Banyak anak, banyak rezeki. Slogan ini rupanya tak berlaku bagi tiap orang. Atas dasar pertimbangan tertentu, pertambahan anak justru bisa dianggap sebagai masalah baru. Mengapa?
Pertanyaan inilah yang kadang terlewat di tengah banjirnya penghakiman dan stigma yang kerap lebih dulu menyambar di media sosial, terutama kepada mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki anak (childfree). Faktanya, mereka memiliki rasionalitas dan imajinasi sendiri tentang konsep anak dan rumah tangga bahagia.
Seperti yang dialami pasangan Zaky dan Sylvi (bukan nama sebenarnya). Meski sudah dua tahun menjalani rumah tangga, keputusan untuk childfree sudah menjadi tekad Zaky sejak ia masih lajang. Bahkan, setiap mencari jodoh atau pasangan, ia mengutamakan lawan jenis yang memilih childfree. Seperti halnya ketika bertemu dengan Sylvi, calon istrinya, empat tahun yang lalu.
Mulanya Zaky tak berekspektasi lebih soal hasilnya akan diterima atau justru ditolak Sylvi, perempuan yang ia sukai. Namun, takdir berkata lain ketika ia mengisi sebuah acara yang mendukungnya untuk mengutarakan pendapat soal childfree. Sylvi yang hadir dan menyimak setiap apa yang ia paparkan ternyata tertarik untuk membahas itu lebih jauh.
Sampai pada akhirnya Sylvi menemukan satu kecocokan yang tak ia temukan pada teman-teman prianya yang lain. Kecocokan visi itulah yang mempertemukan Zaky dan Sylvi pada satu muara, intensitas komunikasi yang berujung pada keputusan untuk hidup seatap bersama.
“Jadi, sebetulnya aku sudah tidak perlu membahas atau berkomunikasi panjang lebar. Aku sudah terbuka dengan masalah itu (childfree)," kata Zaky kepada NU Online, Kamis (16/2/2023).
Pria 38 itu menyebut childfree sebagai pilihan masing-masing orang atau pasangan sebagaimana pilihan untuk mempunyai anak. Kedua pilihan tersebut dinilai memiliki konsekuensi dan tantangan masing-masing.
Pertimbangan Ekologis
Zaky tidak menyangkal, sering kali mendapatkan tanggapan yang kontra dengan pilihannya untuk childfree. Apalagi, di Indonesia banyak masyarakat yang menganggap bahwa meneruskan keturunan sudah menjadi seakan-akan tujuan utama dan pakem suatu pernikahan.
Tak ada pilihan lain, ia dan istrinya tak begitu ambil pusing. Terlebih, Zaky menilai keputusan untuk childfree berangkat dari argumentasi yang cukup kuat; bukan semata atas dasar pertimbangan psikologis, ekonomi, maupun kesehatan, melainkan ekologis, yakni perubahan iklim.
“Alasan pertama adalah paradigma lingkungan dan faktor ijtihad saya untuk berbuat baik kepada manusia. Toh, meskipun saya childfree saya tetap memiliki banyak anak asuh yang saya biayai hidup dan pendidikannya,” ucap akademisi yang kini tinggal bersama istrinya di luar negeri.
Bagi sebagian orang mungkin sedikit terdengar naif. Namun, pertimbangan perubahan iklim jadi alasan kuat pasangan tersebut memilih childfree. Terlepas dari keputusannya untuk childfree, ia tetap terbuka untuk memiliki anak, tetapi dengan cara mengadopsi. Langkah tersebut dinilai lebih bijak untuk menjaga alam sekaligus membantu sesama yang membutuhkan.
“Saya hanya ingin mencegah kerusakan yang lebih dahsyat daripada sekadar mengikuti manfaat dari childfree. Punya anak itu baik dan membahagiakan, tapi mencegah kerusakan bukannya harus didahulukan?” jelas Zaky.
Dengan tidak memiliki anak maka mengurangi frekuensi menggunakan kendaraan pribadi, mengurangi frekuensi jalan-jalan, dan satu lagi yang paling penting: mengurangi jumlah populasi manusia. Zaky melakukannya dengan memilih untuk tidak punya keturunan.
Dari Childless ke Childfree
Alasan serupa juga diungkapkan aktivis lingkungan, Hijroatul Maghfiroh atau akrab disapa Firoh. Menurutnya, childfree merupakan salah satu cara efektif untuk menahan laju pemanasan global akibat perubahan iklim.
“Aku merasa khawatir dengan masa depan bumi tentu termasuk masa depan anak-anak yang akan menempatinya. Childfree adalah sikap rasional seorang manusia yang tahu bahwa kondisi bumi puluhan tahun ke depan tidak layak huni,” katanya.
Hanya saja, berbeda dari pasangan Zaky-Silvy yang memilih childfree sejak sebelum menikah, Firoh dan suaminya mengambil keputusan tersebut justru setelah bersusah payah ikhtiar untuk memiliki anak.
Ia mengaku, berbagai upaya telah ditempuh. Tak terhitung berapa pundi-pundi rupiah yang mereka gelontorkan untuk memiliki keturunan, pun tak terbilang beribu harapan yang melangit dalam setiap sujudnya.
Pada ujungnya, pasangan tersebut sampai pada satu titik kesadaran bahwa banyak hal yang bisa dilakukan meski tanpa keturunan. Apalagi, tujuan pernikahan bukan hanya persoalan regenerasi belaka.
“Aku sih memilih childfree karena keadaan. Setelah usaha yang kami lakukan tentu menguras waktu juga materi cukup besar, akhirnya pada satu titik kami merasa zalim menghabiskan banyak uang hanya untuk memenuhi ‘keinginan duniawi’ memiliki keturunan biologis, sementara banyak anak di luaran sana yang menginginkan hak-haknya terutama pendidikan,” ungkapnya, Senin (20/2/2023).
Dengan bahasa lain, keputusan Firoh dan pasangannya untuk childfree datang setelah ikhtiar untuk berketurunan ditempuh tetapi tak kunjung berhasil. Kondisi ini mirip dengan yang dialami sebagian pasangan lain yang tidak memiliki anak karena terhalang faktor infertilitas (childless).
Firoh dan pasangannya lalu memutuskan untuk tak melanjutkan ikhtiar tersebut dan mencurahkan energinya kepada hal yang menurut mereka lebih bermanfaat. Tekadnya kian mantap ketika berbagai referensi yang ia baca menunjukkan kebutuhan untuk mengurangi populasi.
Secara detail ia membeberkan bahwa bumi sudah renta, 70 persen lebih dari bumi adalah perairan termasuk lautan. Laut dengan keanekaragaman hayatinya menyediakan 50 persen lebih makanan bagi manusia, tetapi di Indonesia saja 75 persen laut mengalami kerusakan atau tercemar.
Belum lagi Indonesia yang konon menyimpan cadangan air dunia sebanyak 6 persen saat ini menurut data terpercaya, di antaranya World Wide Fund for Nature (2019), 80 pesen lebih sungai-sungai di Indonesia kondisinya kritis dan tercemar. Jadi wajar kalau dari 90 persen air yang ada di bumi, konon yang layak dikonsumsi hanya 2,5 persen.
Tak berhenti di situ, pada 2040 Indonesia dikabarkan akan mengalami krisis air. Itu baru sekelumit kerentaan bumi yang tentu berdampak pada kehidupan makhluk di atasnya.
“Aku semakin mantap bahwa pilihan kami sudah tepat,” tandas Firoh kepada NU Online.
Peduli Anak-Anak Marjinal
Pandangan Firoh soal childfree seperti halnya hukum pernikahan—jumhur (mayoritas) ulama menyebut bahwa hukum pernikahan pada seseorang bisa berubah dan tiap orangnya dapat berbeda lantaran tergantung kondisi dan permasalahan yang dialami. Bisa dibilang hukum childfree pun demikian, kontekstual sesuai dengan kondisi pasangan, motif, dan cara yang ditempuh.
Selaras dengan pandangan Firoh, Zaky juga menyebut bahwa keputusan childfree dalam konteks kependudukan sangatlah kontekstual atau relatif terhadap apa dan di mana ia bernaung.
Saat akan memutuskan childfree maka seseorang akan memerlukan banyak pertimbangan—sudah bukan rahasia bahwa pertumbuhan penduduk di Indonesia sangat tinggi. Itu jadi salah satu faktor yang membuat Zaky maupun Firoh berani mengambil keputusan untuk tak memiliki keturunan.
Lagi pula, bagi mereka pengertian anak tidak selalu biologis. Orang-orang yang memilih childfree sebagian merasa memiliki “anak” lain yang juga mesti dipelihara. Seperti pandangan Zaky dan Sylvi. Mereka merasa uang yang mereka kumpulkan karena tidak punya kebutuhan anak, bisa digunakan untuk membiayai dan menghidupi sebagai kelompok terpinggirkan.
Secara lantang ia mengatakan bahwa pilihannya untuk childfree adalah perjuangan menyejahterakan kaum marjinal yang mungkin seringkali kita mengabaikannya. Sebagaimana Mother Terresa, pejuang dan tokoh kemanusiaan dari Calcuta, ia bertekad, merangkul mereka yang keberadaannya tidak diperhitungkan di masyarakat, terutama oleh struktur sosial.
“Bagi saya childfree itu sunnah dan malah fardu kifayah, bagi sebagian orang. Dengan membiayai pendidikan anak-anak maka hidup saya jelas membantu (kehidupan) manusia lain,” ucapnya.
Alasan Psikologis dan Fisik
Para peminat childfree rupanya juga tidak cuma datang kalangan aktivis lingkungan. Sebut saja Sandra, seorang pegawai yang juga memutuskan untuk tidak memiliki anak dengan alasan-alasan psikologis dan kecantikan tubuh.
Secara sadar, Sandra memilih childfree karena ia merasa kepribadiannya tidak cocok memainkan peran sebagai ibu. Selain perubahan fisik pasca melahirkan ia membayangkan kehidupan seorang ibu hanya membuang-buang waktu saja.
“Rasanya seperti harus terus-menerus memerah ASI (air susu ibu), menaruh botol susu dan makanan di mulut mereka, untuk kemudian 'keluar' di bagian lain. Kapan semua hal ini akan menjadi suatu hal yang menyenangkan?” ucap perempuan asal Jawa Barat ini sembari tertawa.
Anggapannya itu banyak menyedot perhatian teman sekantornya, bahkan penolakan tak jarang datang dari suaminya. Ia rela mengakhiri perjalanan rumah tangganya yang sudah berjalan tiga tahun karena pilihannya itu. Baginya kebahagiaan wanita lebih penting dari sekadar melayani kemauan suami memiliki anak biologis, yang dapat merusak paras ayunya.
“Kalau menurut aku, wanita tetaplah wanita walaupun dia enggak punya suami. Wanita tetaplah wanita walaupun dia enggak pengen punya anak. Tetap aja wanita seutuhnya,” ucanya, Selasa (21/2/2023).
Sebagaimana pegawai pada umumnya, Sandra memang lebih banyak menghabiskan waktunya mengurusi pekerjaan dan deadline. Baginya, kondisi pulang kerja yang capek dilanjutkan dengan harus merawat anak di rumah adalah sebuah beban tersendiri.
Sandra juga mengaku sejak kecil tidak pernah membayangkan akan punya anak, pun tidak pernah jadi impiannya, bukan pula menjadi salah satu dari tujuan kehidupan Sandra.
Ia sadar akan beragam risiko yang bakal ia terima. Apalagi, stigma umumnya mengarah pada perempuan karena anggapan bahwa kodrat perempuan adalah mengandung dan melahirkan anak.
“Itu sudah keputusan. Terserah mau terima atau tidak,” jelas perempuan berusia 48 tahun itu menegaskan.
Terlepas dari keengganannya memiliki anak, ia merasa membesarkan anak akan memerlukan pengorbanan yang besar, terutama dari sisi waktu dan tenaga yang diberikan. Hal ini khususnya berdampak pada sang ibu yang diekspektasikan dapat merawat dan mendidik anak dengan baik.
Bila dilihat, ketimbang penerimaan, tekanan sosial dari keputusan childfree ini mungkin lebih besar dirasakan di Indonesia. Selain anggapan bahwa tujuan dari pernikahan adalah memiliki anak guna meneruskan keturunan, pandangan arus utama menunjukkan bahwa anak adalah sumber rezeki dalam kehidupan dan bisa menjaga orang tua di masa depan. Inilah yang menyebabkan mengapa childfree menjadi suatu hal yang tabu dalam kehidupan.
Akan tetapi, di mata orang-orang yang menganut childfree, ungkapan itu tak lebih dari sekadar penggalan larik dalam setiap puisi ‘penglipur lara’, yang biasa digunakan untuk menggambarkan suatu cerita atau memberi makna sesuai dengan keinginan si pembaca.
Zaky, misalnya, memandang ungkapan ‘banyak anak banyak rezeki’ tidak lagi relevan di zaman sekarang. Ia juga membantah pemakluman anak yang diorientasikan sebagai penjaga orang tuanya di masa depan. Sebagaimana Kahlil Gibran dalam puisinya, “Anakmu bukanlah milikmu. Mereka adalah anak kehidupan yang rindu pada dirinya sendiri.”
Sudah jelas bahwa Zaky kontra jika anak "dituntut" untuk menanggung hidup orang tua. Dituntut mengacu pada: dipaksa, diminta, ditagih. Pokoknya, orang tua menuntut anak agar ia mencukupi kebutuhannya. Lebih menyedihkan lagi, tambahnya, jika orang tua melahirkan anak dengan tujuan "agar ada yang membiayai masa tuanya". Secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa anak hanya dijadikan investasi masa depan.
“Ungkapan itu kontruksi tradisional dan komunal,” tandas Zaky.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Mahbib Khoiron