Namanya sering dipanggil Mbah KH Ali Maksum oleh para santri. Bersama dengan para tokoh penting penyebar dan pengembang Islam di Yogyakarta, namanya diabadikan dalam ingatan para santri di Yogyakarta. Mereka ini adalah para penerus perjuangan Maulana Maghribi, Syeh Bela-Belu, Kiai Ageng Giring, Mbah Nur Iman Mlangi, dan para pem-babad Islam lain di bagian selatan Jawa.
Dari jajaran para tokoh pesantren di Yogyakarta, Mbah KH Ali Maksum memiliki keunikan, karena pernah menjadi Rais Aam PBNU masa khidmah 1981-1984 di masa transisi: dari masa fusi Partai NU di PPP ke masa formulasi Khittah NU tahun 1984. Masa 1981-1984 ini sangat krusial bagi jami`yah NU, baik dari sudut situasi politik nasional atau aspirasi dari kalangan tokoh-tokoh NU sendiri yang berbeda-beda. Beliau menjadi motor dari kalangan kiai sepuh dalam mengupayakan jam`iyah NU kembali ke khittahnya. Tokoh ini juga menjadi pendidik bertalenta muharrik (penggerak), murid-muridnya banyak menjadi tokoh penting di jajaran para ulama Nahdliyin, selain sebagai penulis kitab dan pendakwah yang menyentuh hati.
Diasuh dalam tirakat ulama besar Lasem
Tokoh penting dalam gerakan kembali ke Khittah NU ini besar dalam lingkungan keluarga besar pendiri NU yang berasal dari Lasem. Beberapa biografi beliau dan sang ayah telah ditulis oleh para sarjana dan santri dalam beberapa kajian, seperti yang dilakukan A. Zuhdi Muhdhor (1989), Ahmad Athaillah (2019), Sayid Chaidar (2013), Tim Penulis dalam Ensiklopedia Pesantren (III, 2003: 121-1230), Tim Penulis dalam Ensiklopedia NU (I, 2014: 120-121), Luthfi Thomafi (2007), dan beberapa kajian lain.
Dalam kajian-kajian yang disebutkan itu, semua sepakat bahwa Mbah KH Ali Maksum lahir dari keluarga besar ulama Lasem, belajar dasar-dasar tirakat dan olah ilmu di kota pesisir utara ini. Kota Lasem, selain dikenal dengan kekeramatan Mbah Sambu, juga dikenal sebagai tempat kelahiran KH Muhamamd Shidiq (ayah KH Mahfud Shidiq dan KH Achmad Shidiq), yang kemudian pindah ke Jember melahirkan keluarga Bani Shidiq; dan kota Lasem juga menjadi tempat tinggal sebagian kiai pendiri NU.
Mbah KH Ali Maksum lahir pada 2 Maret 1915 (sebagian sumber menyebut 15 Maret 1915) di Dusun Sumurkepel, Desa Sumberigirang, Lasem, dari pasangan Mbah KH Maksum Ahmad dan Nyai Hj. Nuriyati, pengasuh PP. Al-Hidayah Soditan, Lasem, Rembang. Tempat lahir Mbah KH Ali Maksum, tepatnya sekarang menjadi lokasi Pesantren Nailun Najah, yang juga dikenal sebagai tempat besarnya KH Abdul Hamid Pasuruan, yang masih terhitung kerabat. Lokasi tempat kelahiran beliau ini dulunya adalah rumah tempat tinggal ibu Mbah KH Ali Maksum sekaligus tempat pesantren Nailun Najah sekarang.
Sang ibu, yang bernama Nyai Hj Nuriyati dikenal sebagai ulama perempuan yang disegani, `alimah, dan ahli tirakat di Lasem, berasal dari lingkungan ulama Lasem. Orang tuanya bernama KH. Zainudin dan Nyai Masfuriyah, yang memiliki lima anak berturut-turut, yaitu KH Fathurahman, Nyai Nuriyati, KH Mudzakir Rembang, KH Zawawi Kragan Cirebon, dan Nyai Chafsah Lasem. Nyai Hj Nuriyati adalah anak yang kedua, yang silsilah ke atasnya disebut Luthfi Thomafi (2007: 58) sampai kepada Mbah Sambu, yang sangat dikenal di Lasem.
Dari pihak ibu, kekerabatan Mbah KH Ali Maksum juga berhubungan dengan KH Abdul Hamid Pasuruan (1914-1982 M). KH Abdul Hamid Pasuruan adalah adik dari Nyai Asiyah Abdullah Umar, istri dari KH Fathurahman, yang merupakan kakak dari Nyai Nuriyati (ibu Mbah KH. Ali Maksum). Sejak kecil, Mbah KH Ali Maksum sudah mengenal KH Abdul Hamid Pasuruan karena terhubung dengan kekerabatan dan bertemu di Lasem, khususnya di lokasi yang sekarang menjadi Pesantren Nailun Najah.
Sementara dari sang ayah, Mbah KH Ali Maksum adalah putera dari Mbah KH. Maksum Lasem. Sang ayah adalah salah satu kiai pendiri NU yang sering hadir di muktamar-muktamar NU di masa awal. Oleh sebagian sumber, Mbah KH Maksum disebut lahir pada tahun 1870-an dari orang tua yang bernama Kiai Ahmad dan Nyai Hj Qasimah, dan Mbah Maksum adalah putra ketiga dari urut-urutan anak, yaitu Nyai Zainab, Nyai Malichah, dan Muhammadun (Maksum). Dari jalur ayah, pada leluhur kelima, Mbah KH Ali Maksum juga dikenal memiliki darah Cina, yaitu Nyai Muzaid (seorang Shiniyah), yang silsilah ke atas lahir dari ayah bermarga Oei dan ibu bermarga Tan.
Kiai Ahmad mengkader Mbah KH Maksum muda untuk belajar di Pesantren Mlonggo (Jepara), Jamsaren (Solo), Bangkalan (Madura), dan beberapa pesantren lain. Setelah pulang ke Lasem, profesi Mbah KH Maksum selain mengajar ngaji sejak 1916 di pesantren yang didirikannya, juga sebagai pedagang, dan di antaranya pernah berdagang di pasar Jombang. Sering pula mengikuti musyawarah pendirian NU bersama Hadratussyekh KH Hasyim Asyari dan para ulama lain, seperti disebut KH Zaim Ahmad, salah satu cucunya (dalam Ahmad Athoillah, 2019: 20). Hanya saja, dalam kepengurusan NU di masa awal (1926), seperti tercantum dalam susunan pengurus awal NU, wakil dari Lasem diberikan kepada KH. Masjhuri (KH Khalil Masjhuri), yang menjadi a’wan syuriyah. Akan tetapi KH Abdul Halim Leuwimunding dalam Sejarah Perjuangan Kiai Hajj Abdul Wahhab Nahdlatul Ulama, menyebutkan bahwa KH Maksum adalah salah satu ulama penting NU yang sering datang di banyak muktamar NU.
Selain itu, Mbah KH Maksum ini sering bersama KH Abdul Wahab Hasbullah dan para ulama lain, mengadakan kursus-kursus keagamaan Aswaja, dan yang terpenting mendirikan NU Cabang Lasem, yang ketuanya, kemudian diberikan kepada KH Baidhawi Abdul Aziz. Mbah KH Maksum juga ikut mendirikan Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah pada 10 Oktober 1957 di Magelang, dan menjadi salah satu kiai sepuh yang duduk di jajaran kepengurusan bersama KH Baidhawi Abdul Aziz, KH Muslih Mranggen, KH Arwani Kudus, KH Hafid Rembang, dan KH Adlan Ali.
Dari keluarga pendiri pesantren tua di Soditan Lasem, sekaligus pendiri NU, dan para ahli tirakat, Mbah KH Ali Maksum muda dididik. Kedua orang tuanya itu dikenal sebagai ahli tirakat. Ibunya yang bernama Nyai Hj Nuriyati bahkan disebut sejumlah sumber (Thomafi, 2007: 58-60; Ahmad Athoillah, 2019: 25) pernah bermimpi bertemu Rasulullah selama 29 kali; dan dengan aktif di Jamiyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah, sang ayah dengan sendirinya diakui kiai-kiai lain di lingkungan NU sebagai ahli tirakat, berwibawa, alim dan wara’. Dari orang tuanya, akhirnya ada tiga basis penting yang menggodok Mbah KH Ali Maksum muda dan menjadi arus besar yang mengalir dalam dirinya: tradisi pendidikan pesantren, tirakat orang tua, dan gerakan Jam`iyah Nahdlatul Ulama dan kepeduliannya kepada tarekat di lingkungan NU.
Dari Lasem sampai Tremas, kembali ke Lasem
Sampai usia kira-kira 10 tahun Mbah KH Ali Maksum masih diasuh oleh pendidikan ayah dan ibunya di Lasem, melalui dasar-dasar kegamaan, kitab-kitab, dan pandangan keagamaan Sunni-Asy`ariyah. Ketika menginjak remaja, Mbah KH Maksum kemudian menggentur Mbah KH Ali Maksum muda untuk menjalani tirakat sebagai murid dan ngaji di berbegai pesantren. Selain kepada ayahnya, beberapa sumber (Ahmad Athaillah, 2019: 32) menyebut bahwa ketika di Lasem, Mbah KH Ali Maksum juga mengambil barakah ilmu dari sebagian ulama Lasem, seperti kepada KH Abdullah bin Umar (ayah KH Abdul Hamid Pasuruan), KH Abdul Aziz (ayah KH. Baidhawi), Kiai Zainudin (kakek Mbah KH Ali Maksum), KH Kholil Soditan, dan KH Dimyathi Umar.
Pada umur kurang lebih 11 tahun, Mbah KH Ali Maksum remaja menjalani tirakat meninggalkan Lasem menuju Pekalongan, di Pesantren Simbang, yang saat itu diasuh oleh KH Amir Idris, yang masih terhitung besan dari Mbah KH Maksum. Hubungan kekerabatan terjadi karena anak Mbah KH Maksum (Ahmad Athaillah, 2019: 39), yang merupakan adik Mbah KH Ali Maksum, bernama Nyai Fathimah, menikah yang kedua kalinya dengan anak KH Amir Idris bernama Kiai Muhammad. Kiai Amir Idris sendiri berasal dari Mundu Cirebon, anak dari KH Idris dan Nyai Shoimah, dan merupakan kiai lulusan Makkah, sekaligus menjadi murid-menantu KH Saleh Darat Semarang. Di antara murid KH Amir Idris Simbang ini adalah KH Muhammad bin Ali Murtadho Pati dan KH Machrus Ali Kediri. Banyak kitab yang dipelajari Mbah KH Ali Maksum di Pesantren Simbang ini, tetapi secara khusus ilmu balaghah banyak ditekuni di pesantren ini.
Dari Pesantren Simbang Pekalongan, Mbah KH Ali Maksum melanjutkan ke Tremas pada tahun 1927. Kira-kira umurnya saat itu adalah 12 tahun, dan saat itu, Pesantren Tremas diasuh oleh KH Dimyathi Tremas. Menurut sebagian keterangan Nyai Hj Azizah Maksum yang dikutip Ahmad Athoillah (2019: 43), Mbah KH Maksum melarang Mbah KH Ali Maksum muda untuk pulang selama mondok di Tremas, sehingga tidak sempat mendatangi pernikahan adik perempuannya (Nyai Fathimah). Ketika di Tremas inilah, menurut Zuhdi Mukhdor (1989), nama Ali ditambahi dengan nama ayahnya (Maksum) sehingga menjadi Ali Maksum.
Di Tremas ini, KH Ali Maksum tinggal di ndalem pondok bersama anak Syekh Mahfud Tremas yang baru saja pulang dari Makkah bernama Gus Muhammad bin Mahfud Tremas. Tempatnya ada di selatan masjid lama Tremas, di Pondok Jogja-Solo. Pondok Tremas saat itu menamakan beberapa komplek santri dengan asal daerah para santri, misalnya dengan nama Pondok Wetan, Pondok Tengah, dan Pondok Barat. Pada masa Mbah KH Ali Maksum di Tremas, mereka yang belajar selain kerabat-keturunan Tremas sendiri, seperti Gus Hamid Dimyathi, juga ada santri-santri yang lebih senior seperti KH Abdul Hamid Pasuruan, KH Tahrir, KH Harun Banyuwangi, KH Masduqi Lasem, KH Ridwan Magelang, dan lain-lain.
Di Pondok Tremas, Mbah KH Ali Maksum selain ngaji kitab, khususnya tafsir, tata bahasa Arab dan sastranya, juga membaca pandangan-pandangan dari para guru sunni non-Asy`ari-Maturidi, seperti membaca Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, Fatwa Ibnu Taimiyah, dan tentu saja membaca kitab-kitab Ahlussunnah Waljamaah Asy`ariyah-Syafi`iyah yang biasa dikaji di berbagai pesantren. Mbah KH Ali Maksum juga bergiat di organisasi pondok (sebagai bendaharan) dan menjadi Ketua Kepanduan Santri.
Mbah KH Ali Maksum muda juga terlibat dalam melakukan ishlahiyah pendidikan pesantren dengan menerapkan sistem madrasi, dan beliau dikenal mempelopori pendidikan formal di Tremas, sebagaimana disebut oleh A Zuhdi Mukhdor (1989: 13) bersama empat serangkai, yaitu Gus Hamid Dimyathi, Gus Rahmat Dimyathi, Gus Muhammad bin Syeh Mahfud Tremas, dan Mbah KH Ali Maksum sendiri, yang saat itu sering disebut Wak Ali. Keempat tokoh inilah yang saat itu menjadi dinamisator muda di Tremas dengan melakukan terobosan-terobosan baru.
Perubahan-perubahan itu memperoleh izin dari KH Diamyati Tremas, sehingga langkah-langkah pendirian madrasi berjalan dengan baik. Untuk keperluan pelajaran sharaf, Mbah KH Ali Maksum bahkan menyusun kitab tashrif yang lebih sederhana, dan menurut berbagai penelitian soal ini, tashrif yang disusun Mbah Ali Maksum masih dipakai oleh internal santri Tremas. Bentuk perubahan pendidikan ini adalah berdirinya Madrasah Diniyah Putra-Putri untuk anak-anak kampung, dengan durasi waktu selama 6 tahun.
Tradisi perubahan pendidikan yang dilakukan empat serangkai itu, sebenarnya juga memperoleh lahan suburnya di dalam tradisi Tremas sendiri. Pada era 1919-1923 sebelum Mbah KH Ali Maksum datang di Tremas, tradisi Tremas sudah melakukan takror santri (pengulangan pelajaran), adanya organisasi pesantren, pidato bahasa Arab dan Inggris, ekstrakurikuler, kepanduan, olahraga, dan kesenian. Meskipun saat itu belum ada pendidikan madrasinya, ternyata Tremas memang sudah menempuh jalan yang lebih dulu untuk al-ijad biljadidil ashlah, dibanding pesantren-pesantren sezamannya. Ketika didirikan Madrasah Diniyah 6 tahun itu, sebenarnya Tremas memang sudah memiliki kesiapan, dalam hal melakukan kreativitas yang dipandang dapat memberikan mashlahah.
Selama tidak kurang dari delapan tahun di Tremas, Mbah KH Ali Maksum kemudian pulang ke Lasem. Madrasah yang dirintisnya di Tremas bersama empat serangkai itu kemudian diserahkan kepada KH Hamid Dimyathi sebagai kepalanya dan Mukti Ali sebagai wakil kepalanya. Mukti Ali yang kemudian menjadi menteri agama di masa Orde Baru ini pernah nyantri di Tremas dan menjadi salah satu murid Mbah KH Ali Maksum. Ketika pulang ke Lasem, umur Mbah KH Ali Maksum saat itu kurang lebih 20 tahunan, terjadi pada tahun 1935.
Setibanya di Lasem Mbah KH Ali Maksum diminta ayahnya untuk mengajar di pondok yang sudah dirintis sang ayah, di Soditan Lasem, yang kemudian dikenal dengan nama Pesantren al-Hidayah. Mbah KH Ali Maksum muda juga melakukan islahiyah di pesantren yang didirikan ayahnya. Selain itu, setelah pulang dari Tremas, Ahmad Athaillah (2019: 56) menyebut bahwa Mbah KH Ali Maksum dinikahkan dengan Nyai Hafshah binti KH Ismail Jepara, tetapi kemudian keduanya berpisah. Pada tahun 1938, Mbah KH Ali Maksum kemudian dinikahkan kembali oleh ayahnya dengan Nyai Hasyimah Munawwir Krapyak, Yogyakarta; Nyai Hasyimah saat itu juga berstatus janda dari H Mahfudh Purworejo. Setelah pernikahan ini, Mbah KH Ali Maksum berangkat ke Makkah dan bermukim di sana sampai tahun 1940, kira-kira lamanya dua tahun.
Di Makkah, Mbah KH Ali Maksum tinggal di pondok milik Syekh Hamid Manan di Syamiriyah, selain juga berguru kepada syekh-syekh terkenal saat itu, seperti Sayid Alwi bin Abbas al-Maliki (di antaranya ngaji al-Luma’) dan Syekh Umar Hamdan (di antaranya ngaji kitab Shahih Bukhari). Sayyid Alwi al-Maliki saat itu adalah syekh terkenal dari Madzhab Maliki, tetapi menganut tauhid Madzhab Asy`ari, mengajar di Madrasah al-Falah Makkah, memiliki halaqah di Masjidil Haram, memiliki sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, mengajar Bulughul Maram, Tafsir Ibnu Katsir, dan kitab-kitab lain. Sayyid Alwi ini juga menulis banyak kitab, di antaranya Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, at-Ta’liq `ala Riyadhish Shalihin, dan lain-lain.
Ketika pulang ke Jawa pada tahun 1940, Mbah KH Ali Maksum dan istri tinggal di Lasem. Dengan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya di Makkah dan berbagai pesantren di Jawa, Mbah KH Ali Maksum berkiprah mengajar di pesantren ayahnya di Lasem dan bersilaturahmi ke berbagai ulama, termasuk ke Tremas. Pada saat itu, berbagai pesantren mengalami kemunduran karena kedatangan penjajahan Jepang, sehingga para murid banyak yang pulang. Setelah usaha-usaha dilakukan oleh Mbah KH Ali Maksum, Pesantren al-Hidayah Soditan berhasil memiliki tidak kurang dari 200 santri, dan cinta beliau kepada Allah melalui pengabdian di Lasem semakin dalam, sebagaimana disampaikan kepada A Zuhdi Muhdor (1989; 18-20) dengan kalimat “ibarat tanaman saya semakin ngoyot (berakar) di Lasem.”
Kejadian di Lasem berubah setelah Mbah KH Moenawwir Krapyak (mertua Mbah KH. Ali Maksum) wafat tahun 1942. Sebab setelah itu, Mbah KH Ali Maksum diminta pindah ke Krapyak. Persantren Krapyak sendiri, sebagaimana pesantren-pesantren lain, pada saat itu juga mengalami penurunan terkena dampak penjajahan Jepang, apalagi letak Krapyak dekat dengan pusat kota Yogyakarta sehingga merasakan atmosfer penjajahan secara dekat. Para sesepuh dan putra tertua Pesantren Krapyak (KHR Abdullah Affandi Moenawwir) bersepakat meminta Mbah KH Ali Maksum dan sang istri yang berasal dari Krapyak itu untuk pindah dari Lasem ke Pesantren Krapyak. Beberapa kali utusan dikirim, sampai istri Mbah KH Moenawwir Krapyak, yang bernama Nyai Sukis meminta pasangan muda ini dan ingin memboyongnya ke Krapyak. Mbah KH. Maksum Ahmad, dengan kunjungan besan dan putra tertua Mbah KH Moenawwir bernama KHR Abdullah Affandi akhirnya merestui sang anak diboyong ke Pesantren Krapyak.
Dari Lasem ke Krapyak: mengabdi melalui pesantren dan PWNU Yogyakarta
Setelah dari Pesantren Al-Hidayah Soditan Lasem, Mbah KH Ali Maksum pindah ke Pesantren Krapyak, yang pada saat itu mengalami penurunan jumlah murid karena ditinggal wafat KH Moenawwir dan adanya penjajahan Jepang (1942-1945). Sebelumnya, seperti disebut Ali As`ad (1975) antara tahun 1923-1942, Pesantren Krapyak sudah memiliki murid antara 70-200 murid. Di Krapyak, Mbah KH Ali Maksum tinggal bareng di rumah sang mertua (Nyai Sukis, istri kedua Mbah KH Moenawwir), yang posisinya ada di utara Masjid Krapyak.
Di Pesantren Krapyak, Mbah KH Ali Maksum membawa kitab-kitabnya dari Lasem (termasuk sebagian kitab ayahnya) dan mengadakan pengajian kitab kuning sejak 1943-1944 untuk tujuan kaderisasi pendidik. Santri-santri awal yang terlibat kemudian menjadi kiai-kiai besar alumni Krapyak, yaitu KH Abdul Qodir Moenawwir (anak KH Moenawwir dan Nyai RA Mursyidah), KH Mufid Masud (Pendiri Pesantren Sunan Pandanaran, menikah dengan anak KH. Moenawwir dan Nyai Salimah, yang bernama Nyai Hj Jauharoh), KH Nawawi Abdul Aziz (pendiri pesantren Ngrukem Bantul, menikah dengan anak KH Moenawwir dan Nyai Khodija, bernama Nyai Hj Walidah Moenawwir), KH. Dalhar Moenawwir (anak KH Moenawwir dan Nyai Salimah), KH Zainal Moenawwir, dan KH. Warson Moenawwir (anak KH Moenawwir dan Nyai Sukis), dan murid-murid lain.
Pengajian Kitab kuning yang dilakukan Mbah KH Ali Maksum ini, menurut buku manaqib KH.M. Moenauwir Al-Marhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta (1432/2011: 44), adalah pembagian tugas yang saat itu dilakukan di Krapyak: KHR Abdullah Affandi Moenawwir menangani pembidangan pengajian Al-Qur’an dan hubungan dengan dunia luar pesantren; KHR Abdul Qodir Moenawwir menangani pembidangan tahfidz Al-Qur’an dan urusan internal pesantren; dan Mbah KH Ali Maksum membidangi pengajian berbagai kitab kuning.
Selain mengembangkan pengajian kitab kuning, Mbah KH Ali Maksum bersama saudara-saudaranya juga merintis pendidikan sistem madrasi dan sistem kuliah, yang keduanya dilengkapi dengan ngaji sorogan. Sistem madrasi diikuti santri-santri yang awalnya tidak kurang ada 12 orang, duduk bersila di serambi masjid dan menulis di atas bangku yang dibuat sederhana; pengajian kitab dilakukan setelah pengajian Al-Quran dan pada pagi hari. Sementara sistem kuliah, dilakukan dengan santri awal tidak kurang dari 10 orang, yang dilakukan pada pagi hari setelah pengajian Al-Qur’an. Ngaji sorogan dilakukan di tempat tinggal Mbah KH Ali Maksum, yang kitabnya ditentukan oleh sang kiai untuk dikaji santri: dalam sorogan sang kiai mendengarkan dan membenarkan bila ada yang keliru, juga menjelaskan yang perlu, serta santri membaca bacaan kitabnya.
Setelah berhasil mendidik kader-kader di Krapyak pada tahap awal, Mbah KH Ali Maksum telah memiliki kader penting dalam membantu ngaji kitab, yaitu KH Habib Tremas yang membantu ngaji Kitab Dahlan Syarah Alfiyah Ibnu Malik, KH Zainal Abidin Moenawwir yang mengembangkan pengajian kitab kuning, dan beberapa kiai lainnya juga membantunya. Pada tahun 1945-1946, pendidikan madrasi yang telah dirintis ini ditingkatkan menjadi tingkat tiga, yang menunjukkan bahwa setelah kedatangan Mbah KH Ali Maksum di Krapyak, pengembangan pendidikan di Krapyak semakin semarak.
Pesantren Krapyak sampai tahun 1960 memiliki tidak kurang dari 1000-an murid, dengan dibuat perjenjangan, sebagaimana disebut majalah Bangkit (Edisi 05/Th.IV/Mei 2015) yaitu Ibtidaiyah (4 tahun, sejak 1946), Tsanawiyah (6 tahun, sejak 1947), didirikan SMP (sejak 1951), Madrasah Banat (sejak 1951), Madrasah Aliyah (3 tahun, sejak 1955), Madrasah Huffadz (sejak 1955), dan pendidikan-pendidikan lainnya. Di tengah perkembangan pendidikan Pesantren Krapyak itu, KHR Abdullah Affandi Moenawwir wafat tahun 1968, dan Mbah KH Ali Maksum kemudian menjadi tokoh paling dituakan di Krapyak, sehingga tugas-tugas ke luar pondok dan koordinasi internal menjadi tanggung jawabnya.
Selain mengajar di Pondok Krapyak, Mbah KH Ali Maksum juga bergiat di Jam`iyah NU, selain membangun silaturahmi kepada tokoh-tokoh lain di Yogyakarta. Mbah KH Ali Maksum giat membangun jaringan hubungan dan silaturahmi dengan kiai-kiai NU di wilayah ini. Menurut Ahmad Athoillah (2019: 86-87), NU di wilayah Yogyakarta ini didirikan secara formal tahun 1946. Dalam sejarahnya, ketika tahun 1926 Jam`iyah NU didirikan, kontak ulama-ulama NU banyak berhubungan dengan jaringan Krapyak dan Wonokromo (tetapi mungkin juga di Mlangi dan di daerah lain mengikutinya). Para ulama NU saat itu disebut meminta para ulama di Krapyak dan Wonokromo agar mendirikan organisasi NU, yang kemudian diikuti pembentukan secara formal pada tahun 1946 ketika KHR Abdullah Affandi Moenawwir diangkat sebagai Ketua Majlis Konsul Wilayah NU untuk Yogyakarta.
Keaktifan Mbah KH Ali Maksum di lingkungan dan jaringan kiai-kiai NU, menjadikannya melihat perubahan-perubahan yang terjadi di organisasi ini, dari mulai ikut Masyumi sampai menjadi Partai NU pada tahun 1952. Mbah KH Ali Maksum termasuk pendukung keluarnya NU dari Masyumi bersama kiai-kiai lain yang lebih sepuh saat itu, seperti KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Baidhawi Abdul Aziz Lasem, dan lain-lain. Pada tahun 1950-an ini, ketokohan KH Ali Maksum sangat dikenal di wilayah Yogyakarta, bahkan di luar Yogyakarta.
Bukti dari ketokohan Mbah KH. Ali Maksum itu, di antaranya dapat dibuktikan pada tahun 1955 ketika mengikuti pilihan anggota Konstituante dan terpilih dar wilayah Yogyakarta. Pemilu tahun 1955 ini sangat bersejarah karena membicarakan dasar negara meski kemudian berakhir dengan dikeluarkan dekrit presiden untuk kembali ke UUD 1945 dengan dijiwai Piagam Jakarta. Pada Pemilu 1955 ini untuk wilayah Yogyakarta Partai NU memperoleh nomor ketiga di bawah PNI, PKI, dan kemudian NU, dan dapat mengantarkan wakil-wakilnya di DPRD DIY, yaitu: Mochammad Tholhah Mansur, Irsyad RH., Moh Djamhari, dan Darjono. Sementara untuk wakil Konstituante dari NU, di antaranya diwakili Mbah KH Ali Maksum.
Peran dan ketokohan Mbah KH Ali Maksum juga terlihat pada tanggal 17-18 Agustus 1955 ketika diadakan Konferensi Alim Ulama NU di Pesantren Darussalam Watucongol asuhan KH Dalhar Watucongol, yang dihadiri tidak kurang dari 150-an tokoh dan ribuan peninjau. Pada Konferensi Alim Ulama NU ini dipilih para ulama yang diberi tugas merumuskan UUD untuk persiapan sidang Konstituante di rapat rapat Dewan Konstituante di Jakarta. Para ulama yang terpilih yaitu KH Zuber Salatiga (17 Suara), KH Baidhawi Lasem (16 suara), KH Ali Maksum Krapyak (16 suara), KH Bishri Musthofa Rembang (11 suara), KH Muhyidin Tegal (8 suara), KH Zabidi Solo (7 suara), sedangkan KH Abdul Jalil Kudus (7 suara).
Pada periode ini Mbah KH Ali Maksum juga dikenal sebagai pendakwah dan guru masyarakat di Yogyakarta, yang disebut Ahmad Athoillah (2019: 125) menghadiri dan diminta untuk berbagai pengajian, di antaranya pengajian selapanan (35 hari) untuk umum, pengajian Selasa Pahingan di Bantul yang dibantu KH Abdurrahman Pandak, dan KH Nawawi Jejeran dan beberapa kiai lainnya; banyak bersilaturahmi ke banyak ulama di Jawa tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, dan juga kepada alumni Krapyak dan Tremas; sering diundang mengisi acara haul para ulama di Yogyakarta; dan sejak Desember 1960, sudah aktif mengajar di IAIN Sunan Kalijaga sampai akhirnya memperoleh pangkat terakhir PNS sebagai Penata Muda Tk.I/IIIb; dan di kemudian hari juga terlibat dalam Tim Penafsir Al-Qur’an atau Dewan Penerjemah yang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1962 yang timnya diketuai oleh Prof Dr R HA Sunaryo SH yang ketika itu menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga. Kesibukan beliau itu masih ditambah dengan ketelatenan untuk menulis kitab berjudul Hujjah Ahli Sunnah Waljamaah.
Untuk kepentingan Jam’iyah NU dan Partai NU, Mbah KH Ali Maksum sering mengajak warga NU melaksanakan instruksi PBNU agar warga NU melaksanakan shalat hajat dijauhkan dari bala, dan giat melakukan pengorganisasi tarekat secara luas di wilayah pedesaan Yogyakarta, termasuk sering berkomunikasi dengan mursyid Tarekat Syathariyah, Mbah KH. Marzuki Ramli Girilaya, dan kiai-kiai lain. Ketokohan Mbah KH Ali Maksum di Yogyakarta, tetap kuat sampai Orde Baru berdiri dan diadakan pemilu 1971. Hal ini terbukti dengan perolehan suara Partai NU di wilayah ini menempati urutan kedua setelah Golkar. Bahkan ketokohan beliau semakin populer dan menguat sehingga pada tahun 1975 beliau dipilih sebagai Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DI Yogyakarta (1975-1981). Setelah pada masa ini, kiprah Mbah KH Ali Maksum melejit dan menjadi tokoh nasional sebagai Rais Aam PBNU.
Mbah Ali terpilih sebagai rais aam PBNU
Terpilihnya Mbah KH Ali Maksum sebagai rais aam PBNU (1981-1984) terjadi pada Munas Alim Ulama NU di Kaliurang tahun 1981, ketika NU menghadapi situasi krusial dan genting. Saat itu, Mbah KH Ali Maksum juga masih menjadi rais syuriyah PWNU DIY. Paling tidak, terdapat tiga hal yang melatari jagad sosial-politik ketika Mbah KH Ali Maksum terpilih sebagai Rais Aam PBNU saat itu.
Pertama, tujuh tahun sebelumnya, pada 5 Januari 1973 telah dideklarasikan partai baru bernama PPP, yang merupakan fusi dari berbagai partai-partai Islam, yaitu Partai NU, Perti, PSII, dan Parmusi. Pascafusi, terjadi penciutan terus menerus peran wakil-wakil NU di PPP, baik dicoret dari Daftar Calon Sementara (DCS) legislatif ataupun dalam kepengurusan PPP. Setelah itu terjadi banyak penilaian yang lebih dalam atas peran NU di tengah masyarakat, yang dilakukan Kiai-Kiai di daerah, Kiai-Kiai sepuh, dan tokoh-tokoh muda. Arah ini membawa dua perkembangan keluarnya NU dari PPP dan dirumuskannya formulasi Khittah NU. Fusi NU ke PPP dinilai sebagian aktivis PMII yang menjadi Banom NU, telah mengakhiri kekuataan NU, dan mulailah dirumuskannya gagasan independensi PMII.
Kedua, satu tahun sebelum terpilihnya Mbah KH Ali Maksum, Jam`iyah NU menyelenggarakan Muktamar tahun 1979 di Semarang. Pada muktamar ini, KH. Idham Kholid sebagai Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, terpilih kembali dengan mengalahkan KH Ahmad Syaichu, dan Rais Aam dipilih KH Bisri Syansuri yang sudah menjabat sejak tahun 1971. KH Idham Kholid dianggap tokoh yang menginginkan agar NU tetap memperkuat PPP, yang memiliki kedekatan dengan KH Anwar Musadad dan KH Ali Yafie. Meski KH Idham Kholid masih dapat terpilih kembali, tetapi pada muktamar di Semarang ini telah muncul suara-suara kritik agar NU tidak berpusat pada orbit politik praktis. Paling tidak, gagasan syuun ijtimaiyah (memperhatikan persoalan-persoalan kemasyarakatan) telah diperbincangkan di Muktamar ini, yang dimotori oleh alumni-alumni PMII, kaum muda NU di Yogyakarta dan anak muda NU dari Jakarta. KH Achmad Shidiq bahkan telah mendeklarasikan gagasan Khittah Nahdliyyah menjelang Muktamar NU di Semarang itu.
Ketiga, pemerintah Orde Baru sedang berusaha menghapus oposisi terhadap Pancasila dan kekuatan kritis pemerintah melalui pemantapan Pancasila sebagai asas setiap Ormas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan ormas-ormas Islam. Setiap Ormas harus menerima Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara, tetapi juga harus menjadikannya sebagai asas setiap ormas. Sebagian ormas, termasuk NU dapat menerima itu setelah melalui kerja keras di Munas Alim Ulama NU dan Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Setelah NU menerima asas Pancasila tahun 1984, pemerintah berani mengesahkan UU No 8 Tahun 1985 tentang Ormas yang mengunci seluruh perdebatan, tetapi sebagian organisasi Islam telah mengalami perpecahan terlebih dulu, dan di antaranya dialami HMI menjadi HMI MPO dan HMI Dipo.
Beberapa kejadian besar di atas kemudian diikuti dengan wafatnya Mbah KH Bisri Syansuri pada 25 April 1980. Dua kekuatan besar kemudian mewarnai dinamika NU, yakni muncul kelompok politisi NU dan sebagian kiai yang ingin tetap menginginkan NU di dalam PPP, dan kelompok kiai-kiai sepuh lain dan kaum muda NU yang ingin kembali ke Khittah NU, setelah wafatnya sang rais aam. Gagasan KH Achmad Shidiq yang telah mendeklarasikan Khittah Nahdliyyah menjelang Muktamar NU di Semarang tahun 1979, mulai merangsang kegelisahan yang sudah tumbuh di kalangan anak-anak muda NU dan kiai-kiai NU yang berorientasi pada syu`un ijtima`iyah. Mereka mulai mendiskusikan, membuat kemungkinan formulasi, dan arah NU agar kembali kepada Khittah NU tahun 1926. Patron penting di antara kiai sepuh untuk jalan ini adalah Mbah KH Ali Maksum, Mbah KH Achmad Shidiq, Mbah KH As’ad Syamsul Arifin, dan Mbah KH Mahrus Ali.
Pascawafatnya Mbah KH Bisri Syansuri, dinamika di kalangan Kiai-Kiai NU itu mewujud dalam pengosongan jabatan rais aam PBNU, meskipun saat itu ada Wakil Rais Aam yang dijabat oleh KH Anwar Musadad, yang dikenal dekat dengan KH Idham Kholid (ketua tanfidziyah PBNU). Pengosongan jabatan rais aam ini akhirnya memperoleh jalan keluar setelah disetujui dan diselenggarakannya Munas Alim Ulama NU, yang kemudian diselenggarakan di Kaliurang, Yogyakarta pada 30 Agustus 1981. Dalam Munas 1981 ini, sayap Syuun Ijtima`iyah, awalnya meminta kepada KH As'ad Syamsul Arifin untuk menduduki posisi rais aam, tetapi beliau tidak bersedia sehingga harus dicarikan tokoh lain yang ideal untuk mengomandani syuriyah NU.
Dalam salah satu sidang Munas Alim Ulama NU yang dipimpin KH Masykur (ulama NU dari Malang yang pernah menjadi anggota PPKI), sidang menyepakati untuk mengangkat Mbah KH Ali Maksum, dan usulan muncul dari Mbah KH Achmad Shidiq. Usulan itu kemudian disetujui oleh peserta Munas Alim Ulama di Kaliurang. Laporan Tempo (12 September 1981, dalam judul “Sopir dalam Krisis”), tentang Munas Alim Ulama ini menyebutkan bahwa KH Saiful Mujab (ketua tanfidziyah PWNU DIY) diutus oleh peserta Munas yang sudah menyetujui KH Ali Maksum untuk menjadi rais aam, untuk mendatangi sang kiai di Yogyakarta.
Menurut KH Saiful Mujab, saat itu dia berusaha meyakinkan kembali Mbah KH Ali Maksum dan berkata: “Kalau tidak segera ditentukan siapa pemimpinnya, keresahan akan timbul dan berkepanjangan. Bukan hanya melanda 10.000 ulama tetapi juga seluruh keluarga besar NU.” Upaya KH Saiful Mujab ini dilakukan, karena sejak awal Mbah KH Ali Maksum belum bersedia dicalonkan menjadi rais aam PBNU. Bahkan untuk meyakinkan kembali pentingnya Mbah KH Ali Maksum, Tempo melaporkan, terdapat delegasi sembilan orang dari Kaliurang ke Krapyak (dan di antaranya disebut nama KH Abdurrahman Wahid), Mbah KH Ali Maksum masih belum bersedia dan disebut “menolak keras”. Ketika akhirnya bersedia pergi ke Kaliurang bersama KH Saiful Mujab, Mbah KH Ali Maksum menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab, dan masih menyatakan belum bersedia, dengan menyebutkan: “Calon rais aam harus punya wawasan luas, berumur kurang 50 tahun, dan keturunan KH Hasyim Asy`ari.”
Dengan penyampaian khutbah itu, semakin menunjukkan kekuatan Mbah KH Ali Maksum, dan pilihan para perserta Munas tetap tertuju kepada sosok beliau. Sampai menjelang Subuh ketika pilihan peserta Munas tetap jatuh kepada Mbah KH Ali Maksum, kemudian beredar selebaran yang ditandatangani Mbah KH Ali Maksum, yang isinya masih belum bersedia, di antaranya berbunyi: Demi Allah saya merasa tidak mampu. Saya juga sakit jantung. Kalau dipaksakan mungkin menyebabkan umur saya tidak panjang.” Dalam wawancara dengan wartawan Tempo, juga disebutkan Mbah Ali saat itu, menjawab: “Saya juga bernadzar kalau tidak terpilih akan bersedekah R. 100.000. saya ini kan kenek, kok tiba-tiba jadi sopir.” Akan tetapi kemudian Mbah KH Ali Maksum menerima, dan menyebutkan kepada wartawan Tempo dari makna sebuah hadits: “Jabatan jangan kau kejar, tapi tanggung jawab jangan kau elakkan.”
Setelah terpilihnya Mbah KH Ali Maksum sebagai rais aam, jalan sayap syu`un ijtima`iyah yang menghendaki Khittah NU semakin kuat dan memperoleh dukungan. Mbah KH Ali Maksum, Mbah KH Achmad Shidiq, Mbah KH Machrus Ali, dan Mbah KH As’ad Syamsul Arifin, adalah patron dan pendukung penting tokoh-tokoh muda saat itu, yaitu KH Abdurrahman Wahid, Fahmi D Syaifudin, KH Mustofa Bisri, dan tokoh-tokoh lain untuk memuluskan jalan Khittah NU sebagai jam`iyah diniyah ijtima`iyah, bukan sebagai partai politik.
Menjelang Pemilu 1982, kepemimpinan KH Idham Kholid di Tanfidizyah PBNU tampaknya tidak menunjukkan perubahan dalam kaitannya dengan politik, dan dianggap dekat dengan Jaleani Naro yang menjadi Ketum PPP. Kiai-kiai sepuh NU dari sayap syu`un ijtimaiyah dan menghendaki Khittah NU sebagai jam`iyah diniyah ijtima`iyah dikomandani rais aam PBNU, terdiri dari Mbah KH Asad Syamsul Arifin, Mbah KH Mahrus Ali, dan Mbah KH Ali Maksum sendiri, mendatangi rumah KH Idham Kholid, dan mendapat jaminan darinya bahwa dirinya bersedia mundur.
Akan tetapi beberapa waktu kemudian di media muncul bantahan dari KH Idham Kholid bahwa ia tidak mengundurkan diri dari jabatan ketua tanfidiziyah PBNU. Meskipun sudah banyak Kiai sepuh NU tidak lagi mendukung KH Idham Kholid sebagai Ketua umum tanfidziyah, tetapi para kiai sepuh saat itu berusaha menahan diri untuk menggantinya sampai Muktamar NU berlangsung, yang akhirnya terjadi pada tahun 1984 di Situbondo. KH Idham Kholid dan kubunya melakukan perlawanan pada Januari 1983, dan mengesankan tidak mengakui hasil-hasil Munas Kaliurang tahun 1981, yang hal ini dilaporkan banyak media dan majalah pada sekitar 4-5 Januari 1983.
Perbedaan yang mengarah pada perpecahan ini, menjadi ujian besar bagi kepemimpinan Mbah KH Ali Maksum sebagai rais aam PBNU yang diangkat melalui Munas Ulama NU di Kaliurang, tetapi semua bisa terlewati atas berkat rahmat Allah. Pada saat itu Mbah KH. Achmad Shiddiq, Mbah KH Machrus Ali, dan Mbah KH Asad Syamsul Arifin memperkuat kepemimpinan Mbah KH Ali Maksum untuk memuluskan jalan NU kembali ke Khittah. Sementara operator di kalangan anak muda adalah beberapa orang penting yang telah disebut di muka, yaitu: KH Abdurrahman Wahid, Fahmi D Syaifudin, dan tokoh-tokoh yang lain. Sayap syu’un ijtima`iyah ini kemudian berhasil mengadakan Munas Alim Ulama NU di Situbondo yang melahirkan Deklarasi Situbondo tentang Hubungan NU dan Pancasila. Setelah Munas Situbondo dilanjutkan Muktamar NU di Situbondo tahun 1984 yang melahirkan formulasi Khittah NU, dan menyudahi posisi NU sebagai Partai Politik yang ada di PPP menjadi jamiyah diniyah ijtima`iyah.
Pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo itu Mbah KH Achmad Shiddiq gantian terpilih sebagai rais aam PBNU, dengan ketua umum tanfidziyah PBNU dipegang KH Abdurrahman Wahid, melalui mekanisme pemilihan Ahlul Halli Wa Aqdi dengan otoritas KH As'ad Syamsul Arifin, yang sangat dihormati. Mbah KH Ali Maksum setelah Muktamar Situbondo duduk sebagai mustasyar bersama sembilan Kiai dan tokoh penting, yaitu: KH R Asad Syamsul Arifin, KH Masykur, KH Ali Maksum, KH Saifudin Zuhri, KH Machrus Ali, KH Anwar Musadad, H Munasir, KH Idham Kholid, dan H Imron Rosyadi.
Ketokohan Mbah KH Ali Maksum semakin diakui dan diterima tokoh-tokoh NU sampai Muktamar NU diadakan di Pesantren Krapyak pada tahun 1989, meskipun beliau sendiri saat itu hanya ada di pembaringan karena menerima anugerah sakit. Menjelang muktamar tahun 1989 ini telah muncul beberapa kritik dari sayap politisi dan ancaman mufaraqah dari sebagian Kiai sepuh atas kiprah dan sosok KH. Abdurrahman yang mengomandani tanfidziyah PBNU. Selain itu, seperti dilaporkan Wawasan (27 November 1989), muncul suara-suara agar lembaga Mustasyar PBNU dihilangkan dan digabung dengan syuriyah, dan ada sebagian keinginan agar kantor PBNU dipindah ke Surabaya. Mbah KH. Ali Maksum dan Mbah KH. Achmad Shidiq dalam hal ini, menjadi salah satu Kiai sepuh yang tetap memberi penilaian yang baik kepada Gus Dur atas kritik-kritik yang ada saat itu.
Bahkan dalam wawancara dengan Jawa Pos (22 November 1989) dalam judul “Kiai Ali Mantap Kalau Gus Dur Terpilih Lagi”, menyebutkan “...banyak yang bertanya soal Abdurrahman Wahid, saya katakan bahwa saya memang sudah mantab kalau dia dipilih lagi. Kalau bikin aneh-aneh ya diingatkan...” Mbah KH. Achmad Shidiq juga membela Gus Dur menjelang Muktamar NU tahun 1989 itu, seperti dilaporkan Jawa Pos (16 November 1989) begini: “Tidak benar bahwa sebagai rais aam saya tidak pernah berhubungan dengan Gus Dur. Saya selalau kontak dengan dia baik melalaui telepon, surat, kurir, maupun bertemu langsung. Apa yang dilakukan Gus Dur saya ikut bertanggung jawab.”
Mbah KH Ali Maksum Wafat dan beberapa wasiatnya
Ketika diadakan Muktamar NU tahun 1989 di Pesantren Krapyak, Mbah KH. Ali Maksum sudah dalam keadaan sakit dan berada di pembaringan, sehingga presiden yang datang ke acara Muktamar ketika turun dari mobil dijemput oleh anak beliau yang bernama KH Attabik Ali. Kompas (24 November 1989) menyebutkan “tokoh ulama berpengaruh ini kondisinya cukup lemah sehingga lebih banyak berbaring di ranjang, dilengkapi tabung oksigen sebagai alat bantu pernafasan. Sedang bila ia ingin melihat-lihat situasi muktamar, ia duduk di atas kursi roda yang didorong beberapa santrinya.”
Sakit yang dialami Mbah KH Ali Maksum dialami sejak tahun 1986, setelah menyampaikan dakwah di Pesantren Leteh Rembang. Tidak beberapa lama setelah tausiyah selesai, muncul seorang yang bernama Dirman mendekat dan memukul Mbah KH Ali Maksum dengan linggis, dan sang pemukul dimaafkan oleh beliau, tetapi pengadilan mengganjarnya, menurut A Zuhdi Mukhdor (1980: 30) hukuman selama tiga bulan. Dari kejadian di Rembang ini, Mbah KH. Ali Maksum kemudia dibawa di RS Rembang dan kemudian di RS Sardjito Yogyakarta. Beberapa kali opname dilakukan di RS Sardjito, Mbah KH Ali Maksum juga didiagnosa sakit jantung, sehingga kondisinya melemah dengan didampingi tabung gas oksigen. Akan tetapi Mbah KH Ali Maksum terus berdakwah dan melakukan aktivitasya, termasuk ketika datang di Munas NU di Pesantren Ihya Ulumuddin, Cilacap tahun 1987 dan menyambut peserta Muktamar NU di Krapyak tahun 1989.
Tepat sehari setelah penutupan Muktamar NU ke-28 di Pesantren Krapyak pada Selasa (28 November 1989), kesehatan Mbah KH. Ali Maksum semakin menurun. Beliau dibawa ke RS Sardjito, sampai pada tanggal 6 Desember 1989 dilakukan oprasi tenggorokan, justru keadaan beliau semakin menurun drastis. Pada hari Kamis 7 Desember 1989 pada usia 74 tahun, setelah 8 hari dirawat di RS Sardjito, tepat setelah adzan maghrib berkumandang Mbah KH Ali Maksum wafat. Jenazah Mbah KH Ali Maksum setelah selesai dimandikan dan dikafani kemudian dibawa ke Masjid Krapyak untuk dishalatkan, yang dilakukan oleh banyak umat Islam dan santri secara bergelombang. Selepas shalat Jumat, jenazah dibawa ke halaman masjid Krapyak untuk dilakukan upacara pemakaman. Para tokoh-tokoh penting NU datang di acara pelapasan tokoh pelindung utama gerakan kembali ke Khittah NU ini. Pemakaman dilakukan di Makam Dongkelan, yang menjadi tempat pemakaman para masyayikh Krapyak, tepatnya di utara mertua beliau, Mbah KH Moenawwir.
Setelah wafat, petuah-petuah Mbah KH Ali Maksum dihidupkan kembali oleh para santri di Yogyakarta di antaranya: dimuat dalam manaqib yang ditulis M Masudi Fathurahman berjudul Romo Kiai Qodir: Pendiri Madrosatu Huffadh Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak (2011: 110), Mbah KH Ali berwasiat kepada seluruh keluarga Krapyak dan para santri ketika Romo Kiai Qodir akan wafat dan dibawa ke umah Sakit, begini “perlu kalian semua ketahui bahwa iman itu tidak terdapat di masjid dan juga tida terdapat di rumah sakit, tetapi iman itu ada di sini (Kiai Ai Maksum sambil memegang dadanya). Sekian banyak orang yang datang ke masjid, tetapi kenyatannya sekian banyak pula yang sesat d luaran sana. Oleh sebab itu (Kiai Ali Maksum kembali meyakinkan), mari kita bawa serta kita rawat Kiai Abdul Qodir ke rumah sakit sebagai sebuah ikhtiar kita selaku hamba Allah SWT dan bertawakkallah.”
Selain wasiat-wasiatnya terdapat dalam karya beliau yang berjudul Hujjah Ahlisunnah Waljma`ah, ada pula lima wasiatnya yang sangat monumental dan dihidupkan kembali oleh majalah Bangkit dan NU Online, begini: perlunya al-‘ilmu wat ta`allum bi Nahdlatil `Ulama; perlunya al-amalu bi Nahdlatil `Ulama; perlunya al-jihad bi Nahdlatil Ulama; perlunya ash-shabru bi Nahdlatil `Ulama; dan ats-tsiqah bi Nahdlatil `Ulama. Selain itu, Mbah KH Ali Maksum meninggalkan beberapa amaliah dzikir untuk para santri dan masyarakat, seperti Dzikir Asmaul Husna, nazham dan shalawat. Dalam kesempatan bincang-bincang dengan KH Hilmy Muhammad, salah satu cucunya, pada pertengahan tahun 2016 disebutkan bahwa salah satu shalawat yang sering dibaca Mbah KH Ali Maksum adalah shalawat thibbil qulub. Dan, menurut KH Hilmy Muhammad (dalam krapyak. org., 4 Agutsu 2011) pula bahwa Mbah KH. Ali Maksum sering melantunkan nazham `alaika bitaqwallah… yang disusun al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, yang oleh beliau sendiri, sebagian baitnya diubah dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Murid-muridnya yang pernah dididik di Pesantren Krapyak, selain ada kiai-kiai Krapyak dan kiai-kiai di Yogyakarta, juga ada nama-nama tokoh penting, seperti KH Abdurrahman Wahid, KH Said Aqil Siroj, KH Mustofa Bisri, KH Masdar Farid Masudi, dan masih banyak lagi yang lain.
Nur Khalik Ridwan, Alumni Pesantren Darunnajah Tanjungsari Banyuwangi dan PP Inayatullah Yogyakarta