling-aling dalam berucap dan menulis. Kiai Faqih mengupas secara nahwu, balaghah, dan mantiq atas hadis di atas lalu disimpulkan bahwa ketidaktepatan penggunaan voting atas suatu pendapat agama dengan cara melihat suara terbanyak. Kiai Faqih masih belum berhenti mengemukakan pendapat.
Karena waktu diskusi yang panjang dan belum selesai, akhirnya Kiai Wahab yang relatif masih junior dibanding dua tokoh di atas, punya gagasan di luar mainstream. Beliau mendekati adiknya yakni Kiai Hamid Chasbullah agar menyirep Mbah Faqih. Tidak begitu lama, Mbah Faqih yang alim dan tegas ini tertidur. Akhirnya diskusi bisa selesai.
Sebagai rais aam PBNU dimensi politik kebangsaan
Dalam sisi ini, banyak hal yang diperankan oleh Kiai Wahab sebagai rais aam PBNU (1947-1971). Contohnya adalah jasa beliau dalam mendukung keberlangsungan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Suatu waktu, Kiai Wahab pernah menyampaikan pidato saat sidang pleno konstituante pada 3 Desember 1957, “NU belum pernah mencela Pancasila. Selain dari Nahdlatul Ulama (NU), tidak saya sebut, sering sekali mencela, ada yang mengatakan bahwa Pancasila ini jahiliyyah dipermodern.”
Pada waktu yang lain, untuk mempertahankan eksistensi negara bangsa, Kiai Wahab berpidato di parlemen pada tanggal 29 Maret 1954 yang dimuat dalam majalah Gema Muslimin dengan judul, Walijjul Amri Bissjaukah. Beliau mengatakan,
“Saudara-saudara, dalam hukum Islam jang pedomannja ialah Qur’an dan Hadits, maka di dalam kitab-kitab agama Islam Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku 12 abad di dunia Islam, di situ ada tertjantum empat hal tentang Imam A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom di seluruh dunia Islam itu hanja satu. Seluruh dunia Islam jaitu Indonesia, Pakistan, Mesir, Arabia, Irak, mupakat mengangkat satu Imam. Itulah baru nama Imam jang sah, jaitu bukan Imam jang darurat. Sedang orang jang dipilih atau diangkat itu harus orang jang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam jang semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak ada dari semendjak 700 tahun sampai sekarang…. Kemudian dalam keterangan dalam bab jang kedua, bilamana ummat dalam dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang sedemikian kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara mengangkat Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti Bung Karno misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah Walijjul Amri.”
Pidato Kiai Wahab di atas setidaknya dapat ditarik tiga pemahaman. Pertama, mengangkat kepemimpinan tunggal dalam dunia Islam baik yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak mungkin lagi, karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak menurut Kiai Wahab sudah tidak ada lagi sejak ratusan tahun lalu. Kedua, dari pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa presiden Indonesia berikut NKRI adalah sah secara hukum Islam. Ketiga, pidato ini sekaligus menafikan pendapat bahwa Kiai Wahab bercita-cita menegakkan kembali khilafah dengan membentuk komite khilafah, karena terbukti dengan ujaran Kiai Wahab bahwa sudah 700 tahun tidak ada orang yang setingkat mujtahid untuk menduduki kursi sebagai imam atau khalifah.
Lain kisah, pada tahun 1959, terjadi perdebatan panas di majelis konstituante yang pada akhirnya mengalami kemacetan terkait dengan penentuan dasar negara maupun anjuran Presiden agar kembali kepada UUD 1945. Keduanya tidak dapat disahkan melalui pemungutan suara. Kedua belah pihak yang ada di konstituante tidak ada yang mencapai jumlah 2/3 suara dari anggota majelis.
Saat suasana perdebatan di konstituante masih macet, Jenderal AH Nasution mendatangi rumah KH Idham Chalid untuk konsultasi tentang kemungkinan kembali kepada UUD 1945 lewat dekrit Presiden. KH Idham Chalid mengatakan, “Isinya terserah Pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan suara suara golongan Islam dalam Konstituante."
Jenderal AH Nasution bertanya apa konkretnya tuntutan kelompok Islam. KH Saifuddin Zuhri yang juga ikut diskusi karena saat itu ditelpon oleh KH Idham Chalid menjawab, "Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945."
Jenderal Nasution masih meminta pertimbangan dengan bertanya, "Bagaimana sikap NU apabila Presiden menempuh jalan dekrit?” KH Idham Chalid menjawab, “Kami tidak bisa katakan, itu hak presiden untuk menyelamatkan negara." KH Saifuddin Zuhri menambahinya, "Kiai Wahab toh sudah mengatakan dalam sidang terakhir Konstituante tempo hari bahwa pendirian kami dari golongan Islam sudah jelas. Kami menggunakan hak kami secara demokratis. Terserah Pemerintah mau menempuh “dekrit” bahkan mau “junta militer' sekalipun, silakan!”
Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden atas nama rakyat dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang mendekritkan berlakunya UUD 1945 dan membubarkan konstituante. Dalam Dekrit Presiden itu juga dinyatakan, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.” Pada Muktamar NU ke-22, Kiai Wahab menandaskan dengan menyitir pendapat presiden Soekarno bahwa dengan Dekrit kembali kepada UUD 1945 berarti Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Masalah politik untuk menyatukan NKRI juga pernah dilakukan oleh Kiai Wahab. Pada tahun 1960-an, Kiai Wahab mencetuskan gagasan diplomasi cancut taliwondo. Abdul Mun’im DZ menjelaskan, diplomasi cancut taliwondo adalah istilah kesungguhan yang tuntas dalam menghadapi peperangan. Istilah itu kemudian dirumuskan oleh Kiai Wahab menjadi konsep politik kontemporer yang disampaikan pada Bung Karno saat mengalami kesulitan dalam program Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian Barat.
Latar belakangnya, saat itu banyak yang menentang rencana pembebasan. Padahal progam Trikora ini telah direncanakan dalam sidang BPUPKI. Di antara isi sidang tersebut adalah menentukan cakupan wilayah Republik Indonesia yang hendak dibentuk. Irian Barat merupakan salah satunya. Bung Hatta menganggap Irian tidak termasuk wilayah Indonesia, karena secara ras berbeda. Kalau mengambil Irian Barat, berarti kita menjajah Irian Barat. Bung Karno menolak pikiran Bung Hatta, karena menurut sejarah, Irian Barat selalu menjadi bagian dari kerajaan Nusantara seperti Kerajaan Islam Ternate dan Tidore. Bahkan sebelumnya telah menjadi bagian dari Kerajaan Mataram, Singasari, dan Majapahit.
Indonesia mulai memasukkan Irian Barat sebagai salah satu provinsinya pada 17 Agustus 1956. Sejak saat itu, Presiden menggelorakan pembebasan Irian Barat, baik di dalam maupun saat ke luar negeri. Dengan demikian telah mengumpulkan banyak dukungan sebagai modal diplomasi internasional. Tidak ketinggalan pula saat berkunjung ke AS, Mei 1956, Sukarno dengan berani mengutarakan gagasannya pada Presiden Eisenhower. Tetapi hanya ditanggapi dingin.
Saat program Trikora mulai dikumandangkan di Yogyakarta, 19 Desember 1961, dukungan terhadap perjuangan itu makin meluas dengan bentuk menjadi sukarelawan termasuk dari NU. Tetapi pertentangan juga kembali bermunculan, tidak terkecuali dari mantan Wakil Presiden sendiri, Bung Hatta yang mengingatkan Indonesia tidak memiliki kekuatan militer yang bisa menandingi armada Belanda. Kritik Hatta ini didukung oleh kelompok oposisi seperti Masyumi dan PSI. Pada saat yang bersamaan, Duta Besar AS di Jakarta, dan John Foster Dulles (Menteri luar negeri Amerika Serikat) juga menuduh bahwa usaha pengembalian Irian Barat hanya nafsu pribadi Bung Karno untuk mengalihkan isu kemiskinan dalam negeri dengan membuat manuver di luar negeri.
Menghadapi kesulitan itu, terutama untuk menepis isu yang dilontarkan Hatta dan John Foster Dulles, presiden Sukarno meminta nasehat kepada Kiai Wahab, Rais Aam PBNU. Lantas Kiai Wahab menyarankan untuk menepis isu besar itu, Bung Karno harus menjalankan diplomasi cancut taliwondo, yaitu delapan strategi politik yang harus dilaksanakan sungguh-sungguh hingga tuntas, agar terwujud kehidupan politik dalam negeri yang sehat.
Nasihat Kiai Wahab, baik dalam bidang politik dan kemiliteran itu, tampaknya cukup meyakinkan Bung Karno. Karenanya, Bung Karno semakin teguh karena mendapat dukungan politik dan spiritual dari ulama besar dari partai politik terbesar. Setelah itu, Bung Karno memerintahkan menterinya untuk memperbaiki sistem politik dan termasuk mengutus Panglima Angkatan Perang Jenderal Nasution untuk membeli senjata ke Uni Soviet. Semuanya dibeli dengan harga murah, sehingga Indonesia menjadi negara terkuat di Asia.
Bung Karno merasa kuat dengan personel tentara yang militan didukung sukarelawan terdiri dari rakyat termasuk kalangan santri dan aktivis NU yang siap berkorban. Saat itu banyak dikerahkan anggota Lembaga Misi Islam milik NU untuk turun membina masyarakat di pedalaman Irian.Tampaknya diplomasi serta strategi politik cancut taliwondo yang disampaikan Kiai Wahab itu cukup memberikan inspirasi dan sekaligus spirit pada Bung Karno dalam membebaskan Irian Barat dalam melakukan perang, baik perang wacana maupun perang militer.
Dimensi spiritual
Kiai Wahab dikenal ahli pencak. Saat di Arab beliau pernah mengalahkan empat orang penyamun. Pun kata Kiai Amiruddin, Kiai Wahab pernah beucap bahwa ketika beliau mukim di Makkah, suatu hari ditendang mukanya oleh orang Badui di Masjidil Haram sampai membuat gerahamnya penceng. Kiai Wahab dengan cepat mengembalikan geraham. Setelah itu, Badui dipukul badannya sampai tangan Kiai Wahab masuk ke badan Badui hingga membuat remuk tulang iganya. Setelah Badui tidak berdaya, Kiai Wahab menulis di lantai Masjidil haram yang masih belum beralas marmer dengan kalimat "Pendekar Jawa".
Selain ahli pencak, beliau juga ahli suwuk dan pengijazah doa untuk para kiai dan santri pejuang dalam melawan musuh bangsa. KH Saifuddin Zuhri menuturkan, saat Jepang mulai kalah oleh Sekutu, tiba-tiba ada panggilan dari ketua besar PBNU, KH Abdul Wahab Chasbullah agar para konsul NU seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Jombang di masjid Kauman Jombang, kurang lebih 200 tokoh NU berkumpul. Selama satu minggu dilatih dan digembleng dalam bidang rohani yang dipimpin langsung oleh Kiai Wahab. Mereka disadarkan bakal terjadinya perjuangan hebat. Oleh sebab itu, kekuatan lahir dan batin harus siap. Puncak dari latihan rohani itu, Kiai Wahab mengijazahkan amalan doa Hizbur Rifai dan Sholawat Kamilah berikut tata cara dan tata kramanya. Dalam karya yang lain, KH Saifuddin Zuhri mencatat penggemblengan di Jombang di atas, selain memberi ijazah Hizbur Rifai, Kiai Wahab juga mengijazahkan Hizbul Bahr, Hizbun Nawawi, dan lain-lain.
Ijazahan oleh Kiai Wahab tidak hanya dilakukan di Jombang saja. Syamsul A Hasan mengutip cerita dari KH Chudlory (santri Sukorejo) bahwa Pondok Pesantren Sukorejo pernah diadakan pelatihan “Muballighin” selama beberapa hari dengan mendatangkan pengurus wilayah NU Jawa Timur dan PBNU. Di antara pelatihnya adalah Kiai Wahab dan Kiai Masykur (Komandan Sabilillah Pusat). Selain dilatih baris-berbaris yang diikuti para pasukan Sabilillah dan Hizbullah, juga diberi ijazahan seperti Hizbur Rifai, Hizbun Nashar, Hizbus Sakron, Hizbul Bahr, Hizbul Autad, ayat lima, ayat tujuh, ayat lima belas, dan beberapa amalan lainnya.
Tentu ijazahan di atas adalah untuk persiapan kemungkinan kontak fisik dengan musuh bangsa. Abdul Mun’im DZ menulis, setelah dikeluarkannya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, kesibukan Kiai Wahab sebagai pemimpin Barisan Kiai semakin meningkat. Para kiai sepuh digerakkan, di bawah komando Kiai Wahab, maka Kiai Subki dari Parakan keturunan Pasukan Diponegoro juga ikut turun gelanggang. Begitu pula KH Jalalain di Nganjuk yang mendapatkan perintah dari Kiai Hasyim, menggembleng pemuda. Mereka itu yang kemudian berangkat ke Ambarawa dan Surabaya melawan Belanda dan sekutunya, terutama Inggris. Bahkan masih diperkaya dengan cerita mistik, seperti yang dilakukan Kiai Yahya dari Malang, mendatangkan ribuan malaikat dalam pertempuran Surabaya, dengan mengamalkan wirid bersama dengan para santri di pesantrennya.
Terbukti, dengan ijazahan tadi bisa dibaca dari cerita KH Saifuddin Zuhri saat perang di Surabaya, bagai air bah yang tak dapat dibendung, rakyat Surabaya maju menyerbu semua kubu tentara Sekutu di seluruh kota tanpa menghiraukan jatuhnya korban. Tua muda serentak menerjang musuh meski hanya bersenjatakan bedil, pistol, pedang dan bambu runcing. Bahkan, beberapa kiai yang mendampingi tentara Hizbullah menggempur dengan tangan telanjang. Kiai-kiai dari Jombang, Gresik, Pasuruan dan dari sekitar Surabaya itu menyerang musuh sambil meneriakkan doa-doa dalam Hizbul Bahr, Hizbun Nashr dan Hizbus Saif.
Ijazahan yang dilakukan Kiai Wahab tersebut terus berlanjut. Mun’im DZ menjelaskan, saat gonjang ganjing PKI tahun 1965, NU menjadi imam atau pemimpin bangsa ini menghadapi krisis nasional, sehingga semuanya ikut NU. Sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan berani menghadapi risiko, maka saat memuncaknya provokasi PKI pertengahan 1960-an membuat Kiai Wahab waspada dan mengijazahkan berbagai hizib dan wirid kepada para santrinya dan para pimpinan NU, Ansor, serta PMII. Dengan hizib itulah mereka menghadapi PKI yang meneror mereka sepanjang tahun siang-malam baik di Medan, Surabaya, Jakarta dan Bali. Dengan ketajaman instink politiknya, ketika situasi politik nasional dirasa makin mendidih, maka pada sejak akhir September Kiai Wahab bersama Kiai Bisri telah meninggalkan pesantrennya di Jombang bergerak menuju Jakarta untuk memimpin NU menghadapi situasi yang makin gawat.
Sejak saat itu para pimpinan NU dan kaum mudanya setiap malam membaca berbagai doa sambil mengamati perkembangan. Selesai membaca doa dan berbagai macam hizib mereka bersalaman dengan Kiai Wahab dan Kiai Bisri, masing-masing diusap kepalanya, sambil berkata, ”Selamat berjuang, jangan takut menghadapi PKI". Dengan doa dan wejangan dari Rais Aam dan Wakil Rais Aam itu, para aktivis NU menjadi percaya diri dan berani menghadapi situasi genting yang tidak menentu di mana kawan di mana lawan serta penuh ancaman.
Tradisi ijazahan tersebut terus berlanjut hingga era Orde Baru. Semisal saat di pondok Tambakberas, Kiai Wahab memberitahu para santri bahwa nantinya kalau bisa jadi orang alim, kalau tidak bisa jadi orang kaya. Lalu Kiai Wahab melanjutkan, "Nek dadi kiai yo ra iso, dadi wong sugih yo raiso, tak dongakne dadi tabib, ndukun sing barokah lan manfaat" (Kalau jadi kiai tidak bisa, jadi orang kaya juga tidak bisa, saya doakan jadi tabib, menjadi dukun yang barokah dan manfaat). Ada santri yang bernama Abdul Adhim dari Krian Sidoarjo angkat tangan. Santri lain tertawa akan "kendablegan" Abdul Adhim yang angkat tangan mau jadi dukun. Tapi Kiai Wahab malah menambahi pituturnya, "Ya kalau kamu ingin jadi dukun, nanti ke ndalem, akan saya beri wirid, hizb dan shalawatannya."
Doa yang diijazahkan tidak hanya berbahasa Arab, tapi juga doa berbahasa Jawa. Kiai Wahab juga memberi nama doa yang berbahasa Arab dengan nama ajian yang biasa dikenal di Jawa. Semisal lembu sekilan, ontokusumo maupun pancasona. Tercatat dalam buku karya KH Bisri Musthofa berjudul al Asma’ wal Aurad, Kiai Wahab pernah mengijazahi puluhan kiai pada satu tempat. Kiai tersebut adalah KH Bisri Musthofa, KH Mujahid, Pamotan, Rembang; KH Syahid, Kemadu, Rembang; KH Dahlan, Ajungpengulu, Blora; KH Kholil, Tangkil, Demak; KH Amin, Gubug, Purwodadi; KH Dimyathi, Salatiga; KH Wildan, Kendal; KH Yusuf, Weleri, Kendal; KH Asrori, Wonosari, Magelang; KH Zainal Abidin, Banyuurip Pekalongan; KH Syair, Limpung; KH Ali Ahmadi, Dukuhseti, Tayu; KH Mubasyir, Ngadirejo, Parakan; KH Adlan Ali, Cukir, Jombang; KH Fauzan, Rembang; KH Shoimuri, Solo; KH Fathurrahman, Wonoyoso, Kebumen; KH Sanusi, Kesuben, Tegal; KH Abdullah, Sendangguwo Semarang; KH Abduljabbar, Weding, Demak; KH Baqir, Batang; KH Faqih, Saripan, Jepara; KH Masruri, Selo, Purwodadi; dan KH Muntaha, Wonosobo.
Hal menarik dari sanad-ijazah doa Kiai Wahab ini ada yang bisa dilacak jalur ke atasnya semisal ke jalur Syeikh Mahfudz At-Tarmasi. Doa tersebut antara lain adalah: Hizib Nashar, Hizib Saif Qathi, atau disebut juga Hizib Rifai, asma pager awak (Kiai Wahab menyebutnya demikian), Lembu Sekilan lil Hifdh wal Hirasah, Shalawat Nuridzati. Tidak hanya dari jalur Syekh Mahfudz At-Tarmasi, didapatkan juga dari jalur Kiai Hasyim Asy'ari berupa Hizib Falah dan Hizib Nawawi.