Jakarta, NU Online
Kementerian Agama (Kemenag) RI meluncurkan sebuah terobosan paradigma pendidikan di Asrama Haji Sudiang, Makassar, pada 24 Juli 2025 lalu.
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), atau yang akrab disebut Kurikulum Cinta, telah resmi diluncurkan Kemenag dengan visi ambisius dalam rangka menanamkan nilai-nilai cinta sebagai inti dari seluruh proses belajar-mengajar, khususnya di lingkungan pendidikan keagamaan.
Peluncuran kurikulum ini bukan sekadar penambahan materi ajar, melainkan sebuah gerakan perubahan fundamental yang berangkat dari kegelisahan mendalam terhadap fenomena intoleransi, perundungan, dan degradasi moral yang masih ditemui dalam dunia pendidikan. Kurikulum Cinta hadir untuk menjawab tantangan zaman dengan merajut kembali relasi antara teologi, logos, dan etos dalam praktik beragama.
Dari teologi ke etos
Menteri Agama RI Prof Nasaruddin Umar secara filosofis memaparkan landasan teologis dari Kurikulum Cinta. Menurutnya, setiap agama selalu memiliki tiga dimensi yang tak terpisahkan.
"Begini, dalam setiap agama itu selalu ada tiga dimensi. Ada dimensi teologi yang paling basic, ya dasarnya, akarnya. Kemudian ada logosnya, artikulasi penjelasan daripada teologi itu namanya logos. Nah, implementasi logos itu tadi itu menjelma jadi sebuah perilaku, itu disebut dengan etos," ujar Menag Nasaruddin di Kantor Kemenag RI, Jakarta Pusat, dalam sebuah konferensi pers pada Selasa (21/10/2025).
Menag Nasaruddin mengkritisi praktik pendidikan yang seringkali hanya berfokus pada menciptakan etos atau perilaku, tanpa meninjau ulang logos (penalaran) dan teologi (akar keyakinan) yang mendasarinya. Pendekatan seperti ini, menurutnya, membuat proses pengembangan karakter melalui pembelajaran tidak akan bertahan lama dan bersifat jangka pendek.
"Nah sekarang ini kita mencoba sinergikan. Jangan hanya bekerja menciptakan suatu, ini lagi sektor etos tapi nggak meninjau dari segi logosnya dan teologinya. Itu nanti nggak tahan lama dan itu pun juga jangka pendek,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa kalau ingin menciptakan sebuah perubahan fundamental, maka harus simetris.
"Satu dari ketiganya, logosnya, juga kita tinjau. Bahkan sistem teologinya pun juga kita lakukan penyesuaian," kata Menag Nasaruddin.
Ia kembali menegaskan bahwa peninjauan ulang sistem keagamaan ini perlu dilakukan agar lebih relevan dengan konteks kekinian, tanpa harus meninggalkan esensi dan substansi ajaran agama masing-masing.
Lantas, bagaimana letak posisi cinta dalam kerangka tiga dimensi ini? Menag Nasaruddin menjelaskan bahwa Kurikulum Cinta adalah upaya mengkurikulumkan cinta yang seringkali abstrak menjadi sesuatu yang terukur dan terimplementasi.
"Masalah kurikulum cintanya, setiap orang berbicara tentang cinta tapi bagaimana mengimplementasikannya? Nggak ada ukurannya kan? Maka kita kurikulumkan yang namanya cinta itu," ujarnya.
Tujuan utama yang ingin dicegah melalui implementasi Kurikulum Cinta adalah kebencian, khususnya kebencian antarumat beragama.
"Kita tidak ingin guru-guru agama itu justru tidak sadar atau sadar, mengerjakan kebencian terhadap agama lain. Inti dari semua agama itu adalah cinta. Jadi, kalau ada guru agama mengajarkan kebencian satu sama lain maka pada hakikatnya tidak mengajarkan agama itu sendiri,” terangnya.
Ukuran keberhasilannya, lanjut Menag Nasaruddin, dapat dilihat dari buku ajar yang mengimplementasikan nilai-nilai cinta. Kementerian Agama telah menciptakan sebuah konsep konkret yang akan disebarkan ke seluruh lembaga pendidikan.
Visi jangka panjang dari Kurikulum Cinta adalah untuk menciptakan generasi yang memandang perbedaan sebagai sebuah kenikmatan, bukan ancaman.
"Kita nanti akan panen begitu melihat perbedaan itu tidak langsung menciptakan semacam kelainan di situ tapi kita akan merasakan perbedaan itu suatu kenikmatan,” ujar Menag Nasaruddin.
Ia memaparkan bahwa Kurikulum Cinta mencoba membawa narasi kepada masyarakat umum, khususnya dalam ranah pendidikan, bahwa perbedaan itu adalah sebuah nikmat yang tidak perlu diratapi dan bahkan menjadi sesuatu yang patut dirayakan.
KBC dalam ekosistem strategis Kemenag
Kepala Badan Moderasi Beragama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BMBPSDM) Prof Muhammad Ali Ramdhani menempatkan Kurikulum Cinta dalam peta besar program prioritas Kementerian Agama yang disebut Asta Protas (Delapan Butir Prioritas).
"Secara prinsip bahwa arah dan orientasi Kementerian Agama saat ini menuju sebuah kesepakatan bersama untuk membangun sebuah kemaslahatan. Di mana butir pertama itu adalah mewujudkan kerukunan dan cinta kemanusiaan," jelas sosok yang kerap disapa Prof Dhani ini.
Menurutnya, moderasi beragama dan Kurikulum Cinta adalah dua program yang saling mengisi dengan irisan yang kuat.
"Akan tetapi kalau kurikulum berbasis cinta itu lebih diarahkan kepada ruang-ruang pendidikan, sementara moderasi beragama pada ruang kemasyarakatan," katanya.
Ia menegaskan bahwa meskipun moderasi beragama juga diajarkan di level pendidikan formal, tetapi Kurikulum Cinta-lah yang secara khusus dirancang untuk lembaga pendidikan.
Lebih dari itu, Prof Dhani memperkenalkan sebuah trilogi program strategis Kemenag yang saling berkaitan yakni Moderasi Beragama, Kurikulum Berbasis Cinta, dan Penguatan Ekoteologi.
"Ekoteologi juga pada dasarnya adalah untuk membangun harmoni antara manusia dengan alam karena kita sadar betul bahwa dunia ini, semesta ini adalah satu-satunya tempat kita menitipkan hidup," paparnya.
Trilogi ini, dalam pandangannya, adalah sebuah paket komprehensif untuk membangun peradaban.
"Sebab, apa artinya cinta kalau tempat pijakan cinta itu tidak ada antarmanusia? Maka dia komprehensif," jelas Prof Dhani.
Tantangan implementasi
Menyadari besarnya tantangan implementasi, Prof Dhani dengan gamblang memaparkan kerangka kerja yang disebut behavioral from three ages (perilaku dari tiga usia). Kerangka ini dirancang untuk memastikan program tidak mengambang di level wacana.
"Yang pertama yaitu behavior from head (perilaku dari kepala), kita berpikir. Behavior from heart (perilaku dari hati), dan behavior from hand (perilaku dari tangan). Jadi, bagaimana pola pikirnya bagus, menghayatinya bagus, dan kemudian melaksanakannya dengan baik," urainya.
Ia menekankan bahwa program Kurikulum Cinta, ekoteologi, dan moderasi beragama tidak boleh berhenti pada ruang pemikiran atau penghayatan.
"Dia harus mewujud pada ruang aktualisasi diri," jelas Prof Dhani.
Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang selalu berubah, Prof Dhani mengungkapkan arahan langsung dari Menteri Agama, dan tidak perlu menunggu sempurna.
"Launching dulu saja, toh nanti juga akan menerima feedback dari masyarakat untuk kemudian disempurnakan. Kalau segala sesuatunya ditunggu sempurna dulu, kita tidak akan pernah bergerak," kata Prof Dhani.
Oleh karena itu, Kemenag membuka tangan lebar-lebar bagi masyarakat, praktisi pendidikan, dan semua pihak yang memiliki kepedulian untuk memberikan kontribusi pemikiran, termasuk pada metodologi belajar dan mitigasi tantangan. Pendekatan kolaboratif ini diharapkan dapat menyempurnakan dan memastikan keberlangsungan Kurikulum Cinta di lapangan.
Indikator keberhasilan Kurikulum Cinta
Kurikulum Cinta yang abstrak ini dapat secara sistematis diukur keberhasilannya melalui beberapa indikator. Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Ditjen Pendis Kemenag RI, Prof Nyayu Khodijah memaparkan tiga indikator utama yang sangat konkret.
Pertama, Madrasah Ramah Lingkungan. Ia menjelaskan bahwa lingkungan belajar yang lestari, bersih, dan rapi adalah cermin keimanan.
Madrasah harus menjadi ruang untuk menghargai ciptaan Allah melalui praktik nyata seperti mengelola sampah, menanam pohon, dan budaya hemat energi.
"Anak-anak diajarkan bahwa mencintai lingkungan bukan sekadar tugas tetapi bagian dari ibadah dan rasa syukur," kata Prof Nyayu.
Kedua, Madrasah Ramah Anak. Ia menegaskan bahwa madrasah harus menjadi rumah kedua yang aman dan penuh kasih. Tidak boleh ada tempat bagi kekerasan, perundungan, atau diskriminasi.
Prof Nyayu juga menekankan pentingnya membangun ruang belajar yang inklusif dan toleran, di mana setiap anak merasa diterima, dihargai, dan memiliki hak yang sama untuk tumbuh.
"Empati, saling menghormati, dan relasi sehat dalam keberagaman adalah nilai yang harus ditanamkan," jelasnya.
Ketiga, Peserta Didik Sejahtera Secara Mental dan Spiritual. Kurikulum Cinta tidak hanya mengejar kecerdasan akademik.
"Anak-anak madrasah tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga sehat jiwanya dan matang spiritualnya," ujar Prof Nyayu.
Pendekatan social-emotional learning akan membantu peserta didik mengelola emosi, membangun ketangguhan, dan menjadi pribadi yang siap menghadapi tantangan zaman. Layanan konseling dan ruang aman bagi siswa juga menjadi bagian tak terpisahkan.
Menurut Prof Nyayu, ketika ketiga indikator ini berjalan, maka madrasah akan benar-benar menjadi tempat yang menyemai cinta, membangun peradaban, dan menumbuhkan generasi tangguh menuju Indonesia Emas 2045.
"Karena cinta bukan hanya diajarkan, tetapi juga dihadirkan melalui sikap, ruang, dan keteladanan,” pungkasnya.
Gagasan orisinal Menteri Agama
Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kemenag RI Prof Amien Suyitno mengungkapkan bahwa Kurikulum Cinta adalah buah pemikiran orisinal Menteri Agama Prof Nasaruddin Umar yang lahir dari kegelisahan mendalam.
"Ini adalah ide originalnya Pak Menteri. Beliau sangat gelisah dengan dunia pendidikan yang selama ini dipandang masih terjadi anomali. Misalnya, anak-anak belajar agama tetapi masih ada praktik bullying. Anak belajar agama tetapi masih blaming (menyalahkan orang lain), belum bisa menjadikan agama lahir sebagai perekat, tetapi justru sering kali menimbulkan masalah," papar Prof Suyitno.
Kurikulum Cinta, menurutnya, hadir sebagai solusi agar belajar agama dan karakter melahirkan insan yang mencintai Tuhannya (hablum minallah), mencintai sesama manusia (hablum minannas), dan yang tak kalah penting, mencintai alam (hablum minal 'alam).
"Mengapa? Karena problem climate change ini tentu membutuhkan partisipasi aktif anak-anak madrasah yang keren ini agar mereka aware, teredukasi, pentingnya menjaga alam. Itu semua terumuskan dalam Kurikulum Berbasis Cinta," jelasnya.
Cinta sebagai dasar meneladani sifat Tuhan
Pemilihan kata cinta (mahabbah) bukanlah tanpa alasan. Prof Suyitno, secara filosofis, memaparkan bahwa alasan penciptaan manusia oleh Tuhan adalah karena cinta semata.
"Mahabbah (cinta) adalah sesuatu yang sifatnya ruh, lahirnya kita semua. Lahirnya manusia, lahirnya alam ini, karena diciptakan Tuhan dengan konsep cinta," kata Prof Suyitno.
Ia mengajak semua pihak untuk merenungkan sifat Tuhan, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yang kasih sayang-Nya tidak pilih kasih.
"Tuhan ketika menyebut ar-rahman ar-rahim itu tidak pilih kasih, mau yang maksiat, mau yang taat itu dikasih rezeki. Betapa mahahebatnya Tuhan,” katanya.
Dari sinilah, Kurikulum Cinta sebenarnya ingin mengajak seluruh insan pendidikan untuk meneladani sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang itu.
"Mengapa cinta? Supaya cinta itu kemudian bisa memberikan semacam ilustrasi kita semua manusia itu harus mencontoh sifatnya Tuhan yang tidak pilih kasih terhadap siapa pun," ujar Prof Suyitno.
Terkait implementasi, Prof Suyitno menegaskan bahwa pendekatan Kurikulum Cinta akan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Pendekatan untuk anak TK tentu akan sangat berbeda dengan pendekatan untuk siswa SMA atau mahasiswa perguruan tinggi, menyesuaikan dengan perkembangan psikologis dan kemampuan kognitif masing-masing.
Harapan di ufuk pendidikan Indonesia
Kurikulum Cinta adalah sebuah terobosan berani, yang tidak hanya menyentuh permukaan masalah, tetapi berusaha menggali hingga ke akar teologis dan filosofis dari krisis karakter dan intoleransi. Dengan menjadikan cinta yang inklusif, meneladani sifat Ilahi, dan terwujud dalam tindakan nyata sebagai kurikulum inti, Kemenag berusaha melakukan rekayasa sosial dan kultural jangka panjang.
Keberhasilannya tentu tidak akan diukur dalam satu atau dua tahun ke depan. Butuh konsistensi, keteladanan dari setiap guru, komitmen seluruh pemangku kepentingan, dan evaluasi berkelanjutan. Tantangannya pun sangat kompleks, mulai dari menyiapkan guru yang mampu menjadi penyampai cinta, menyemai benihnya, hingga mengubah pola pikir yang sudah bertahun-tahun terbentuk.
Namun, seperti yang telah disampaikan Prof Dhani, langkah pertama harus diambil. Kurikulum Cinta telah diluncurkan sebagai sebuah benih harapan yang ditanam di tanah pendidikan Indonesia.
Benih yang diharap akan tumbuh menjadi pohon yang rindang, yang akarnya menghunjam kuat pada kemanusiaan dan kasih sayang, dan dahannya membentang merangkul segala perbedaan seiring waktu yang akan membuktikannya. Akan tetapi, niat untuk memulai perubahan fundamental menuju pendidikan yang memanusiakan dan merangkul, patut diapresiasi dan didukung oleh semua pihak.
