Hilal telah menjadi simbol yang sangat penting bagi umat Islam. Hilal adalah bulan sabit muda sebagai penanda awal bulan dalam kalender Islam. Hilal sangat berkaitan dengan ibadah umat Islam. Mereka selalu menanti hasil penetapan hilal terutama pada bulan-bulan tertentu seperti Ramadhan dan Syawal.
Di Indonesia, perbedaan pendapat tentang hilal bukanlah hal baru. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, kerap kali memiliki pandangan yang berbeda dalam menentukan awal bulan Hijriah, terutama pada bulan Ramadhan dan Syawal.
Metode yang Digunakan oleh NU dan Muhammadiyah
Lantas, mengapa perbedaan ini terjadi? Apa yang mendasari perbedaan kriteria hilal antara NU dan Muhammadiyah?
Perbedaan kriteria hilal antara NU dan Muhammadiyah disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan. NU menggunakan metode rukyatul hilal (pengamatan langsung) dengan menggunakan Hisab Hakiki Imkan Rukyat sebagai pembantu, sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal.
NU dan Rukyatul Hilal: Pengamatan Langsung
Rukyatul hilal dilakukan dengan mengamati penampakan hilal yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtima', yaitu kondisi saat matahari dan bulan dalam satu bujur yang sama. NU konsisten menggunakan metode ini, meskipun juga tidak mengabaikan hisab sebagai alat bantu.
Jadi, NU tidak anti terhadap hisab (metode penentuan awal bulan Hijriah dengan penghitungan) yang umumnya dijadikan patokan oleh Muhammadiyah. Namun metode hisab bagi NU merupakan pendukung, bukan alat penentu keputusan final dalam menentukan awal bulan Hijriah.
NU dalam menggunakan metode Hisab Hakiki Imkan Rukyat sebagai alat bantu, menetapkan ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat (3-6.4). Hal ini sesuai dengan kriteria terbaru yang ditetapkan oleh Majelis Ulama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
Metode penentuan awal bulan Hijriah, baik untuk menandai permulaan bulan Ramadhan, Syawal, atau bulan lainnya, harus didasarkan pada penglihatan bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fa'li). Hilal diamati pada hari ke-29 malam ke-30. Jika hilal terlihat, maka itu menandakan awal bulan baru. Sebaliknya, jika hilal tidak terlihat, maka malam itu masuk tanggal 30.
Kriteria Imkan Rukyah Nahdlatul Ulama (IRNU) dinyatakan mempunyai parameter tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi hilal haqiqi minimal 6,4 derajat. Hal ini ditegaskan melalui surat keputusan nomor 001/SK/LF–PBNU/III/2022, tentang kriteria IRNU yang merupakan turunan dari butir pertama keputusan Muktamar Ke-34 NU tahun 2021, terkait posisi ilmu falak dalam penentuan waktu ibadah.
Salah satu referensi yang digunakan dalam keputusan tersebut adalah penjelasan Taqiyuddin As-Subki bahwa yang bisa dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan Hijriah (itsbat) hanya dua hal. Yakni rukyah hilal dan istikmal. Sehingga perhitungan matematis saja, belum bisa menjadi dasar bagi penetapan tersebut.
فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ وَهَذَا هُوَ الْأَصَحُّ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ وَمَنْ قَالَ بِالْجَوَازِ اعْتَقَدَ بِأَنَّ الْمَقْصُودَ وُجُودُ الْهِلَالِ وَإِمْكَانُ رُؤْيَتِهِ كَمَا فِي أَوْقَاتِ الصَّلَاةِ إذَا دَلَّ الْحِسَابُ عَلَيْهَا فِي يَوْمِ الْغَيْمِ وَهَذَا الْقَوْلُ قَالَهُ كِبَارٌ وَلَكِنَّ الصَّحِيحَ الْأَوَّلُ لِمَفْهُومِ الْحَدِيثِ وَلَيْسَ ذَلِكَ رَدًّا لِلْحِسَابِ فَإِنَّ الْحِسَابَ إِنَّمَا يَقْتَضِي الْإِمْكَانَ وَمُجَرَّدُ الْإِمْكَانِ لَا يَجِبُ أَنْ يُرَتِّبَ عَلَيْهِ الْحُكْمُ وَتَرْتِيبُ الْحُكْمِ لِلشَّارِعِ وَقَدْ رَتَّبَهُ عَلَى الرُّؤْيَةِ وَلَمْ تَخْرُجْ عَنْهُ إِلَّا إذَا كَمُلَتْ الْعِدَّةُ
Artinya, “'Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari.' Ini adalah pendapat yang paling benar (Al-Ashah) menurut para ulama. Adapun orang yang berpendapat bolehnya (menggunakan hisab), mereka meyakini bahwa yang dimaksud adalah keberadaan hilal dan kemungkinan terlihatnya, sebagaimana dalam waktu-waktu shalat ketika perhitungan (hisab) menunjukkan waktunya pada saat mendung.”
“Pendapat ini diutarakan oleh para ulama besar, tetapi pendapat yang benar (sahih) adalah yang pertama, berdasarkan pemahaman hadis. Hal ini bukan berarti penolakan terhadap hisab, karena hisab hanya menunjukkan kemungkinan, dan sekadar kemungkinan tidaklah harus dijadikan dasar hukum. Penetapan hukum adalah wewenang syariat, dan syariat telah menetapkannya berdasarkan rukyat, dan tidak keluar dari rukyat kecuali jika hitungan (bulan) telah sempurna." (Fatawis Subki, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2015] juz I, halaman 226).
Muhammadiyah dan Hisab Hakiki Wujudul Hilal
Sedangkan Muhammadiyah tidak melakukan ru’yatul hilal atau pengamatan hilal secara langsung. Mereka menetapkan awal bulan hijriah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal, dengan keberadaan hilal di atas ufuk saat terbenam matahari pada hari ke-29, meskipun hanya 0,1 derajat.
Metode hisab atau Hisab Hakiki Wujudul Hilal merupakan perhitungan posisi matahari dan bulan secara ilmu falak untuk menentukan wujudnya hilal sebagai penanda bulan baru Hijriah. Bulan baru terjadi jika ketinggian hilal sudah di atas nol derajat dan terjadi ijtima' sebelum matahari terbenam.
Bagi Muhammadiyah, hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab hakiki kriteria imkanur rukyat. Jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk pada saat terbenam matahari, seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0.1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru.
Metode ini menekankan bahwa hilal dapat ditemukan meskipun tidak dapat dilihat dengan mata telanjang selama memenuhi tiga syarat. Apabila ada satu syarat yang tidak terpenuhi, maka waktu tersebut belum masuk bulan baru.
Dilansir dari laman resmi Muhammadiyah:
"Hisab Hakiki adalah metode penentuan awal bulan Hijriah yang dilakukan dengan menghitung gerak faktual (sesungguhnya) Bulan di langit, sehingga awal dan akhir bulan Hijriah mengacu pada perjalanan Bulan benda langit tersebut."
Berdasarkan kriteria Hisab Hakiki Wujudul Hilal, bulan Hijriah baru dimulai apabila saat matahari terbenam pada hari ke-29 dari bulan Hijriah yang berjalan, telah terpenuhi tiga syarat berikut, yaitu:
- telah terjadi ijtima' (konjungsi),
- ijtima' terjadi sebelum matahari terbenam, dan
- pada saat matahari terbenam, bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.
Apabila salah satu kriteria tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa. (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Pedoman Hisab Muhammadiyah, [Yogyakarta, Majelis Tarjih, 2009]).
Perbedaan Pemahaman Hadits tentang Hilal
Perbedaan metode dalam penetapan awal bulan Hijriah bermula dari perbedaan dalam memahami hadits perihal tersebut. Rasulullah saw bersabda:
صُوْمُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Artinya, “Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya. Bila penglihatan kalian tertutup mendung, maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari.” (HR Al-Baihaqi).
Dari hadits tersebut, NU memahami kalimat li ru’yatihi dengan maksud melihat hilal secara langsung dengan mata kepala dengan dukungan metode Hisab Hakiki Imkan Rukyat, sedangkan Muhammadiyah memahaminya dengan maksud melihat hilal cukup dengan perhitungan atau hisab.
Kelemahan Metode Hisab dalam Penentuan Awal Ramadhan
Dalam hal penetapan awal bulan Hijriah yang berkaitan dengan ibadah, NU selalu konsisten menggunakan rukyatul hilal atau pemantauan hilal secara langsung. Hal ini merupakan keputusan Muktamar NU sejak era tahun 1950-an hingga Muktamar NU 2021 di Lampung.
Bagi NU secara syar'i, rukyatul hilal merupakan metode yang tepat dalam menentukan awal bulan Hijriah. Karena bahasa Rasulullah saw dalam hadits menggunakan kata ru’yah, yang berarti melihat hilal dengan mata kepala, bukan ra’yun, yang bisa diterjemahkan lebih longgar dengan ilmu, pikiran, maupun dengan hitungan.
Sayyid 'Abdurrahman menjelaskan, bulan Hijriah, termasuk Ramadhan dan Syawal, hanya bisa ditetapkan dengan melihat hilal atau menggenapi bilangan bulan menjadi 30 hari.
لاَ يَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ إِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ إِكْمَالِ الْعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَ فَارِقٍ
Artinya, “Bulan Ramadhan, sama seperti bulan lainnya, tidak tetap kecuali dengan melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi tiga puluh hari.” (Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2016] halaman 135).
Sementara Abu Ishaq Al-Qarafi menjelaskan, ulama salaf telah sepakat (ijma’) bahwa hisab tidak dapat digunakan dalam menetapkan awal bulan:
قَالَ سَنَدُ: لَوْ كَانَ اْلإِمَامُ يَرَى الْحِسَابَ فِي الْهِلاَلِ فَأَثْبَتَ بِهِ لَمْ يُتَّبَعْ لإِجْمَاعِ السَّلَفِ عَلَى خِلاَفِهِ
Artinya, “Qadhi Sanad bin 'Inan Al-Mishri (mazhab Maliki) berkata: ‘Bila penguasa pemerintahan mengikuti pendapat yang menggunakan hisab dalam hilal, kemudian ia menetapkan bulan berdasarkan hisab tersebut, maka ia tidak boleh diikuti, karena ijma’ ulama salaf bertentangan dengannya.” (Ad-Dzakhirah fi Furu’il Malikiyah, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 2016], juz II, halaman 315).
Kedua metode itu sebenarnya merupakan bagian dari perbedaan pendapat para ulama. Syihabuddin Ar-Ramli menjelaskan ada tiga kondisi hilal dari hasil hisab yang dapat diamalkan:
- Hilal dipastikan wujud namun tidak mungkin dilihat.
- Hilal dipastikan wujud serta pasti dapat dilihat.
- Hilal dipastikan wujud dan ada kemungkinan bisa dilihat.
Menurut Ar-Ramli, dalam tiga kondisi ini ahli hisab dapat mengamalkan hasil hisabnya. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 2019], juz III, halaman 409).
Dalam kajian berikutnya, beberapa ulama tidak menerima poin pertama dan ketiga, sehingga mayoritas ulama menyatakan hanya dapat mengamalkan hasil hisab jika kondisi hilal pasti wujud dan dipastikan mudah terlihat.
Berdasarkan kajian di atas, maka penggunaan hisab sebagai alat tunggal dalam menentukan bulan Hijriah seperti yang dianut Muhammadiyah adalah tidak tepat, karena beberapa alasan:
- Dalam menentukan bulan Hijriah, Muhammadiyah mengabaikan hadits rukyah dengan takwil yang kurang tepat.
- Menurut pendapat mu’tamad (kuat), penetapan awal bulan Hijriah hanya mengacu pada rukyatul hilal bukan hisab, sebagaimana instruksi Rasulullah saw pada hadits rukyat dari riwayat Al-Baihaqi di atas.
- Pendapat yang mengusung teori hisab sebagaimana yang dipelopori pembesar tabi’in Mutharrif bin Abdullah bin Syikhr Al Kharasyi Al Bashry, Ibnu Suraij, dan Ibnu Qutaibah, tidak serta-merta memutlakkan wujudul hilal sebagai penentu awal bulan.
Di antara dasar yang digunakan mentakwil hadits rukyah adalah:
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ
Artinya, “Apabila kalian terhalang (terhalang melihat hilal), maka kira-kirakanlah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Menurut mereka, arti hadits tersebut adalah “Apabila kalian terhalang (terhalang melihat hilal), maka kira-kirakanlah (dengan hitungan teori hisab).”
Dalam redaksi hadits tersebut, kata 'terhalang' membuktikan bahwa hilal telah mencapai derajat imkanur rukyat, sehingga bukan hanya sekadar wujudul hilal tanpa mensyaratkan imkanur rukyat.
Jadi, menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal dalam menentukan awal bulan Hijriah merupakan kesimpulan yang tidak cocok bagi salah seorang pun dari kalangan ulama salaf, bahkan dari tokoh penganut teori hisab itu sendiri.
- Rasulullah tidak menggunakan metode hisab meski saat itu sudah ada beberapa sahabat yang mempelajari ilmu hisab. Rasulullah tidak menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan-bulan Qamariyah. Jika terjadi bulan baru tak dapat dilihat karena alasan tertentu, seperti terhalang mendung, maka Rasulullah melakukan istikmal, yakni menggenapkan bulan menjadi 30 hari.
Dalam satu hadits disebutkan:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاَثِينَ
Artinya, “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi yang tidak menulis dan tidak berhitung. Bulan itu bilangannya begini, begini (dengan isyarat tangan, yakni sekali waktu 29 hari dan sekali waktu 30 hari.” (HR Al- Bukhari)
Menyikapi Perbedaan
Walhasil, NU dan Muhammadiyah berbeda dalam metode yang digunakan. NU menggunakan metode Hisab Hakiki Imkan Rukyat, dengan ketinggian hilal 3 derajat dan sudut elongasi 6,4 derajat (3-6.4) berdasarkan kriteria terbaru dari MABIMS. Sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal, dengan keberadaan hilal di atas ufuk saat terbenam matahari pada hari ke-29, meskipun hanya 0,1 derajat.
Perbedaan cara pandang dari dua organisasi Islam ini dapat menimbulkan klaim benar-salah yang tidak ilmiah di tengah masyarakat. Untuk itu, masing-masing pihak harus menyadari posisinya, dan saling menghormati keputusan masing-masing. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar