Pesantren Salaf, Bertahan dengan Pembaruan

Pembaruan materi pendidikan dibutuhkan sebagai upaya sistematis untuk menghubungkan ajaran Islam dengan dinamika mutakhir.

Jakarta, NU Online

Pesantren salaf yang tetap menerapkan sistem pendidikannya, masih dan terus bertahan hingga saat ini. Hal ini disebabkan sejumlah alasan yang melatari kepercayaan masyarakat untuk tetap menitipkan anaknya agar dididik di pesantren.


Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Hodri Arief menyebut militansi alumni menjadi satu faktor kebertahanan pesantren salaf.


"Karena militansi para alumninya yang tetap setia mengirimkan anak-anaknya atau anak saudaranya untuk tetap belajar di pesantren tersebut," katanya kepada NU Online pada Rabu (29/1/2025).


Selain itu, pengetahuan keagamaan dipandang sebagai suatu kebutuhan masyarakat sehingga perlu dipelajari secara khusus. Karenanya, mereka menitipkan putra-putrinya ke pesantren salaf.


Begitu pun pesantren salaf secara umum yang lazim tidak berorientasi pada keuntungan. Sebab, para kiai dan para guru mendidik santri dalam kerangka ibadah.


"Karena itu, mereka tidak melihat honor sebagai faktor yang signifikan," katanya.


Meskipun pesantren salaf bertahan dengan tradisionalitasnya, tidak berarti anti terhadap pembaruan. Kiai Hodri memandang hal tersebut perlu dilakukan, khususnya pada konten dan metode pendidikan.

 

Menurutnya, pembaruan materi pendidikan dibutuhkan sebagai upaya sistematis untuk menghubungkan ajaran Islam, baik dalam bidang fiqih, tauhid/ilmu kalam, akhlak-tasawuf, tafsir Al-Qur'an, dan hadits, dengan dinamika mutakhir. Dengan demikian, ajaran agama bisa tetap relevan dengan masalah-masalah yang dihadapi umat.


"Kita perlu membicarakan pembaruan konten ini dengan para pemangku pesantren salaf," ujar kiai yang menamatkan studinya di Pesantren Annuqayah Latee, Sumenep, Madura, Jawa Timur itu.


Di samping itu, pembaruan metode diperlukan. Kiai Hodri berpandangan hal tersebut sebagai penunjang sorogan dan bandongan agar kegiatan pendidikan di pesantren berlangsung dengan baik, cepat, dan mudah.

 
Momen santri putri sedang belajar di dalam kelas. (Foto: istimewa) 


Sementara itu, Hamdan Rasyid menyebut pesantren perlu mereorientasi dari masa lalu ke masa depan. Ia menilai pesantren cenderung mempertahankan orientasi masa lalu tanpa memperhatikan relevansinya di masa mendatang. Hal demikian tampak dari metode pendidikannya juga yang lebih fokus pendalaman materi dan hafalan, tetapi kurang membuka dialog dan pemikiran kritis.


"Akibatnya para alumni pesantren salaf kaya dengan materi ilmu agama, tetapi tidak mampu mengolah materi-materi tersebut agar relevan dengan tuntutan perkembangan zaman," tulis Hamdan dalam artikelnya berjudul Kaderisasi Ulama di Pesantren (1998).


"Akibat selanjutnya mereka kurang mampu berkiprah di tengah-tengah masyarakat modern karena terjadinya kesenjangan antara materi-materi kitab klasik yang dikaji di pesantren salaf dengan realitas kehidupan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat," lanjutnya.


Selain itu, Hamdan menyoroti perlunya pesantren untuk memadukan pemanfaatan fungsi rasio dengan kalbu. Fokus pada kalbu saja, menurutnya, membuat santri kurang kritis dan kurang mampu menyelesaikan masalah umat. Hal ini disebabkan mereka tidak terbiasa menyelesaikan masalah berdasarkan analisis masalah.


"Pesantren memang harus mendidik para santri untuk membiasakan diri melaksanakan berbagai macam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Akan tetapi pada saat yang sama Pesantren juga harus mendidik para santri untuk berpikir secara rasional melakukan perhitungan ke depan membuat prediksi terhadap apa yang akan terjadi dengan melihat tanda-tanda zaman," tulisnya.
 

Hubungan kiai-santri dan sebaliknya

Kiai Hodri menekankan bahwa hubungan kiai dengan santri dan sebaliknya juga perlu perubahan pada satu sisi dan harus tetap dalam sisi yang lain.


Menurutnya, kiai memiliki dua peran sekaligus dalam relasinya dengan santri, yaitu (1) manajer lembaga pendidikan dan (2) teladan spiritual. Pada bagian pertama itulah, relasi kiai dan santri bisa berkembang dinamis dan berubah. Terlebih konteks zaman yang berkembang.


"Perannya sebagai manajer dan leader institusional mengharuskan kiai pengasuh pesantren untuk memainkan peran sebagai bapak dan bahkan teman belajar bagi para santri," kata Kiai Hodri.


Sementara pada bagian kedua, teladan spiritual dan panutan moral, hubungan keduanya harus dibangun selayaknya antara mursyid dengan murid dalam tarekat.


"Ini yang sering saya sampaikan bahwa ada semangat tarekat di pesantren. Bagian ini sangat penting untuk dirawat," ujarnya.


logo