Jakarta, NU Online
Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sarmidi Husna menegaskan bahwa merusak lingkungan bukan hanya membahayakan manusia, tetapi juga keluarga dan seluruh makhluk hidup di dunia.
Hal itu diungkap Kiai Sarmidi saat menjadi narasumber dalam bincang santai bertajuk Keluarga Cinta Alam: Mencintai Alam, Mencintai Tuhan pada Festival Keluarga Maslahat di Mal Kasablanka, Jakarta, Sabtu (1/2/2025) malam.
Ia menjelaskan bahwa dampak dari kerusakan lingkungan sangat luas dan merusak kehidupan. Kerusakan lingkungan dapat menyebabkan bencana alam, membahayakan kesehatan manusia, serta memperburuk perubahan iklim.
Selain itu, kerusakan lingkungan juga berkontribusi pada krisis sumber daya alam, termasuk kelangkaan air bersih, yang semakin mengancam keberlanjutan hidup di bumi.
Soal kepedulian terhadap lingkungan juga telah diisyaratkan Nabi Muhammad melalui sebuah hadits yang mengingatkan umat Islam untuk tidak merusak bumi, karena bumi layaknya sebagai ibu.
"Takutlah kalian semuanya merusak bumi karena bumi ini adalah ibumu. Jadi jangan merusak bumi karena bumi ibu kita. Orang yang memakmurkan bumi itu bagian dari taat kepada Allah, karena bagian dari taat maka itu nilainya adalah ibadah," jelas Kiai Sarmidi.
"Kalau kita meninggalkan taat kepada Allah dan merusak bumi, maka akan dicabut nikmat dari bumi ini dan nanti akan jadi peringatan bagi orang setelah kalian," lanjutnya.
Lebih lanjut, Kiai Sarmidi menjelaskan bahwa orang yang hidup di bumi memiliki dimensi muamalah (hubungan antara sesama manusia dan makhluk lain) dan teologi (hubungan antara makhluk atau manusia dengan Tuhan).
Menurutnya, jika seseorang melakukan kerusakan terhadap alam maka itu adalah bagian dari kerusakan yang harus dihindari. Sebab dalam Islam, perbuatan merusak lingkungan termasuk dalam kategori kemungkaran.
"Kita melakukan kerusakan lingkungan atau merusak alam, itu bagian dari kemungkaran, karena kemungkaran, maka merusak lingkungan itu adalah dosa," jelasnya.
Beberapa bentuk perusakan alam yang ia soroti antara lain perilaku menebang pohon sembarangan, membuang sampah sembarangan, dan eksploitasi sumber daya alam tanpa pertimbangan. Dampaknya jelas, yakni bencana alam, kesehatan yang terganggu, perubahan iklim, dan krisis air bersih.
Hematnya, Kiai Sarmidi mengingatkan bahwa umat Islam harus terus menjaga bumi sebagai amanah dari Allah. Siapa pun yang merusaknya akan memicu datangnya bencana yang dirasakan oleh generasi mendatang.
Pelibatan keluarga
Sementara itu, Director of Public Affairs, Communications & Sustainability di Coca-Cola Amatil Indonesia Lucia Karina memberikan perspektifnya tentang bagaimana keluarga dapat berperan dalam menjaga alam.
Lucia menekankan tiga prinsip dasar dalam Islam yang harus dijaga oleh umat Islam, yaitu hablumminallah (hubungan dengan Tuhan), habluminannas (hubungan dengan sesama manusia), dan habluminal alam (hubungan dengan alam).
Namun menurutnya, sering kali hubungan dengan alam justru terabaikan, padahal alam adalah bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dijaga dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Sebagai contoh, air adalah sumber kehidupan yang terbatas. Namun tanpa disadari, sebagian besar orang sering membiarkan air mengalir begitu saja saat mandi atau wudhu, yang bisa menghabiskan banyak sumber daya.
"Nah ini bukan sebuah praktik yang bagus karena air juga dijaga harus di konservasi. Kalau kota terus-terusan kita hambur-hamburkan maka itu akan menjadi terbuang percuma," katanya.
Lebih jauh, Lucia mengungkapkan pentingnya mengubah kebiasaan kecil di kehidupan sehari-hari, seperti menghemat penggunaan energi dan mengurangi pemborosan makanan.
Di Indonesia, ujarnya, lebih dari 47 persen sampah adalah sampah makanan, yang dapat menghasilkan gas metan yang jauh lebih berbahaya daripada karbon dioksida dalam pemanasan global.
"Oleh karena itu, kita harus bijak dalam membeli makanan dan menghindari pemborosan," ujarnya.
Pemanasan global dan krisis energi
Lucia juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi umat manusia saat ini, yaitu pemanasan global dan krisis energi. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia, seperti banyak negara lain, masih sangat bergantung pada batu bara sebagai sumber energi utama.
Namun, lanjutnya, batu bara ini memiliki tingkat karbon emisi yang sangat tinggi, yang semakin memperburuk perubahan iklim. Karena itu, menurut Lucia, kini sudah saatnya beralih ke energi terbarukan dan lebih bijak dalam menggunakan sumber daya energi.
"Enegi sumber energi di Indonesia itu 67 persen berasal dari batu bara dan batu bara ini mempunyai tingkat karbon emisi yang sangat tinggi," jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia semula dikenal sebagai negara dengan dua musim, yaitu kemarau dan penghujan, dengan musim kemarau yang tidak sepanas musim panas di negara-negara dengan empat musim.
Namun, dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir, suhu bumi mengalami peningkatan yang sangat signifikan, yang sering kali tidak disadari. Peningkatan suhu yang terus berlangsung ini telah menjadi masalah besar yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Pada 2022, kata Lucia, pemerintah Indonesia bersama negara-negara lain menandatangani Paris Agreement, sebuah kesepakatan global yang bertujuan membatasi kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius.
Namun pada 2024, target tersebut telah terlampaui, dengan suhu bumi meningkat menjadi 1,6 derajat celsius. Peningkatan ini sangat berbahaya, karena jika tren ini terus berlanjut, keberlanjutan bumi dan kehidupan makhluk hidup akan semakin terancam.
Mengurangi sampah plastik sebagai solusi
Salah satu isu besar yang juga dibahas dalam acara ini adalah pengelolaan sampah, terutama sampah plastik. Lucia menyebutkan bahwa di Indonesia, ada Bantargebang yang terkenal dengan tempat pembuangan sampah terbesar di Indonesia, tetapi sebenarnya lebih dari 70 persen sampah di sana adalah sisa makanan, bukan sampah plastik.
Parahnya, sampah sisa makanan ini berbahaya karena dapat menghasilkan gas metana, yang 20 kali lebih berbahaya daripada karbondioksida dalam mempercepat perubahan iklim.
Lucia mengajak seluruh masyarakat untuk mulai lebih bijak dalam menggunakan plastik sekali pakai dan mengurangi pemborosan makanan, serta berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan.