“Mudah-mudahan kamu sekalian dimasa jang akan datang mendjadi tjalon kijai-intellek, jang dapat mengangkat deradjat golonganmu!” (K.H.A. Wahid Hasyim)
“…Jawaban Kiai Achmad merupakan siraman segar bagi pluralitas corak kehidupan bangsa kita di masa depan. ...di samping penguasaannya yang mendalam atas hukum agama dan spiritualitas jiwanya yang penuh kasih sayang juga bersumber pada derajat kecendekiawanan almarhum….” (Abdurrahman Wahid).
Ujung November 1989. Muktamar NU (Nahdlatul Ulama) yang ke-28 diselenggarakan di Yogyakarta, tepatnya di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Saat itu, saya baru mengenal NU sebagai sebuah organisasi kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Di daerah saya, di Kalimantan Selatan, saya –dan kebanyakan kami saat itu--, tidak mengenal NU. Kalangan yang disebut ‘tradisionalis’ lebih sering menyebut diri sebagai "kaum tua" untuk membedakan dengan orang-orang Muhammadiyah yang disebut sebagai "kaum muda".
Di daerah saya, saat itu, memang tidak ada NU. Bahkan sekadar papan nama pun saya belum pernah melihatnya. Baru ketika pertama kali datang ke Yogyakarta tahun 1988, saya mengenal NU dan menyadari bahwa sebagian besar ajaran, nilai, dan bentuk amal ibadah yang saya ikuti memiliki banyak kesamaan dengan NU. Saat itulah saya mulai tertarik dengan NU.
Karena itu, ketika ada teman mengajak saya untuk mendatangi acara muktamar NU, dengan sepenuh hati saya terima. Sambil melihat-lihat acara sampingan muktamar, yang demikian ramai dan meriah, orang-orang hilir mudik berlalulalang, deretan para pedagang dan warung-warung, si teman juga mengajak berburu para kiai untuk disalami, dicium tangannya, dan hendak diserap berkahnya. Di muktamar inilah saya pertama kali melihat dan bertemu, serta bersalaman dengan Kiai Maimoen Zubair dan Kiai Sahal Mahfudh.
Dalam suatu kesempatan, teman saya --yang putera seorang kiai-- yang sudah hapal nama-nama kiai dan sosoknya, menunjuk-nunjuk sosok yang saat itu sedang dikerubuti banyak orang, sembari menggeret lengan saya dan berkata: "Itu Kiai Achmad Shiddiq... Itu Kiai Achmad Shiddiq..." Menuruti ajakannya, dengan sigap saya mengikutinya untuk menerobos banyak orang agar bisa menyalami Kiai Achmad. Namun upaya itu tidak berhasil. Sosok yang ditunjuk sebagai Kiai Achmad Shiddiq itu telah dipagari beberapa anggota Banser, dan dibukakan jalan entah waktu itu menuju ke mana. Samar-samar saya hanya mendengar himbauan agar salamannya ditunda dulu dan kiai diberikan jalan karena kiai mau istirahat.
Menyesal sekali kami tidak sempat menyalami. Meski demikian, saya masih sempat menyaksikan beliau cukup dekat. Menggunakan sarung motif kotak-kotak, baju jas warna putih tulang, dan serban menutupi kepala. Seperti tampilan dalam foto-foto di koran atau majalah yang saya lihat, Kiai Achmad berwajah bersih putih dan tampan. Berjalan agak pelan dengan memegang tongkat.
Itulah satu-satunya kesempatan saya melihat sosok Kiai Achmad Shiddiq secara langsung. Sekitar setahun dua bulan kemudian, tepatnya 23 Januari 1991, Kiai Achmad Shiddiq wafat. Meski demikian, nama dan pemikiran beliau, terutama dalam bentuk kutipan-kutipan, seperti "Republik Indonesia adalah bentuk final... " Atau tentang trilogi ukhuwah sering saya dengar dilontarkan dalam berbagai pertemuan atau diskusi yang saya ikuti.
Saat itu kerap muncul perbincangan tentang sosok dan peran cendekiawan, serta apakah ulama –kiai, tengku, tuan guru dan sejenisnya—bisa dikategorikan sebagai cendekiawan? Satu pihak mengatakan tidak, karena menurut mereka, ulama bergerak terbatas di lingkungan internal umatnya saja dan lebih banyak mereproduksi pemikiran-pemikiran keagamaan ortodoksi yang telah ada. Yang lain, mengatakan ‘termasuk’, dengan catatan jika si ulama, turut terlibat dalam wacana pemikiran sosial-politik, menawarkan gagasan-gagasan baru dalam kehidupan masyarakatnya, dan memiliki komitmen keberpihakan pada prinsip kebenaran universal.
Kiai Achmad jelas termasuk ulama cum cendekiawan. Beliau keluar dari lingkungan tradisionalnya, dan melalui organisasi NU masuk ke pentas nasional, menawarkan gagasan-gagasan segar dan baru untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain melalui presentasi dalam forum-forum resmi di dalam NU, beliau juga rajin menulis. Beberapa tulisan beliau saat itu juga kami baca dan pelajari. Menarik bahwa selain dalam bentuk buku tipis, beberapa tulisan beliau sampai ke tangan kami dalam bentuk fotokopian makalah yang disampaikan Kiai Ahmad di beberapa kesempatan. Sebagian besar makalah-makalah itu kami dapat karena ada teman senior kami yang sedang menyusun skripsi pemikiran Kiai Achmad tentang hubungan agama, negara, dan Pancasila.
Jelas sekali bahwa Kiai Ahmad seorang ulama cum cendekiawan, yang memiliki peran penting dalam penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai ideologi dan juga kembalinya NU ke khittahnya. Dan jelas pula terbaca dari makalah-makalah yang beliau tulis, beliau telah memikirkan dan menggodok dua isu ini lama sekali.
Tulisan ini mencoba untuk melihat ulang latar pemikiran Kiai Achmad Shiddiq tentang Khittah dan hubungan agama dan Pancasila, serta mencoba mengontekstualisasikannya dengan keadaan sekarang. Namun sebelum itu, saya ingin menampilkan dulu bagaimana pandangan masyarakat umum terhadap sosok Kiai Achmad Shiddiq dan tempatnya di dalam masyarakat Indonesia kontemporer melalui guntingan media, serta latar kesejarahan yang membentuk sosok Kiai Achmad.
Dari guntingan media
Sebelum era digital sekarang, arti penting seseorang bisa dilihat bagaimana pandangan masyarakat ditampilkan media saat orang bersangkutan meninggal. Pertama-tama tentu saja media akan memberitakan berita meninggalnya orang yang dianggap terkenal dan penting tersebut. Selanjutnya, media akan meminta pendapat, kesan atau semacam testimoni beberapa tokoh mengenai tokoh yang meninggal tersebut. Praktik ini biasanya berlangsung dua sampai tiga hari mengiringi pemberitaan meninggalnya dan kemudian pemakamannya. Selanjutnya media akan memuat semacam tulisan obituari dari beberapa penulis yang terkenal atau mengenal sang tokoh.
Demikianlah yang terjadi ketika Kiai Achmad Shiddiq wafat. Hampir semua media cetak memuat beritanya, berita pemakamannya, dan disertai beberapa kesan, plus beberapa obituari. Semua di halaman depan. Bahkan saat terbaring sakit, keadaan beliau sudah diberitakan. Kiai Achmad jelas sosok yang sangat penting dan berpengaruh.
Harian Jawa Pos (24/01/91) memuat berita wafat Kiai Achmad di halaman muka dengan judul berita “Sang ‘Arsitek’ Telah Berpulang”. Selain menginformasikan berita saat sakit dan wafatnya, di mana dan kapan akan dimakamkan, dengan tegas Jawa Pos menyebut Kiai Achmad sebagai ‘…ulama besar yang juga dikenal sebagai “arsitek” diterimanya azas tunggal oleh NU dan kembali ke Khittah…”
Selain berita cukup panjang di atas, Jawa Pos juga menurunkan tiga berita berkaitan dengan meninggalnya Kiai Achmad ini di halaman halaman III masing-masing berjudul “Banyak Tokoh Melayat Kiai Achmad ke RSUD: Ny Achmad Tunggui Sampai Detik Terakhir”; “Dari Kiai Sampai Presiden” yang menceritakan riwayat singkat dan kiprah Kiai Achmad dalam penerimaan Pancasila dan pengembangkan persaudaraan dalam agama, berbangsa dan sesama warga manusia, sehingga membuatnya disebut sebagai ulama yang negarawan atau negarawan yang ulama.
Berikutnya berita dengan judul “KH Achmad dan Asas Tunggal”, yang diolah dari wawancara lama mereka dengan Kiai Achmad mengenai proses bagaimana beliau mempresentasikan konsep penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas di hadapan para ulama sepuh: Kiai As’ad Syamsul Arifin (1897-1990); Kiai Ali Maksum (1915-1989); Kiai Machrus Ali (1907-1985) dan Kiai Masykur (1904-1994). “Pada waktu itu mereka diam. Padahal waktu itu saya hanya ingin mendapatkan jawaban ya atau tidak. Kalau tidak, ya saya cabut. Tapi kalau ya, saya berjalan terus,” ujar Kiai Achmad. Pada akhirnya, setelah agak lama, dan sesudah mengusulkan beberapa revisi pada redaksi konsep itu, mereka akhirnya menerima. Demikian cerita Kiai Achmad kepada dan kembali ditulis Jawa Pos.
Harian Kompas (24/01/91) menuliskan dua berita wafatnya Kiai Achmad dengan sangat panjang yang dimuat di halaman depan dan bersambung ke halaman XI dan di halaman XVI. Masing-masing dengan judul “Rois Aam Syuriah PBNU KH Achmad Shiddiq Meninggal” dan “KH Achmad Shiddiq, Ulama yang Kharismatik”. Selain memuat informasi sekitar wafatnya, kapan dan di mana dimakamkan, serta riwayat ringkas Kiai Achmad, Kompas juga mewawancarai beberapa pejabat pemerintah dan tokoh tentang kesan mereka terhadap Kiai Achmad. Salah satu di antaranya adalah Munawir Syazali (1925-2004), Menteri Agama saat itu, yang mengakui peran Kiai Achmad dalam penerimaan terhadap Pancasila dan kembali menyitir ungkapan terkenal Kiai Achmad ketika mengemukakan argumentasi penerimaan Pancasila: “Pancasila itu sudah lama kita terima, mengapa harus dipersoalkan lagi. Ibaratnya suatu makanan yang setiap hari kita makan, kenapa harus dipersoalkan halal-haramnya.”
Sementara KH Ali Yafie (1926-2003), yang menjadi rekan Kiai Achmad di kepengurusan Syuriah PBNU dan telah berkawan selama kurang lebih 40 tahun, menyebut Kiai Achmad memiliki keluasan ilmu, keluhuran budi, dan integritas. “Tak mungkin kita temukan penggantinya. Ketokohan yang berkumpul dalam dirinya sulit ditemukan dalam diri tokoh lain,” demikian kesan Kiai Ali Yafie.
Sehari sesudahnya, Kompas (25/01/91) memuat berita pemakaman Kiai Achmad di halaman I dengan judul: “Ribuan Pelayat Mengantar Jenazah KH Achmad Shiddiq”. Dalam berita ini Kompas juga menyebut beberapa tokoh nasional yang memberikan ucapan dukacita dan yang menghadiri upacara pemakaman. Sehari kemudian, Kompas (26/01/91) memuat catatan obituari Gus Dur (1949-2009): “In Memoriam: Kiai Achmad Shiddiq” dan sehari kemudian (27/01/91) menurunkan esai Soetjipto Wirosardjono (1937-2019) “Kiai Achmad” dalam rubrik ‘Asal-Usul’.
Menarik bahwa Gus Dur, dalam penelusuran saya, justru tak banyak –untuk tidak mengatakan tak ada—yang mewawancarainya dalam pemberitaan wafatnya Kiai Achmad dan pemakaman yang mengiringnya. Tetapi obituari yang ia tulis dengan jelas menunjukkan kedekatannya dengan Kiai Achmad sekaligus satu dari sedikit orang yang memahami sosok Kiai Achmad secara mendalam. Kiai Achmad, menurut Gus Dur, sebenarnya seorang peragu kelas berat, emosional dalam menghadapi urusan-urusan kecil, terkesan menutup diri ketika menerima gencetan kanan-kiri, serta mudah menerima pertimbangan orang di sekitarnya… sehingga sering menjadi pusing sendiri. Tetapi semua kekurangan kecil itu, menurut Gus Dur, justru mampu mempertegas kemuliaan jiwa, hati dan pikirannya, yang membuat Kiai Achmad berhasil tampil sebagai nakhoda NU menghadapi badai dahsyat setelah NU kembali ke khittah awalnya.
Tentang rumusan yang diberikan Kiai Achmad terhadap hubungan agama dan negara –yang kemudian diterima oleh NU dalam Muktamar 27 di Situbondo—Gus Dur menggambarkan dengan tepat dan padat:
“…diwarnai oleh pengertiannya yang mendalam akan hakikat persoalan utama kita sebagai bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bentuk final perjuangan kaum muslimin adalah rumusan sederhana dengan implikasi sangat jauh … Jawaban Kiai Achmad merupakan siraman segar bagi pluralitas corak kehidupan bangsa kita di masa depan. ...di samping penguasaannya yang mendalam atas hukum agama dan spiritualitas jiwanya yang penuh kasih sayang juga bersumber pada derajat kecendekiawanan almarhum. Diikutinya pertumbuhan bangsa ini dengan kepedulian yang jujur dan konsisten. Kecendekiawanan yang yang diwarnai oleh kepedulian yang mendalam atas nasib masa depan bangsa itulah yang melahirkan keberanian melahirkan gagasan besar yang demikian drastis bagi seorang pemimpin formal gerakan Islam.”
Salah satu surat kabar yang juga memuat berita wafatnya Kiai Achmad dengan panjang adalah Harian Pelita. Dalam edisi (24/01091), Pelita memberitakan wafat Kiai Achmad dengan judul “KH Achmad Shiddiq Telah Berpulang”. Harian Pelita mewawancarai Nurcholis Madjid (1939-2005) yang menyebut Kiai Achmad merupakan “tipe kiai modern yang berpandangan luas, mendalam, dan simpati kepada anak muda.” Meski pernyataan Kiai Achmad tentang Negara Pancasila sebagai bentuk final negara Indonesia bukanlah hal baru, sebab, para perumus Pancasila dulu juga sebagian besar tokoh-tokoh Islam, pernyataan ini adalah penemuan sesuatu yang telah hilang. “Sebab Achmad Shiddiq merupakan generasi kiai pasca perumus Pancasila. “sense of belonging (rasa memiliki) terhadap Pancasila yang terasa hilang muncul kembali dengan adanya pernyataan ini.” Demikian menurut Cak Nur. Sementara dalam berita yang sama Akbar Tanjung (1945) yang juga turut diwawancarai, mengaku sebagai pengagum Kiai Achmad Shiddiq dan menyebutnya sebagai “… intelektual yang tidak hanya berwawasan keagamaan yang luas. Tapi juga mempunyai wawasan kenegaraan dan wawasan keilmuan pula.”
Yang menarik beberapa media juga membuat ‘tajuk rencana’ secara khusus. Dalam tradisi media cetak, tajuk rencana merupakan artikel pokok atau rubrik dalam surat kabar yang merupakan catatan redaksi yang berisi pandangan redaksi terhadap peristiwa yang sedang hangat di tengah masyarakat pada saat surat kabar diterbitkan. Tajuk rencana biasanya ditulis oleh pemimpin redaksi atau setidaknya redaktur pelaksana, yang mencerminkan pandangan resmi sebuah media. Pola tulisannya biasanya singkat, padat, jernih, tidak bertele-tele. Dari tajuk rencanalah bisa dikenali visi, misi dan ideologi sebuah media.
Mengangkat topik kepergian KH Achmad Shiddiq sebagai topik rencana tentu dengan sendirinya menunjukkan dan mengakui pentingnya sosok, pemikiran dan peran KH Achmad Shiddiq untuk kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada empat media yang mengangkat meninggalnya Kiai Achmad sebagai bahasan dalam Tajuk Rencana: Pelita (24/01/91): “Selamat Jalan, Achmad Shiddiq”; Berita Buana, (25/01/91): “Selamat Jalan, Kyai….”; Kompas (25/01/91): “Mengantarkan Kepergian KH Achmad Shiddiq, Rois Aam NU”; dan Bali Post (26/01/91): “In Memoriam KH Achmad Shiddiq.”
Setidaknya, ada tiga hal yang ditekankan dalam keempat tajuk rencana di atas. Pertama, peran Kiai Achmad Shiddiq dalam mendorong penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sekaligus menjadikan NU sebagai ormas pertama yang menerima Pancasila sebagai asas. Kedua, peran Kiai Achmad mengembalikan NU kepada khittah perjuangan awalnya, sehingga NU tidak lagi tenggelam dalam politik praktis dan menghidupkan lagi perhatiannya pada pengembangan pendidikan, sosial dan keagamaan. Dan ketiga, pemikiran Kiai Achmad terhadap pentingnya pengembangan persaudaraan (ukhuwah), tidak hanya se-agama, tapi juga sebangsa, bahkan sesama manusia.
Karena itu bagi keempat media ini, kepergian Kiai Achmad Shiddiq adalah suatu kehilangan besar, bukan saja bagi jamaah NU, tapi juga bangsa Indonesia. Mengutip sejarawan Sartono Kartodirdjo (1921-2007) ketika memperingati wafatnya cendekiawan Soejatmoko (1922-1989) yang melukiskan cendekiawan itu sebagai tokoh yang berdimensi tiga: dimensi identitas, dimensi humanitas, dan dimensi universalitas, maka menurut Kompas, dengan melihat pemikiran-pemikiran yang ditawarkannya, Kiai Achmad Shiddiq “…juga seorang ulama yang berdimensi identitas, humanitas, dan universalitas.”
Lingkungan dan tokoh yang memengaruhi
Rekaman kesan dan kesaksian di atas adalah sebuah pengakuan terhadap ketokohan Kiai Achmad Shiddiq dari orang-orang sezaman, yang pernah berinteraksi, berteman, dan bahkan mungkin berbeda pendapat dengannya. Kapasitas keulamaan dan intelektual, integritas moral, visi sosial dan keberanian menerobos tantangan telah membentuk pribadi seorang Kiai Achmad Shiddiq. Menjadi menarik menelusuri lingkungan apa dan siapakah yang membentuk beliau?
KH Achmad Shiddiq dilahirkan di Jember, 24 Januari 1926 (10 Rajab 1344). Namanya semasa kecil adalah Achmad Muhammad Hasan. Kiai Achmad merupakan anak bungsu dari Kiai Muhammad Shiddiq bin Kiai Abdullah dari Lasem, seorang ulama terkenal pada zamannya, yang silsilahnya terhubung dengan Jaka Tingkir. Sementara ibunya adalah Nyai Hj Zakiah binti Kiai KH Yusuf dari Rambupuji, Jember. Dengan demikian, dari dua jurusan itu jelas bahwa di dalam tubuh Kiai Achmad Shiddiq mengalir darah para tokoh dan ulama. Tidak aneh kalau hampir semua anak-cucu keturunan Kiai Shiddiq menjadi tokoh-tokoh kiai yang penting di kalangan pesantren dan NU, seperti KH Mahfudz Shiddiq, kakak Kiai Achmad, yang menjadi Ketua Umum PBNU, serta tiga keponakan Kiai Achmad yang terkenal dalam bidangnya masing-masing, yaitu KH Abdul Hamid Pasuruan, ulama yang dikenal waliyullah; KH Hamid Wijaya, ketua pertama Gerakan Pemuda Ansor; dan KH Ali Manshur, sang pencipta Shalawat Badar.
Sebagaimana keluarga pesantren umumnya, maka pendidikan awal Kiai Achmad adalah dari ayah dan ibunya, yang juga pendidik di pesantren. Tetapi ini tidak berlangsung lama, karena pada usia 2 tahun, ia sudah ditinggal ibunya. Kemudian pada usia 10 tahun menyusul ditinggal ayahnya, Kiai Shiddiq.
Ia kemudian diasuh oleh kakaknya Kiai Mahfudz Shiddiq (1907-1944), putera tertua Kiai Shiddiq. Kiai Mahfudz adalah salah seorang tokoh penting di masa-masa awal pendirian NU. Ia terpilih sebagai ketua tanfidziyyah NU pada tahun 1937 dalam Muktamar NO ke-12 di Malang mendampingi Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Usianya waktu itu baru 30 tahun.
Kiai Mahfudz adalah darah dan tenaga muda untuk NU yang kebanyakan dihuni para kiai tua. Ia menjadi penggerak yang penting, penyusun konsep mabadi’ul khairu ummah –yang hingga sekarang masih dipakai di kalangan NU, meski tentu dengan pengembangan--, ikut meletakkan dasar-dasar pendirian organisasi pemuda NU, Ansor, dan mengelola berkala NU –Soeara NO--, kemudian berganti menjadi Berita NO (Berita Nahdlatoel Oelama) dan menjadi Pemimpin Redaksinya.
Berita NO terbit secara rutin dalam waktu yang cukup lama, dan kini menjadi dokumen penting sejarah NU. Sebagai pemimpin redaksi, Kiai Mahfud rutin menulis di dalamnya, berbagai tema: mulai soal keagamaan hingga politik internasional. Ia biasa menggunakan nama samaran Garagus atau kadang Abu S Barri.
Kiai Mahfudz juga terkenal sebagai kiai yang kosmopolit. Ia memiliki pergaulan dan bacaan yang luas. Ia punya perhatian pada profesionalisme. Dalam berpakaian terkenal necis dan parlente. Jika ke kantor HBNO, ia kerap mengenakan jas dan tanpa peci. Jelas ini penampilan yang tidak biasa zaman itu, lebih-lebih di lingkungan pesantren dan NU.
Kiai Achmad kecil mulai berada dalam pengasuhan dan tanggung jawab kakaknya, Kiai Mahfudz pada usia 10 tahun, atau saat-saat awal Kiai Mahfudz menduduki jabatan sebagai ketua tanfidziyyah NU. Jelas pengaruh pengasuhan Kiai Mahfudz ini memantul kuat ke dalam diri Kiai Achmad. Keterbukaan dan keluasan cara berpikirnya, tertanam dalam jiwa Kiai Achmad. Dalam beberapa tulisan, Kiai Achmad beberapa kali mengutip atau menyebut nama kakak sekaligus pengasuhnya tersebut.
Bisa jadi kemampuan dan kebiasaan menulis Kiai Achmad juga berasal dari Kiai Mahfudz. Sebagaimana kita tahu Kiai Achmad sangat sadar pentingnya pemikiran dicatat dan dituliskan, serta kemudian didokumentasikan. Dalam setiap kesempatan memberikan prasaran, tak terkecuali di lingkungan kecil internal NU, ia kerap menuliskan pemikirannya. Makalah-makalah itu ia tulis dalam Bahasa Indonesia dan diketik manual 1,5 spasi. Teks-teks Arab, entah ayat Quran atau hadits disertakan dalam bentuk tulisan tangan. Selain judul, tertera juga catatan pada acara apa makalah itu disampaikan. Menulis makalah, kebiasaan yang umumnya ada di dunia akademik ini sungguh sesuatu yang sangat jarang dilakukan seorang kiai pesantren.
Kiai Achmad kemudian belajar di Pesantren Tebuireng, Jombang. Tak ada informasi sejak tahun berapa dan berapa lama Kiai achmad nyantri di Tebuireng. Jika umumnya seorang anak masuk ke pesantren di usia belasan awal, maka bisa dipastikan ia mondok di pesantren itu akhir tahun 1930an hingga awal 1940an. Di Pesantren Tebuireng ini, ia mendapat pengajaran langsung dari Hadratussyekh beberapa cabang ilmu keagamaan. Jika kemudian Kiai Achmad dikenal memiliki wawasan ilmu keagamaan yang luas, itu tentulah berasal sebagian besarnya dari masa belajarnya dengan Hadratussyekh.
Selain itu, menurut informasi, di Pesantren Tebuireng ini ia juga belajar di Madrasah Nizhamiyah, yang didirikan dan diasuh oleh Kiai Abdul Wahid Hasyim (1914-1953), putra Hadratussyekh dan intelektual dan pemimpin muda NU saat itu. Di Pesantren Tebuireng sejak tahun 1916 telah ada Madrasah Salafiyah, suatu pembaruan dalam sejarah pendidikan pesantren di mana dikenalkan sistem kelas atau tingkatan dan di mana dikenalkan pengajaran umum. Tahun 1929, madrasah ini dipimpin oleh Kiai Mohamad Iljas (1911-1970), saudara sepupu Kiai Wahid Hasyim, yang melakukan banyak pembaruan. Di antaranya, diperbolehkannya para santri membaca surat kabar; diperkenalkannya pengajaran huruf latin dan pelajaran umum, dan penekanan belajar Bahasa Arab aktif (Atjeh 1954).
Madrasah Nizamiyyah yang dikembangkan oleh Kiai Wahid Hasyim melanjutkan pembaruan itu. Melalui Madrasah ini, Kiai Wahid memberi kesempatan para santri untuk memperdalam pengetahuan kesusasteraan dan bahasa-bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Arab. Selain itu, madrasah ini juga mendorong para santrinya untuk banyak membaca, mengembangkan perpustakaan dan memperbolehkan para santrinya untuk aktif di dalam organisasi, selama itu organisasi Islam. Salah satu organisasi yang banyak dimasuki adalah PII (Pelajar Islam Indonesia) Cabang Tebuireng.
Kiai Wahid saat itu memang baru pulang dari belajar di Makkah. Ia bersama Kiai Iljas, diberangkatkan oleh Kiai Hasyim Asy’ari ke Makkah tahun 1931. Sepulang dari Makkah tahun 1933, Kiai Wahid kemudian diminta untuk turut mengelola Pesantren Tebuireng. Waktu itu usianya baru 19 tahun, jiwa mudanya masih penuh semangat. Tahun-tahun itu juga, atau tepatnya tahun 1936, Kiai Wahid mulai terjun ke dalam kehidupan organisasi NU.
Kira-kira di pertengahan dan akhir tahun 1930-an di Pesantren Tebuireng, Kiai Achmad datang belajar kepada sosok Kiai Wahid Hasyim. Kita memang tidak memiliki informasi detailnya, tapi koherensinya cukup jelas dengan jejak kehidupan Kiai Achmad. Minat Kiai Achmad untuk terlibat dalam kehidupan organisasi, tentulah karena keberadaannya sebagai santri di Pesantren Tebuireng, lebih khusus lagi Madrasah Nizamiyah dan persentuhan dengan Kiai Wahid Hasyim (selain tentu dengan kakaknya sendiri sekaligus pengasuhnya Kiai Mahfud Shiddiq).
Dalam catatan biografis, Kiai Achmad termaktub misal pernah aktif di GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) dengan menjadi koordinatornya untuk daerah Besuki dan Jember. GPII adalah organisasi yang berada di bawah Masjumi dan berdiri tahun 1945 untuk mewadahi kalangan muda muslim. Ia bahkan kemudian menjadi pengurus di tingkat wilayah Jawa Timur. Kiai Achmad waktu itu berusia 19 tahun dan tampaknya sudah kembali ke daerahnya Jember setelah masa belajarnya di Tebuireng, Jombang. Menurut Kiai Muhit Muzadi, sahabat Kiai Achmad, keterlibatan di GPPI merupakan awal keterlibatan Kiai Achmad di dalam gerakan Islam. Dalam suatu komentarnya, Nurcholis Madjid menyebut keterlibatan di GPPI ini memberikan pengaruh besar pada keluasan pandangan Kiai Achmad. Tahun 1947 Kiai Achmad bergabung dalam Laskar Mujahidin/PPPR (Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat), di mana Kiai Wahid menjadi ketuanya.
Mengambil analogi istilah "sahabat" dalam sejarah Islam awal, maka Kiai Achmad adalah "sahabat" dalam konteks NU. Kiai Achmad lahir hampir bersamaan dengan kelahiran NU. Awal pendirian NU, Kiai Achmad tentu masih kanak-kanak. Tetapi beliau bertumbuh di jantung NU, karena beliau diasuh oleh kakaknya Kiai Mahfud Shiddiq yang merupakan salah seorang ketua NU saat itu, diajar oleh Hadratussyekh Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar Syuriyah NU, serta dididik oleh Kiai Abdul Wahid Hasyim, pemimpin dan politisi muda NU yang saat itu sedang naik daun.
Kecintaan dan komitmen Kiai Achmad untuk turut dan terus mengembangkan NU telah tertanam kuat pada masa-masa kanak-kanak dan remajanya ini. Dalam pengantar buku Risalah Khittah Nahdliyyah (1979), Kiai Achmad menulis: “…sebagai salah seorang dari sisa-sisa generasi “antara” yang alhamdulillah masih sempat berguru pada generasi pendiri dan sempat pula mengikuti arus dan irama perjuangan Nahdlatul Ulama selama empat puluh tahunan ini…” Pernyataan ini menunjukkan kesadaran Kiai Achmad mengenai posisi istimewa sekaligus juga tanggung jawab historisnya untuk mengawal NU.
Ketika Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama RIS, ia merekrut Kiai Achmad sebagai sekretarisnya. Kiai Wahid menjadi Menteri Agama beberapa kali. Masing-masing dalam Kabinet Hatta (1950), kemudian disusul dalam Kabinet Natsir dan Kabinet Sukiman yang bubar awal 1952. Secara keseluruhan, ia menjadi Menteri Agama selama dua tahun.
Tidak ada informasi, apakah Kiai Achmad selama dua tahun itu menjadi sekretaris Kiai Wahid. Yang jelas, masa menjadi sekretaris Kiai Wahid ini merupakan belokan penting dalam kehidupan Kiai Achmad, karena selain menunjukkan kepercayaan Kiai Wahid yang besar padanya juga sekaligus sebagai wahana pengkaderannya. Waktu itu usia Kiai Achmad 24 tahun.
Setelah Kiai Wahid Hasyim tidak lagi menjadi menteri dan kemudian meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, Kiai Achmad sudah muncul sebagai tokoh nasional, setidaknya di lingkungan NU. Pada Muktamar ke-20 di Surabaya tahun 1954, Kiai Achmad ditunjuk sebagai sekjen, tetapi karena Kiai Achmad tidak sanggup kalau harus pindah dari Jember ke Jakarta, maka yang menjadi sekjen adalah Kiai Saifudin Zuhri, sedangkan Kiai Idham Chalid menjadi Ketua I (Chalid, 2008). Dua sosok ini, selain Kiai Achmad sendiri, dianggap sebagai ‘kader politik’ Kiai Wahid Hasyim (Zuhri, 1987). Hal yang sama pada muktamar ke-21 NU di Medan, Desember 1956, namanya tercatat kembali sebagai wakil sekjen. Tapi kini yang duduk sebagai ketua adalah KH Idham Chalid (1921-2010) dan Sekjennya tetap Saifudin Zuhri (1919-1985). Antara tahun 1955-57, Kiai Achmad sempat duduk sebagai anggota DPR.
Pada Kepengurusan Tanfidziyah PBNU tahun 1952-1954, nama Kiai Achmad sudah muncul sebagai ‘anggota’ di bawah Ketua Umum Kiai Masjkur. Tapi dalam kepengurusan tahun 1952-1954, namanya tidak ada. Baru kemudian namanya muncul pada kepengurusan tahun 1954-1956 sebagai Sekjen, tapi ia tidak bersedia, dan digantikan oleh Kiai Saifudin Zuhri. Kemudian pada kepengurusan Tanfidziyah tahun 1956-1959, namanya muncul lagi sebagai Wakil Sekjen, tapi kembali ia menolak. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Aminuddin Aziz. Kemudian dalam kepengurusan PBNU tahun 1959-1962; 1962-1967; dan 1967-1971, namanya tidak ada lagi dalam jajaran nasional. (Fealy, 2003). Ini bisa mengindikasikan dua hal sekaligus. Pertama, Kiai Achmad kurang sreg dengan orientasi politik NU saat itu dan kedua Kiai Achmad lebih banyak berkiprah di daerah.
Tetapi setelah tahun-tahun itu, arah pandangan politik Kiai Achmad rupanya bersimpang dengan kecenderungan utama di dalam NU, yang waktu itu sangat dekat dengan Sukarno dan menjadi pendukung utama Nasakom. Sebaliknya, Kiai Achmad, seperti juga sering diakuinya kerap bicara keras soal Nasakom. Mungkin karena itu karier politiknya datar saja. Meski demikian, Kiai Achmad sempat menjadi anggota DPR hasil Pemili 1971. Lalu 1977 kembali ke Jember, aktif di dalam NU daerah hingga menjadi Ketua Umum NU Wilayah Jawa Timur.
Karena hubungan dengan Kiai Wahid ini pulalah, Kiai Achmad kemudian menjadi pegawai pemerintah di Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama). Ketika dan meski Kiai Wahid wafat, status sebagai pegawai pemerintah ini tidak beliau tinggalkan. Beliau sempat menjadi kepala KUA di Situbondo dan Besuki. Dan puncak karirnya adalah sebagai Kepala Departemen Agama Jawa Timur tahun 1971. Menurut keterangan yang saya dapatkan, beliau terus mengabdi sebagai pegawai negeri ini hingga masa pensiun.
Menurut saya, status sebagai pegawai negeri atau abdi negara ini turut membentuk jiwa Kiai Achmad. Mengapa status ini tetap dijalani Kiai Achmad? Padahal saat itu pegawai negeri bukanlah status yang menarik secara ekonomi. Pada umumnya gaji pegawai negeri masih kecil. Tunjangan pun tidak seberapa.
Pertanyaan ini tambah menarik lebih-lebih jika dikaitkan dengan kedudukan beliau di lingkungan pesantren dan NU. Tahun-tahun ketika Kiai Achmad menjadi pegawai negeri itu hingga beberapa tahun kemudian, citra pegawai negeri di kalangan pesantren dan NU tidak terlalu positif dan baik. Sumber gaji yang tidak seberapa itu sering dianggap "syubhat". Menjadi ‘pegawai tuhan’ jauh dianggap lebih terhormat daripada menjadi pegawai pemerintah. Itu di antaranya dengan menjadi guru pesantren atau pedagang kecil. Menjadi independen jauh lebih mulia daripada mengikatkan diri dengan pemerintah.
Sementara hubungan agama dan negara, pada umumnya sering berbeda, bahkan terkadang bertentangan. Negara kerap dipandang sebagai aparatus yang senantiasa ingin mengatur dan menaklukkan agama. Sebaliknya agama sering dipandang negara sebagai lembaga yang cerewet, susah diatur, dan terlalu parokial. Lebih banyak menjadi penghalang bagi pengembangan dan pembangunan masyarakat dan negara-bangsa.
Pola hubungan seperti ini, tercermin sangat kuat dalam hubungan NU dan negara. Salah satu momen terburuk dari hubungan ini terjadi pada tahun 1971, di mana terjadi pembengarusan luar biasa terhadap para kiai pesantren dan aktivis NU. Sementara di jurusan pesantren dan NU sendiri, terjadi perlawanan dan permusuhan yang sangat keras pada negara.
Dalam suasana seperti itulah, Kiai Achmad berperan sebagai pegawai negeri. Untuk apa, kalau bukan untuk "pengabdian". Tapi sekali lagi peran ini sangat besar membantu dan membentuk pemikiran Kiai Achmad.
Di satu sisi, beliau pernah menjadi bagian dari pemerintah dan negara. Beliau mengetahui, memahami dan menyadari seperti apa pemerintah itu, apa maunya, dan bagaimana sulitnya mengelola masyarakat yang besar dan beragam. Di sisi lain, beliau juga bagian dari masyarakat dan pesantren, yang memiliki visi tentang kehidupan tersendiri, senantiasa independen, dan menjaga jarak dengan pemerintah yang dalam beberapa hal menjadi bagian penting dari sikap moral keagamaan.
Kerumitan hubungan negara dan agama ini bukan hanya dipahami, tapi sangat dilihat dan dirasakan Kiai Achmad. Bagi Kiai Achmad, tidak bisa masing-masing berdiri dan tegak dengan maunya sendiri-sendiri. Harus ada dialog dan kerjasama. Dialog dan kerjasama itu hanya mungkin jika platformnya juga relatif sama.
Menuju penerimaan Pancasila dan kembali NU ke Khittah
Berbeda dengan dua kader Kiai Wahid Hasyim yang lain, Kiai Saifuddin Zuhri dan Kiai Idham Chalid, yang terus menjadi pemimpin NU sekaligus pimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di tingkat nasional, di mana NU menjadi orderbouwnya, Kiai Achmad sejak pertengahan 1960-an hingga akhir 1970-an lebih banyak berkiprah di daerah. Berada di daerah ini memberi kesempatan luas kepada Kiai Achmad untuk melihat, merasakan dan mengalami bagaimana menjadi atau mengembangkan NU dalam jarak yang begitu dekat dengan massa jamaahnya. Tentu ini berbeda dengan cara melihat dari atas atau dari jauh, dari Jakarta.
Meski NU turut berperan dalam membangun Orde Baru, kenyataannya NU –seperti juga banyak kelompok masyarakat sipil lainnya—terus hendak ditundukkan oleh pemerintah Orde Baru. Orientasi program, atau lebih tepatnya Program Modernisasi yang diusung Orde baru menuntutnya untuk membangun stabilitas yang penuh. NU adalah sisa-sisa kekuatan lama yang masih berorientasi ideologi. Pemerintah tidak mau dicereweti oleh kritik-kritik entah itu pers, partai, intelektual, ulama, kampus, mahasiswa maupun lainnya. Sementara sudah banyak kelompok masyarakat sipil yang berhasil ditundukkan, tidak demikian dengan NU. Ia tetap bertahan sebagai organisasi masyarakat sipil sekaligus partai politik yang kuat dan independen.
Namun posisi ini membuat NU terseret dalam pertentangan terus menerus dengan pemerintah. Ketika kemudian pemerintah menerapkan fusi partai, NU dipaksa bergabung ke dalam PPP sebagai gabungan dari partai-partai Islam. PPP kemudian menjadi lawan pemerintah. Sebagai kelompok terbesar di dalam PPP, NU menjadi ujung tombak yang mengkritik pemerintah. Pertentangan ini tercermin sangat kuat dalam dua pemilu tahun 1971 dan tahun 1977. Namun PPP sebagai hasil dari fusi, membawa watak lahiriah berupa pertentangan internal antara partai pendukungnya. Meski merupakan partai pendukung terbesar, para pemimpin NU kerap disingkirkan. Pemerintah sering melakukan intervensi dengan mendukung pesaing-pesaing NU di dalam PPP.
Kini NU terjebak dalam dua pertarungan. Pertama dengan pemerintah. Kedua, dengan partai atau ormas yang tergabung dalam PPP. Bayaran untuk ini sangat mahal sekali. Di satu sisi, hampir seluruh energi dan sumberdaya terkuras habis mengurus politik. Padahal panggung politik itu tak memungkinkan lagi bagi NU untuk berperan lebih banyak. Sistem fusi telah membuat NU terjebak dalam sebuah panggung yang dalang dan anak wayangnya, serta skenarionya telah dipegang orang lain.
Dampak lebih besar lagi, kegiatan-kegiatan pendidikan dan sosial banyak terabaikan, dan memang tidak memungkinkan untuk berkembang. Posisi vis-à-vis dengan negara, membuat banyak orang enggan menyebut diri atau bergabung dengan NU. Karena menjadi NU sama artinya menjadi lawan atau penentang pemerintah. NU menjadi kehilangan sumber daya di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial, karena keberadaan NU sebagai partai orderbouw PPP membatasi orang untuk bergabung ke dalamnya.
Situasi ini sekali lagi, bukan hanya dilihat, tapi juga dirasakan dan dialami secara langsung oleh Kiai Achmad. Tiba-tiba saja konstruksi politik telah menyingkirkan NU dari bagian negara-bangsa yang turut ia dirikan. NU tiba-tiba menjadi kelompok yang ekstrem dan dianggap sebagai anti-Pancasila, ideologi yang juga turut ia lahirkan dan dukung.
Sebagai kiai pesantren, yang turut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, ikut membesarkan dan menjadi aktivis NU, dan bertahun-tahun menjadi abdi negara, Kiai Achmad merasakan sekali berat dan sakitnya menjadi NU saat itu. Pada kenyataannya NU sendiri telah jauh keluar dari garis perjuangan awalnya. Hal inilah yang mendorong pemikiran untuk mengembalikan NU ke Khittah awal perjuangannya.
Pikiran-pikiran dalam buku Risalah Khittah Nahdliyyah mencerminkan kegundahan, keprihatinan, dan juga kekecewaan Kiai Achmad pada keadaan NU saat itu. Buku itu pertama kali terbit tahun 1979 atas usaha Kiai A. Muchith Muzadi (1925-2017), sahabat Kiai Achmad sejak masa nyantri di Pesantren Tebuireng. Buku ini sendiri sebenarnya kumpulan dari makalah dan bahan ceramah yang diberikan oleh Kiai Achmad di lingkungan keluarga NU. Jelas sekali dari segi waktu, pikiran-pikiran dalam buku itu sudah diperkenalkan Kiai Achmad jauh sebelum terbitnya.
Dalam penerbitan edisi ulang buku ini tahun 2005, Kiai A Muchith Muzadi mengatakan dalam pengantar bahwa ketika diterbitkan tahun 1979, risalah itu dibagi-bagikan ke peserta Muktamar ke-26 di Semarang tahun 1979. Tampak sekali bahwa Kiai Achmad dan kawan-kawan menginginkan suatu perubahan di dalam NU, dengan mengingatkan dan merumuskan pentingnya garis-garis perjuangan. Memang pada muktamar 1979 itu, risalah ini tidak menjadi pembahasan. Tetapi idenya jelas telah digulirkan dan benar-benar matang terutama juga oleh situasi politik pergantian dekade itu, sehingga risalah ini kemudian menjadi bahan utama konsep Kembali Ke Khittah dan menjadi pembahasan utama pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984.
Ada dua ciri utama dari risalah itu. Pertama, ia ditulis dengan wawasan keagamaan yang luas dan dalam, serta terutama cara ‘berpikir’ yang khas Ahlussunnah wal Jamaah ala pesantren dan NU, meski NU tidak memonopoli predikat sebagai satu-satunya kaum Ahlussunnah wal Jama’ah. Kedua, ia ditulis dengan kesadaran sejarah yang kuat atas perjalanan negara-bangsa Indonesia di satu pihak dan peran NU di dalamnya di pihak lain. Kombinasi antara wawasan keagamaan dan kebangsaan ini menjadi cirinya yang penting, meski aspek sejarah negara-bangsa dikemukakan singkat sekali di bagian awal.
Jika kita membaca bagian-bagian awal dari risalah ini, ia mirip seperti proses yang melatari ‘tadwin’ dalam sejarah Islam. Kiai Achmad merasakan belum ada ‘khiitah’ yang tertulis, sementara generasi pertama sudah banyak yang meninggal. Bedanya, proses ini diletakkan dalam perkembangan sejarah negara-bangsa Indonesia dan NU sebagai bagian pentingnya. Jika proses ‘tadwin’ itu menghasilkan pengumpulan ayat-ayat menjadi sebuah kitab Quran, koleksi hadits dan konsepsi hukum Islam, maka proses ini menghasilkan rumusan ‘khittah nahdliyyah’.
Wawasan keagaman dan sekaligus kebangsaan ini, plus pengalaman sebagai ‘generasi antara’ membentuk pemikiran Kiai Achmad yang sangat menarik. Meski Kiai Achmad tak banyak membaca buku-buku ilmu sosial, atau lebih tepatnya mengutip pemikiran-pemikiran ilmu sosial, pemikirannya banyak yang sangat melampaui. Misal Kiai Achmad menafsirkan kata ‘ummat’ dalam tiga pengertian yang luas sekali. Pertama, satu kelompok dengan ikatan agama Islam; kedua: satu kelompok dengan ikatan kenegaraan/nasionalitas (umat Indonesia; dan ketiga: semua kelompok manusia (umat manusia). Sungguh ini pemikiran yang konstekstual hingga sekarang, yang melampaui bahkan para pemikir Muslim dari kalangan modern.
Mengembalikan NU pada khittah perjuangannya sebenarnya juga berarti melakukan desakralisasi. Salah satu sumber masalah dalam NU –dan umat Islam umumnya saat itu—adalah memandang lapangan politik sebagai satu-satunya jalan pengabdian. Dan jalan pengabdian itu dirumuskan dengan sederhana yaitu Partai Islam. Terjadi sakralisasi terhadap partai Islam, memilih partai Islam merupakan kewajiban agama, dan siapa yang tidak memilih partai Islam berarti bukan bagian dari Islam. Pemikiran ini menjadi jebakan mematikan bagi warga NU khususnya, dan umat Islam umumnya, yang membuat umat Islam bisa bersikap eksklusif, bahkan ekstrem, serta berlebih-lebihan.
Pemikiran yang mensakralisasi politik membuat NU hanya berada di dan terdiam dekaden di satu tempat. Dalam risalah Khiitah Nahdliyyah, Kiai Achmad mengingatkan luasnya sebenarnya gelanggang pengabdian NU seperti pendidikan (maarif), sosial (mabarot), dan ekonomi. Membuka selubung sakralisasi itu akan membuat NU, dalam bahasa Kiai Achmad: “tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana”.
Namun usaha mendesakralisasi politik tidak bisa seluruhnya bisa dikerjakan jika negara masih memandang NU dan umat Islam umumnya dalam kerangka yang serupa. Di sinilah penerimaan NU terhadap Pancasila memiliki nilai strategisnya. Karena dengan penerimaan Pancasila itu, NU berada dalam platform yang sama dengan negara. NU –dan sekali lagi umat Islam umumnya—tidak lagi melihat negara sebagai musuh, sebaliknya juga negara tidak lagi memandang NU sebagai lawan. Dengan demikian, kalangan agama bisa terlibat dalam proses berbangsa bernegara secara wajar, tidak dicurigai dan dimusuhi, bahkan jika melakukan kritik terhadap kebijakan negara. Tidak ada pertentangan (lagi) antara agama dan Pancasila sebagaimana selama ini disangkakan.
Penutup
Ketika membuka Madrasah Nizamiyyah, KH A Wahid Hasyim membayangkan dari madrasah itu lahir generasi kiai yang intelek. Sembari memandang para santri-santrinya di madrasah itu, Kiai Wahid pernah berdoa, seperti ditulis Aboebakar Atjeh (1957): “Mudah-mudahan kamu sekalian dimasa jang akan datang mendjadi tjalon kijai-intellek, jang dapat mengangkat deradjat golonganmu!”
Saya membayangkan di antara para santri yang dipandang dan didoakan Kiai Wahid terdapat anak muda: Achmad Shiddiq. Di tahun 1950-an, tipe kiai-intelek itu sering disebut nama Agus Salim dan M Natsir (Aboebakar Atjeh, 1957). Rupanya kiai-intelek diartikan sangat sederhana, yaitu membaca dan mengenal pemikiran umum dan mengerti bahasa-bahasa asing (di luar Bahasa Arab). Tapi pada belakangan, pengertiannya jelas lebih substansial, yakni soal seberapa luas dan dalam pemikiran dan komitmen untuk memperjuangkannya, serta akhirnya pengaruhnya pada perkembangan masyarakat.
Kiai Achmad Shiddiq menjadi kiai-intelek dalam pengertian ini. Bukan hanya itu, seperti telah banyak diakui, ia juga telah menjelma menjadi kiai-negarawan. Gagasannya tentang Khittah Nahdliyyah yang mendorong NU kembali ke Khittah dan idenya agar NU menerima Pancasila, meninggalkan pengaruh yang sangat besar. Wajah NU dan Islam serta Indonesia benar-benar berubah banyak dalam empat dekade terakhir ini. Pola hubungan antara negara dan umat Islam jauh lebih cair. Kerjasama antara negara dan kalangan agama jauh lebih mudah. Jika pun ada kritik dari kalangan agama, ia tidak akan membawa pada polarisasi, bahkan yang mengancam keutuhan negara-bangsa. Konflik internal umat Islam bukan berarti tidak ada lagi, tapi jauh lebih kecil, dan itu pun bukan urusan perebutan kursi politik di parlemen. Sementara kerjasama antarelemen bangsa, seperti antar kelompok agama-agama, lebih terbuka dan luas.
Setelah menelusuri dan membaca riwayat Kiai Achmad ini, saya meyakini, pemikiran Kiai Achmad jauh lebih berpengaruh daripada pemikiran seorang Nurcholis Madjid sekalipun. Wallahul ‘alam.
Hairus Salim HS, Penulis