Menjaga Lingkungan Sama dengan Menjaga Agama, Jiwa, Akal, Keturunan, dan Harta

Jika aspek-aspek agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta rusak maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda.

Jakarta, NU Online

Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Ace Hasan Syadzily menjelaskan fiqih al-bi`ah menurut Yusuf Qardhawi mengenai menjaga lingkungan sama dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.


“Rasionalitasnya adalah bahwa jika aspek-aspek agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta rusak maka eksistensi manusia di dalam lingkungan menjadi ternoda. Oleh sebab itu, dislokasi fiqih al-bi'ah bisa menjadi oportunitas yang konfrontatif jika diikuti oleh paradigma epistemologi yang komprehensif,” jelasnya saat sesi diskusi mendalam bertajuk Keluarga Cinta Alam pada Kongres Keluarga Maslahat di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (31/1/2025).


Ace menyampaikan bahwa salah satu acuan dasar program LPBINU adalah ekologi spiritual yang diperkenalkan oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf di Religion of Twenty 2022 (R20).


“Ketua umum PBNU di dalam forum-forum Internasional juga memperkenalkan konsep ekologi spiritual, misalnya di dalam R20. Inilah yang menjadi dasar kami secara teologis juga menurunkannya dalam berbagai program-program yang kaitannya dengan lingkungan,” katanya.


Di samping itu, Ace menekankan bahwa perubahan iklim harus menjadi kesadaran tiap individu. Sebab dalam 100 tahun terakhir, suhu bumi telah meningkat dan diperkirakan akan terus naik. Kenaikan suhu ini menunjukkan dampak nyata terhadap ketersediaan air yang merupakan sumber kehidupan. Jika ketersediaan air terganggu maka akan berimbas pada ketahanan pangan dan kebutuhan dasar lainnya.


“Dampak perubahan iklim ini juga mempengaruhi mata pencarian rakyat, dan dalam Islam, pencemaran lingkungan termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan. Upaya PBNU dalam program Keluarga Maslahat menjadi langkah strategis, dengan memulai dari keluarga,” ungkapnya.


Tanggung jawab bersama

Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular Deputi Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup Agus Ruslybmenyampaikan bahwa permasalahan sampah merupakan tanggung jawab bersama yang idealnya sudah dimulai dari rumah tangga.


“Semua sampah harusnya selesai di rumah tangga. Kita harus memilah kalau tidak kita akan tenggelam dalam sampah yang kita hasilkan, sampah begitu tidak terkelola akan mengalir ke sungai kemudian akan mengalir ke laut,” tekannya.


Menurut Rusly, dengan populasi Indonesia sebanyak 182 juta jiwa saja, penggunaan sedotan plastik sudah cukup untuk mengelilingi dunia berkali-kali. Kemudian limbah ini pada akhirnya masuk ke dalam sistem lingkungan dan mencelakai hewan.


“Dampak sampah terhadap lingkungan semakin terlihat nyata, salah satunya dengan
ditemukannya sampah plastik dalam perut satwa laut yang mati di Wakatobi, termasuk tali rafia, botol plastik, gelas plastik, sandal jepit, dan kantong plastik,” urainya.


Rusly menekankan pentingnya pengurangan sampah plastik melalui beberapa langkah praktis dengan cara mendaur ulang, menolak penggunaan plastik sekali pakai, dan memilah sampah dari rumah. Selain itu, menghabiskan makanan dan mengomposkan sisa makanan sangat penting agar tidak menjadi limbah yang terbuang sia-sia.


Sementara itu, Perwakilan Duta Besar Australia Simon Flores menjelaskan persamaan letak geografis antara Indonesia dan Australia bahwa sebagai negara tetangga yang sama-sama dikelilingi lautan. Menurutnya, Indonesia dan Australia menghadapi ancaman nyata perubahan iklim yakni dengan naiknya permukaan laut dan perubahan cuaca ekstrem yang berakibat pada kekeringan.


"Australia dan Indonesia juga menghadapi tantangan serupa dan perlu menemukan potensi kerja sama dalam mengatasinya. Pencapaian NU yang sudah mencapai 1,5 juta sangat menginspirasi kami di Australia. Ini membuktikan bahwa pendekatan yang berbasis keluarga menjadi item yang sangat efektif dalam pembangunan perubahan sosial," jelasnya.  


Ia menyebut Generasi muda, termasuk NU dan jaringan pemangku kepentingan, memiliki peran strategis dalam mewujudkan masa depan yang lebih berkelanjutan.


“Kedutaan Australia sudah pernah bekerja sama dengan NU, khususnya dalam pencegahan bencana, salah satunya program di Lombok dalam program desa tangguh bencana ketika saya berkesempatan langsung hadir di sana,” tambahnya.


Kesadaran keluarga tangguh bencana

Direktur Sistem Manajemen Bencana di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menekankan pentingnya kesadaran keluarga untuk tangguh terhadap bencana.


Ia menjelaskan bahwa letak geografis Indonesia yang berada di ring of fire atau zona yang memiliki aktivitas vulkanik dan seismik yang tinggi membuat Indonesia menempati posisi kedua dengan negara tingkat bencana tertinggi.


"Indonesia juga menjadi peringkat ke-2 di dunia dengan tingkat bencana tertinggi. Setiap hari kita sering mendengar kejadian bencana di Indonesia dan bencana merupakan peristiwa yang berulang sehingga kita perlu kesiapsiagaan," terangnya.


Wibowo mengungkapkan sebuah penelitian (Peterson K, 2007) yang menyebut bahwa perempuan dan anak-anak berisiko meninggal 14 kali lebih besar dari pria dewasa. Karena itu, seorang ibu atau perempuan sangat penting untuk memahami akses informasi terkait kebencanaan, kapasitas perlindungan diri, mendidik keluarga siaga bencana, melindungi keluarga dari ancaman bencana, dan mendidik masyarakat di sekitarnya agar menjadi lebih waspada dan siaga bencana.


“Pentingnya kesiapan dalam menghadapi bencana yaitu dengan memahami permasalahan mendasar terkait kesiapsiagaan dengan mengajarkan perilaku siap siaga terhadap bencana sedini mungkin dengan melakukan pendidikan di rumah yang bisa dilakukan oleh ibu, sehingga para ibu perlu mendapatkan tambahan pengetahuan mengenai kesiapsiagaan,” ungkapnya.


Mufidah Adzkia
Kontributor

logo