Memahami Sistem Pendidikan Pesantren Salaf

Sistem pendidikan di pesantren berkembang mengikuti perkembangan zaman, dari semula bandongan dan sorogan, kemudian menerapkan sistem kelas.

Sebuah sumber mengungkapkan, jumlah pesantren tahun 1885 di Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Lombok, tidak kurang dari 15.000 dengan jumlah 230.000 santri. Pada masa-masa itu, para ulama pesantren menyampaikan pelajaran aqidah, tauhid, tasawuf, akhlak, fiqih, tafsir, dengan cara—istilah Jawa—‘bandongan’, yaitu guru membaca dan menerangkan sebuah teks, sementara santri mendengarkan dan mencatat. Selain bandongan, di Jawa ada sistem yang disebut ‘sorogan’, yaitu pembelajaran yang dilakukan secara personal satu per satu, antara santri seorang dan kiainya.

 
Awal abad 20 atau sekitar tahun 1900-1920, sistem pendidikan pesantren mengalami perkembangan dengan adanya sistem kelas. Beberapa tahun setelah berdiri pada 1899, Pesantren Tebuireng yang didirikan Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari membentuk madrasah atau disebut juga ‘klasikal’ sistem kelas. Sederhananya, sistem ini mulai ada tingkatan kelas atau jenjang, ada guru khusus, ada evaluasi, dan seterusnya. Bahkan, santri di kelas difasilitasi meja dan bangku menjadi penanda adanya pembaruan sistem. Namun, sistem itu tidak mengubah sistem lama yang disebut di atas, bandongan dan sorogan masih berjalan, karena memiliki fungsi dan tujuan berbeda. 
 

Kemunculan sistem ini menuai pro kontra di kalangan pesantren. Pasalnya, sistem ini serupa dengan sekolah yang dibuat Belanda. Sebagaimana diketahui, tasyabbuh atau penyerupaan dengan kaum penjajah merupakan hal yang terlarang bagi sebagian kalangan Muslim Nusantara. Sampai-sampai ada fatwa keharaman menggunakan pantalon, jas, dan dasi dengan dalih yang sama.


Namun, alih-alih haram karena serupa, penerapan sistem madrasah ini justru merupakan satu bentuk perlawanan kalangan santri terhadap kolonialisme. Sebagaimana diketahui, pada mula abad 20 atau tepatnya pada tahun 1901, Belanda menerapkan politik etis. Mereka berupaya membalas budi kepada pribumi dengan memberikan pendidikan gratis. Tidak malah bahagia dengan adanya kebijakan itu, para kiai justru cemas dan khawatir mengingat bangsa Indonesia yang dididik di sekolah itu sangat mungkin disusupi pemikirannya dan ideologi nasionalismenya.


Oleh karena itu, pesantren membuka madrasah dengan sistem kelas yang membutuhkan ruang dan guru khusus untuk masing-masing tingkatan. Hal tersebut sebagai upaya pesantren dalam memberikan alternatif bagi masyarakat yang hendak mengikuti pendidikan serupa dengan sekolah yang diberikan Belanda. Sebab, pesantren tidak hanya mengajarkan pengetahuan teoritik, tetapi juga mendidik secara praktik, melakukan pengkaderan kepada masyarakat sebagai penggerak kemerdekaan bagi bangsa dan negara Indonesia.


Karenanya, ketika kita membaca sejarah, sejumlah pesantren menamai madrasahnya dengan unsur wathan atau tanah air pada permulaan abad 20. Belum ditemukan apakah penamaan ini memang konsensus di antara para kiai atau hanya karena sedang tren di masa itu. Namun paling utama, unsur nama itu setidaknya merupakan wujud kecintaan kiai dan sivitas pesantren terhadap tanah air. Sekadar contoh, muncul nama Nahdlatul Wathan Surabaya, Madrasah Misbahul Wathan Malang, Madrasah Akhul Wathan Gresik, Madrasah Abnaul Wathan Buntet Cirebon. Ada pula nama-nama lainnya, seperti Madrasah Mathlaul Anwar dan Madrasah Nidzamiyah Tebuireng.

 
Perubahan pesantren tidak berhenti sampai di sana. Pada awal abad 20 juga, pesantren mulai menerima santri putri; Pesantren Denanyar Jombang tahun 1917 oleh KH Bisri Syansuri-Ny. Hj. Nur Khodijah Chasbullah, Pesantren Seblak Jombang tahun 1921 oleh KH. Ma'shum Ali-Ny. Hj. Khoiriyah Hasyim, Pesantren Singosari Malang tahun 1921 oleh KH Nachrowi Thohir-Ny. Hj. Ruqoyyah, dll. 
 

Dampak

Penerapan sistem kelas berdampak luas. Bukan saja pada upaya pemenuhan fasilitas yang perlu disesuaikan dengan meja, papan tulis, dan perangkat lainnya, tetapi juga ada perubahan ijazah. Jika ijazah sebelumnya atas nama kiai secara personal, sistem madrasah menghendaki ijazah dikeluarkan atas nama institusi dengan tanda tangan dari kiai yang merupakan pengasuhnya.


Di masa silam, dikenal istilah santri kelana, yaitu santri yang telah menuntaskan suatu pembelajaran kepada seorang kiai dan kiai tersebut memberikan pengakuan atas tamatnya santri itu. Santri tersebut juga diberikan rekomendasi dari kiainya untuk melanjutkan perjalanan studinya kepada kiai yang lain. Tak aneh jika dahulu para santri berpindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, mengaji ke banyak kiai di berbagai kota.


Ijazah institusi ini dalam beberapa tahun belum dapat pengakuan dari pemerintah. Hal tersebut dipandang sebagai sebuah diskriminasi terhadap kaum santri. Pasalnya, meskipun santri ini telah menuntaskan pendidikannya, mereka tidak diterima untuk melamar pekerjaan atau melanjutkan studi di jenjang yang lebih tinggi. Sampai kemudian, terbitlah Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren. Hal tersebut menjadi legalitas lembaga pendidikan di lingkungan pesantren dengan adanya pendidikan diniyah formal (PDF) untuk tingkat ibtidaiyah (dasar), tsanawiyah (menengah pertama), aliyah (menengah atas), hingga ma’had aly (perguruan tinggi).


Deskripsi singkat di atas itulah yang umum disebut Pesantren Salafiyah dalam bahasa umum disebut dengan pesantren tradisional. Namun pada kenyataannya, pesantren Salafiyah tidak sesederhana dalam deskripsi di atas, corak pesantren lebih beragam lagi. 
 

NU Online pada edisi Laporan Khusus kali ini berikhtiar memotret sistem pendidikan salafiyah yang sampai hari ini masih eksis. Situasinya kompleks, tetapi sebagian pesantren salafiyah itu tetap tumbuh dan berkembang.


Hamzah Sahal
Penulis

logo