Jakarta, NU Online
Ketua PBNU Bidang Pengembangan Data Hasanuddin Ali mengatakan pentingnya kehadiran NU di masyarakat urban mengingat prediksi populasi masyarakat Indonesia yang mulai bergeser ke perkotaan.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional hasil sensus penduduk pada 2024, sekitar 60 persen masyarakat Indonesia kini tinggal di perkotaan. Angka ini diprediksi akan terus meningkat, mencapai 65 persen pada 2035 dan 78 persen pada 2045.
"Ini keniscayaan yang tidak bisa kita hindari, tidak bisa kita tolak, mengingat perkembangan Indonesia akan menuju ke sana," kata Hasan dalam sesi diskusi Keluarga Moderat di Kongres Keluarga Maslahat NU di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (31/1/2025).
Dalam kesempatan itu, Hasan mengidentifikasi beberapa hal terkait masyarakat urban yang memiliki perbedaan dengan karakteristik masyarakat pedesaan, dengan pemetaan ini kiranya pengurus NU di semua jajaran dapat membuat program yang tepat sasaran.
Hasan menjelaskan bahwa kondisi sosial di masyarakat urban menunjukkan perbedaan mencolok, terutama terkait penetrasi digital. Hal ini mengakibatkan ajaran kebencian dan intoleransi lebih mudah menyerang masyarakat perkotaan karena aktif menggunakan media sosial.
"Sebab media digital menjadi media paling dominan masyarakat perkotaan," ungkap Pendiri Alvara Institute tersebut.
Perbedaan lain dilihat dari tingkat kecemasan, menurut Hasan, terdapat perbedaan kecemasan antara masyarakat kota dan desa. Masyarakat kota cemas dengan masalah ekonomi dan pendapatan, sedangkan masyarakat desa lebih khawatir soal kesehatan karena akses terhadap fasilitas kesehatan masih terbatas di desa.
"Ini terkonfirmasi hasil survei Kompas terbaru tentang NU bahwa NU cukup lemah dalam pelayanan kesehatan, tetapi pendidikan dan toleransi bagus, dan untuk kesehatan dan ekonomi cukup rendah," jelasnya.
Masyarakat kota juga lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial, dengan 94 persen di antaranya mengakses media sosial hingga 7-8 jam sehari. Kemudian terkait ketertarikan pada ormas, survei menunjukkan bahwa 30 persen masyarakat kota tidak terafiliasi dengan ormas, sedangkan di desa hanya 19 persen yang tidak terafiliasi.
"Artinya kehadiran penetrasi NU di kalangan masyarakat kota masih perlu kita optimalkan," jelasnya.
Hasan juga menyebutkan bahwa masyarakat urban memiliki paradigma yang efisien dan kompetitif. Bagi mereka, persaingan sangat penting, mereka terbuka terhadap ide-ide baru namun juga pragmatis. Perilaku mereka sangat bergantung pada teknologi.
Gaya hidup masyarakat perkotaan lebih cepat, dengan banyak menghabiskan waktu di tempat-tempat tertentu seperti kafe sambil bermain gadget, dan mereka juga semakin sadar akan pentingnya kesehatan.
Hasan memaparkan dari beberapa kajian yang sudah dilakukan kelas menengah milenial urban memiliki empat karakteristik, mulai dari daya beli tinggi, gaya hidup modern, menggantungkan pada teknologi, dan memiliki minat tinggi dalam ajaran keagamaan.
Melihat data ini, Hasan mengusulkan untuk mengidentifikasi kelompok sasaran yang perlu digarap NU. Ia mengusulkan ada enam kelompok, di antaranya kelompok yang memiliki tradisi dan non-tradisi NU.
"Saya identifikasi kira-kira masyarakat urban ini, pertama masyarakat asli perkotaan (lahir dan besar di kota), apakah kita punya aktivitas program yang kuat untuk kelompok ini?" Kata Hasan.
Kelompok kedua, keluarga pendatang mereka warga NU atau non-NU yang bermigrasi ke perkotaan era 1980-1990-an dan memiliki keturunan yang hidup di perkotaan.
Ketiga, individu pendatang. Mereka adalah kelompok anak yang lulus SMA/MA kemudian melanjutkan perguruan tinggi. Menjadi pertanyaan, Apakah pengurus NU dari tingkat PC, PWNU memiliki program spesifik dalam tiga kelompok tersebut?
"Melihat lanskap masyarakat urban maka sudah waktunya kita memperkuat kehadiran NU di masyarakat urban," pungkasnya.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag RI Prof Suyitno menyoroti dua dimensi penting dalam keluarga maslahat NU yang perlu lebih diperhatikan, yakni keluarga terdidik dan keluarga cinta alam.
Dalam konteks keluarga terdidik, ia mengungkapkan bahwa angka partisipasi kuliah (APK) di Indonesia masih rendah, yakni hanya 31 persen dari jumlah penduduk yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Artinya, sekitar 70 persen penduduk, termasuk dalam keluarga besar NU, tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
"Masalah ini menjadi tantangan besar, dan Kementerian Agama RI memiliki berbagai skema untuk mengatasinya, salah satunya dengan meluncurkan perguruan tinggi siber di Cirebon. Anak-anak yang terdaftar di program ini akan mendapatkan beasiswa penuh dan pembelajaran jarak jauh," jelas Prof. Suyitno.
Program ini diharapkan dapat memberikan afirmasi dan rekognisi, terutama bagi para ustadz yang memerlukan pengakuan terhadap kompetensinya.
Selain itu, Suyitno juga menekankan pentingnya dimensi keluarga cinta alam. PBNU sudah lama menggagas fiqih lingkungan oleh KH Ali Yafie. Perubahan iklim bukan hal baru yang menjadi perhatian NU.
"Mari kita glorifikasi bahwa PBNU sudah lama menggagas penyelamatan bumi dengan fiqih lingkungan," ungkapnya.
Namun, ia juga mencatat bahwa meskipun konsep tersebut sudah ada, implementasinya masih kurang maksimal. Selama ini sebatas seremonial dengan menanam pohon, tanpa merawatnya. Padahal menanam pohon sudah lama dilakukan, namun warga desa lah yang lebih sering merawatnya.
"Merawat pohon membutuhkan perhatian lebih, termasuk dari pemerintah," tambahnya.
Hal ini, menurut Prof Suyitno, harus menjadi perhatian bersama ke depan karena merawat lingkungan bukan hanya tugas individu atau masyarakat, tetapi juga tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan dukungan yang lebih konkret.
Selain dua narasumber yang hadir, ada Muhammad Suaib Tahir dari Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang memaparkan masalah terorisme yang masih menjadi ancaman di Indonesia. Ia menekankan pentingnya kolaborasi dalam menanggulangi masalah terorisme yang masih banyak terjadi di masyarakat.