Pesantren Lirboyo, Satu Abad Gunakan Sistem Kelas

Tahun 2025 persis satu abad Pesantren Lirboyo menerapkan sistem kelas dengan mendirikan Madrasah Hidayatul Mubtadiin.

Jakarta, NU Online

Pondok Pesantren Lirboyo, Mojoroto, Kediri, Jawa Timur sudah menerapkan sistem kelas dalam pesantren sejak 100 tahun lalu. Sistem ini mulai diterapkan pesantren yang didirikan KH Abdul Karim ini pada tahun 1925 dengan pembentukan Madrasah Hidayatul Mubtadiin (MHM)


Meskipun menggunakan sistem kelas, Pesantren Lirboyo merupakan salah satu pesantren yang tetap menjaga tradisionalitasnya dengan mempertahankan kurikulum keagamaannya. Berdiri pada tahun 1913, Lirboyo pada mulanya hanya menggunakan metode pengajian sorogan dan bandongan. Metode ini sudah digunakan sedari dulu dalam proses pembelajaran di pesantren.


Keberadaan sistem kelas tidak menafikan metode-metode pembelajaran sebelumnya. Artinya, sorogan dan bandongan masih tetap digunakan sebagai penunjang pembelajaran sistem kelas. Kedua metode itu juga diampu oleh para pengajar dan pengasuh secara langsung. Di waktu dan hari tertentu, mereka dapat mengaji berbagai macam kitab kepada dewan guru dan pengasuh. Mereka bisa memilih sesuai dengan tingkatan kemampuan masing-masing.


Sebagai pencetak generasi ulama yang tangguh, ada beberapa pondok pesantren yang dengan sengaja memberi tambahan kurikulum selain pelajaran agama. Ada pula pondok yang konsisten dengan pendidikan salafnya. Pondok Pesantren Lirboyo merupakan salah satu pondok pesantren yang hingga kini tetap eksis dengan kesalafannya.
 

Dalam perkembangannya, Madrasah Hidayatul Mubtadiin (MHM) diakui Pemerintah sebagai pendidikan pesantren jalur formal (Satuan Pendidikan Muadalah) yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. MHM memiliki tiga jenjang pendidikan, yaitu:
 

  1. Ibtidaiyah (Satuan Pendidikan Muadalah tingkat Ula) selama 6 tahun;
  2. Tsanawiyah (Satuan pendidikan Muadalah tingkat Wustha) selama 3 tahun; dan
  3. Aliyah (Satuan pendidikan Muadalah tingkat Ulya) selama 3 tahun.


Berdasarkan Undang-undang Pesantren No. 18 tahun 2019, Satuan Pendidikan Muadalah merupakan jenjang pendidikan dasar dan menengah di bawah naungan Kemenag, yang secara nomenklatur sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) setara dengan pendidikan dasar dan menengah. Dengan begitu, lulusan Madrasah Hidayatul Mubtadiin memiliki status setara dengan lulusan pendidikan formal yang lain.


Madrasah Hidayatul Mubtadiin (MHM) pada mulanya menitikberatkan pada pelajaran teori alat, seperti ilmu nahwu,  sharaf, dan balaghah yang sekaligus menjadi ciri khas dari Pondok Pesantren Lirboyo. Hal ini juga sejalan dengan nasihat dari pendiri, yakni KH Abdul Karim. 


“Santri yang belum dapat membaca dan mneulis harus sekolah.”


Demikian Ali Anwar mencatatnya dalam Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri (2011). Ia menyebut bahwa hal tersebut ditengarai dengan membludaknya santri sehingga metode pengajian sorogan pun terhambat karena banyaknya santri, selain karena kemampuan santri baru yang terbatas. Dawuh di atas mengindikasikan restu KH Abdul Karim atas pendirian Madrasah Hidayatul Mubtadiin.


Demi menunjang pemahaman, pendalaman, dan pengembangan materi pelajaran, MHM membentuk berbagai macam wadah untuk para santri. Majelis Musyawarah Madrasah Hidayatul Mubtadiin (M3HM), semacam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), dibentuk untuk menangani forum diskusi dan kegiatan ekstrakulikuler, di antaranya: Kursus Bahasa Arab, Kursus Bahasa Inggris, Kursus Komputer, Kursus Ushul Fiqh, Kursus Jurnalistik dan Jam’iyah An-Nahdhiyah.


Selain itu, MHM juga mewadahi pengembangan intelektual dalam Lajnah Bahtsul Masail Pondok Pesantren Lirboyo (LBM-P2L) yang melaksanakan berbagai kegiatan bahtsul masail, kajian ilmiah, dan sorogan.


Sebelum terbit Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, MHM telah diakui oleh pemerintah dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) dan Menteri Agama (Menag) Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. 
 

Dalam surat tersebut, ditegaskan bahwa para santri di pesantren salafiyah yang berusia 7-15 tahun pada jenjang diniyah awaliyah (dasar) dan diniyah wustha (menengah pertama) yang tidak sedang menempuh pendidikan pada SD/MI dan SLP/MTs atau bukan pula tamatan kedua, dapat diakui memiliki kemampuan setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi dengan menambah setidaknya tiga mata Pelajaran umum, yakni bahasa Indonesia, matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).


Hal itu juga diperkuat dengan Keputusan Bersama Dirjen Binbaga Islam Depag RI dan Dirjen Dikdasmen Depdiknas RI Nomor E/83/2000 dan 166/c/Kep/DS/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar.


Selain tiga mata pelajaran umum itu, para santri juga belajar mengenai pendidikan kewarganegaraan, bahasa daerah, dan ke-NU-an sebagai penunjang pembelajaran.


Adapun materi keagamaannya meliputi berbagai bidang keilmuan, mulai dari nahwu, sharaf, balaghah, fiqih, ushul fiqih, akhlak, tauhid, hadits, tafsir, hingga manthiq dan arudh. Kesemuanya itu diterapkan dengan kurikulum kitab berjenjang. Di tingkat dasar, para santri lebih dahulu dikenalkan dengan pegon, imla, praktik ibadah shalat, dan membaca Al-Qur’an, serta ilmu tajwid.


Diceritakan KH Imam Yahya Mahrus sebagaimana ditulis Ali Anwar dalam Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri (2011), bahwa sempat terjadi perdebatan tentang penggunaan bahasa dalam pembelajaran di Pesantren Lirboyo, antara KH Marzuqi dan KH Mahrus Aly. Kiai Marzuqi menghendaki agar tetap menggunakan bahasa Jawa, sedangkan Kiai Mahrus menginginkan supaya bahasa Indonesia menjadi pengantar. Keduanya bersepakat bahwa kedua bahasa tersebut digunakan dalam porsinya masing-masing, yakni bahasa Jawa sebagai pengantar dalam kelas, sedangkan bahasa Indonesia digunakan dalam musyawarah.


Adapun santri Pondok Pesantren Lirboyo berkembang secara pesat. Saat ini berjumlah 49.927 orang dengan pengurus berjumlah 3.425 orang. Total santri berjumlah 53.352 orang. Sementara di pesantren induk, terdapat 16.480 santri dan 1.186 pengurus sehingga total berjumlah 17.666 orang.


logo