Jakarta, NU Online
Idun Rohim Zen (87), jamaah haji asal Palembang, tampak sehat ketika meminta izin kepada ketua kloternya untuk pergi ke toilet di sela ritual wukuf. Ia lalu berjalan sendirian menuju kamar kecil di tengah jutaan manusia di Arafah yang kala itu dipanggang suhu 48 derajat celsius.
Menurut Ketua Kloter 20 Embarkasi Palembang Maytizah Husna, Idun saat itu tak mau ditemani. Sekilas ia memang terlihat mandiri. Namun, justru inilah akar musibah yang menimpanya: sejak 27 Juni 2023 sore itu, Idun tak pernah pulang ke tenda dan belum ditemukan hingga sekarang. Sedianya, Idun pulang ke Tanah Air pada 29 Juli lalu bersama rombongannya.
Di balik "kemandiriannya" itu, Idun rupanya menderita demensia atau biasa disebut pikun. Ia hanyalah satu dari tiga jamaah yang paling dicari pasca ritual di Armuzna (Arafah, Mudalifah, dan Mina). Ketiganya masuk kategori lansia dan sama-sama menderita demensia. Kecuali Idun, jamaah yang hilang tersebut baru ditemukan sekitar dua pekan kemudian dalam kondisi tak bernyawa.
Data Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah Kemenag RI menyebut, ada total 824 jamaah haji reguler yang meninggal pada tahun 2023. Sebanyak 752 jamaah wafat saat operasional haji, 26 jamaah wafat pasca-operasional haji, dan 46 jamaah wafat di embarkasi/debarkasi haji. Angka ini merupakan terbanyak dalam sejarah penyelenggaraan haji Indonesia, setidaknya dalam 10 tahun terakhir.
Ledakan angka kematian tersebut tak lepas dari besarnya jumlah jamaah berisiko tinggi (risti) yang berangkat ke Tanah Suci. Penyelenggara Kesehatan Haji di Arab Saudi 2023 Kementerian Kesehatan melaporkan, dari total 210.680 jamaah haji reguler, 73,72 persennya masuk kategori risti, yaitu lansia (di atas 60 tahun) dan atau pengidap penyakit bawaan sejak dari Tanah Air.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas melihat pengalaman ini sebagai akibat dari sistem yang tidak memprioritaskan syarat istitha’ah kesehatan di atas pelunasan Biaya Perjalanan Haji (Bipih). Istitha’ah (standar kemampuan) merupakan syarat wajib haji yang meliputi beberapa aspek, yakni kemampuan ekonomi, keamanan, dan kesehatan (jasmani dan rohani).
“Kemarin perhajian tahun-tahun lalu mekanisme kita itu terbalik: lunas dulu, bayar dulu, baru dicek kesehatannya. Maka menjadi tidak mungkin atau terlalu berisiko bagi Kementerian Kesehatan untuk mencoret jamaah yang sudah lunas meskipun dia memiliki catatan kesehatan yang tidak memungkinkan. Akibatnya jamaah yang sudah lunas diloloskan begitu saja,” katanya saat membuka Mudzakarah Perhajian Indonesia 2023 di Yogyakarta, Senin (23/10/2023).
Menurutnya, penguatan syarat istitha'ah kesehatan ini penting karena menyangkut kemaslahatan orang banyak. Hal ini juga selaras dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan, pembinaan, dan perlindungan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
"Saya ingin benar-benar kriteria Istitha'ah ini (dibahas) dengan baik. Kita tidak ingin kejadian berlangsung di Saudi, banyak demensia, sakit sepanjang proses, sampai hilang. Saya tidak ingin terjadi kembali," ujarnya.
Tingginya angka kematian jamaah Indonesia
Menurut data Pusat Kesehatan Haji Indonesia Kemenkes RI, tingkat kematian jamaah haji Indonesia mencapai 2,07 per mil sepanjang 2010-2022. Angka ini lebih tinggi dari mortalitas rata-rata jamaah haji dari sejumlah negara lain seperti India, Pakistan, Malaysia, dan Bangladesh.
Dengan jumlah kematian yang mencapai 824, angka kematian (mortality rate) pada penyelenggaraan haji 2023 naik cukup drastis menjadi sekitar 3,5 per mil. Angka ini hampir sama dengan musim haji 2015 ketika ada tregedi ribuan jamaah dari berbagai negara mati terinjak-injak di Mina.
Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes RI Liliek Marhaendro Susilo menyampaikan, sebagian besar penyakit jamaah haji merupakan faktor risiko serangan jantung, stroke, dan pneumonia. Hal ini terjadi konsisten bukan hanya pada 2023, melainkan juga pada musim haji tiga tahun sebelumnya (2018, 2019, dan 2022).
Meski demikian, Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) yang diakses NU Online pada 30 Oktober 2023 mengungkap bahwa dari 775 jamaah haji (reguler dan khusus) yang wafat selama operasional haji, 333 di antaranya tergolong tidak risti. Artinya, 42,9 persen dari total jamaah meninggal bukan kategori lansia dan atau pengidap penyakit berisiko. Atau, sebetulnya masuk kategori tersebut tetapi luput dari pencatatan petugas kesehatan.
Untuk mencegah angka kematian yang tinggi lagi, Liliek menekankan perlunya pengetatan syarat istitha'ah kesehatan. "Kriteria tidak memenuhi syarat istitha'ah sudah diatur dalam Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istitha'ah Kesehatan," katanya.
Kriteria tidak memenuhi syarat istitha'ah kesehatan tersebut antara lain adalah kondisi klinis yang dapat mengancam jiwa, gangguan jiwa berat (termasuk demensia berat), penyakit menular berbahaya, dan lemah kondisi fisik karena penyakit menahun.
Penyelenggaraan haji tahun 2024, kata Menag Yaqut, menjadi kian menantang karena ada kuota tambahan sebesar 20 ribu setelah lawatan Presiden Joko Widodo ke Arab Saudi beberapa waktu lalu. Dengan demikian, kuota untuk Indonesia pada musim haji tahun depan mencapai 241 ribu yang semula hanya 221 ribu. Apalagi, penambahan kuota ini tidak dibarengi dengan penambahan kuota petugas, justru pemerintah Arab Saudi berencana akan menguranginya hingga separuh dari biasanya.
Skema baru pemeriksaan kesehatan
Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan telah berkomitmen akan menerapkan skema baru dalam menentukan istitha’ah kesehatan bagi jamaah haji. Pemeriksaan kesehatan calon jamaah haji meliputi pemeriksaan klinis (medical check up/MCU), kesehatan mental, kesehatan kognitif, serta penilaian tingkat kemandirian aktivitas sehari-hari dari calon jamaah haji.
“Pemeriksaan kesehatan mental ini dilakukan untuk mengidentifikasi demensia, orientasi daya ingat, dan konsentrasi," ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin.
Rencananya, pemeriksaan akan dilakukan sedikitnya dalam dua tahap. Tujuannya agar calon jamaah haji dapat mengetahui kondisi dini kesehatannya dan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan pemulihan. Jika pada pemeriksaan kedua kondisinya sudah baik maka jamaah yang bersangkutan berhak melunasi Bipih.
Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kesehatan Universitas Islam Indonesia dr Agus Taufiqurrohman menjelaskan, istitha’ah kesehatan haji mesti mempertimbangkan empat hal. Pertama, jamaah haji dapat melakukan aktivitas fisik untuk menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji yang bersifat rukun dan wajib. Kedua, status kesehatan jamaah haji tidak akan memburuk oleh pengaruh prosesi ibadahnya dan lingkungannya.
“Ketiga, kondisi kesehatan jamaah haji tidak menyebabkan gangguan kesehatan dan kenyamanan bagi jamaah haji lainnya. Dan terakhir, kondisi kesehatan jamaah haji dan tindakan yang diperlukan tidak mengganggu lingkungan sekitarnya,” ujar ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini saat menjadi pembicara Mudzakarah Perhajian Indonesia 2023.
Kebijakan tidak populer
Menag Yaqut menyadari bahwa kebijakan baru yang bakal pemerintah terapkan akan membuat kecewa banyak orang. Mengingat, haji bukan saja soal perjalanan ke Arab Saudi melainkan memiliki makna spiritual yang tinggi bagi masyarakat Muslim Indonesia. Kekecewaan itu akan timbul dari jamaah-jamaah yang merasa “dihambat” perjalanan ibadahnya.
Menurutnya, kebijakan ini bisa jadi tidak populer, terlebih pada musim politik elektoral seperti sekarang ini. “Tapi demi kemaslahatan banyak pihak, terutama jamaah haji, kebijakan ini harus disampaikan,” ujar pria yang akrab disapa Gus Men ini.
Bagi Kemenag, potensi protes memang akan tinggi di kebijakan pengetatan syarat istitha’ah pada penyelenggaraan ibadah haji 2024. Namun, hal itu akan melapangkan jalan bagi penyelenggaraan di tahun-tahun mendatang yang tingkat kematiannya diharapkan terus menurun.
Meski demikian, dukungan dari berbagai pihak mengalir untuk skema baru kebijakan ini. Ketua Komisi VIII DPR RI Ashabul Kahfi mengaku mendukung langkah Kementerian Agama yang ingin mendahulukan istitha'ah kesehatan sebelum jamaah melakukan pelunasan biaya haji.
Menurutnya, sudah seharusnya jamaah yang berangkat ke Tanah Suci sehat, baik secara fisik maupun mental. Ia pun menyoroti pentingnya kelengkapan prasarana serta tenaga kesehatan yang mumpuni untuk menentukan istitha'ah.
Senada, Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) Cepi Supriatna menilai pengetatan syarat istitha'ah kesehatan ini penting dilaksanakan.
"FK KBIHU mendukung penuh program pemerintah ini dan diharapkan kepada jemaah haji, termasuk kepada jemaah haji yang berafiliasi dengan KBIHU, untuk bersama-sama menyukseskan program pemerintah yang pada tahun ini akan memberlakukan istitha'ah kesehatan jemaah haji sebelum pelaksanaan Bipih dimulai," ujarnya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftah Faqih berpandangan, kebijakan tersebut merupakan regulasi yang sangat baik untuk mendorong jamaah haji bisa menjalankan ibadah haji secara mandiri, sehat, dan tidak membebani orang lain. "Sebab menyengsarakan diri sendiri dan menyengsarakan orang lain adalah tindakan haram," katanya.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah Salmah Orbayyinah mengaku telah menyosialisasikan menyosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya istitha'ah kesehatan. Sebab, keadaan sakit membuat ibadah berjalan kurang sempurna.
"Pemeriksaan kesehatan sejak awal sudah kami sosialisasikan, kami syiarkan agar masyarakat yang akan menunaikan benar-benar menyiapkan kesehatannya," ujarnya.
Dukungan berbagai pihak ini juga selaras dengan sembilan rekomendasi Mudzakarah Perhajian Indonesia 2023 yang di antara isinya menyebut bahwa jamaah yang akan diberangkatkan ke Tanah Suci harus memenuhi istitha'ah kesehatan (badaniyyah) yang merupakan bagian dari pemenuhan syarat wajib pelaksanaan ibadah haji.