Kendal, NU Online
Pondok Pesantren Salaf APIK Kauman Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah didirikan KH Irfan bin Kiai Musa pada 12 Dzulhijjah 1338 H/12 Februari 1919 M. Sudah lebih dari seabad pesantren ini istiqamah menjaga, melestarikan, dan mengembangkan tradisi dan kekhasan sistem pendidikan pesantren, seperti sorogan, bandongan, muhafadzoh, musyawarah, hingga riyadhah dan tirakat.
Pendalaman ilmu syariat menjadi fokus keseharian para santri dengan berbagai disiplin ilmu yang mereka pelajari, seperti tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu hadits, fiqih, ushul fiqih, qawaidul fiqhiyyah. Hal yang tak tertinggal tentu saja perangkat gramatika bahasa Arab, yakni nahwu, sharaf, termasuk pengetahuan sastranya, meliputi badi’, ma'ani, dan bayan.
Sebelum pendidikan diniyah formal (PDF) hadir sebagai bagian dari satuan pendidikan pesantren, Pondok Pesantren APIK sudah memiliki lembaga pendidikan yang berjenjang dan terstruktur yang disebut Madrasah Salafiyah Miftahul Hidayah (MSMH) PP APIK. Lembaga ini hadir untuk memudahkan evaluasi kemampuan para santri, dimulai dari tingkat persiapan (SP), tsanawiyah, hingga aliyah.
Dengan adanya madrasah ini, pola pembelajaran santri menjadi lebih tertata, baik dari segi pendataan, pemetaan kompetensi, manajemen maupun kurikulumnya yang berjenjang. Sebagai contoh, dalam disiplin ilmu fiqih, santri di tingkat persiapan mempelajari kitab Fasholatan, Mabadi’ Fiqhiyyah, di tingkat tsanawiyah mempelajari Safinah, Bafadhal, dan Fathul Qarib, sedangkan di tingkat aliyah mendalami Fathul Muin hingga Mahalli. Pola ini menunjukkan bahwa kajian keislaman di Pondok Pesantren Salaf APIK telah terbangun dengan kokoh dan sistematis.
Namun seiring berjalannya waktu, kebutuhan para alumni terhadap pengakuan legal formal untuk berperan di masyarakat, terutama dalam aspek adminstrasi birokrasi, semakin meningkat. Menyikapi hal ini, Pondok Pesantren APIK merespons dengan berusaha memfasilitasi para santri melalui satuan PDF yang diakui oleh negara. PDF ini menjadi wasilah untuk memastikan lulusan pesantren memiliki legalitas yang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan birokrasi modern.
Penasihat Pondok Pesantren APIK KH Fadlullah menyampaikan bahwa dalam rentang waktu 2008 hingga 2014, para alumni mendapatkan “Surat Keterangan” yang menjelaskan strata pendidikannya setara dengan madrasah umum formal. Surat keterangan ini diterbitkan Kementerian Agama kabupaten dan diakui oleh negara. Hal ini merujuk kepada regulasi SK Dirjen Tahun 2008, yang memberikan dasar hukum bagi lulusan pesantren untuk mendapatkan pengakuan tersebut.
“Bahwa alumni pesantren itu dapat direkognisi sesuai dengan penjenjangannya melalui kitab-kitab yang dikaji berdasarakan tingkatannya, yaitu tingkat tsanawiyah dan aliyah,” jelas pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah itu.
Pada tahun 2013-2015, Pemerintah melalui Kementerian Agama mulai memberlakukan sejumlah ketentuan yang harus dipenuhi oleh alumni pesantren untuk mendapatkan surat keterangan. Surat keterangan ini menjadi dasar legal formal yang penting bagi alumni pesantren dalam memenuhi kebutuhan administrasi birokrasi. Hal ini terutama diperlukan bagi mereka yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala desa, lurah, perangkat, maupun anggota legislatif.
Meskipun sebelumnya Pondok Pesantren APIK telah memfasilitasi kebutuhan para santri untuk memperoleh ijazah setingkat SMP atau SMA melalui program Wajar Dikdas maupun Paket C, hal ini ternyata belum sepenuhnya mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para lulusan pesantren di masyarakat. Keterbatasan tersebut menunjukkan bahwa masih diperlukan langkah-langkah lain yang lebih komprehensif untuk mendukung keberlanjutan pendidikan pesantren dan pengakuan formal para alumni di tengah masyarakat.
Dalam proses pencarian model pendidikan khas pesantren tersebut, KH Fadlullah sering dilibatkan dalam diskusi Kementerian Agama. Diskusi tersebut mengarah pada pencarian model pendidikan pesantren yang hanya mengaji, tetapi diakui atau mendapatkan rekognisi penuh dari negara. Gagasannya adalah melahirkan sistem baru di mana pesantren tidak lagi perlu mendaftarkan lembaganya untuk mendapatkan pengakuan formal pendidikannya melalui madrasah di bawah Kementerian Agama atau pendidikan formal di bawah Kemendiknas. Sebaliknya, cukup dengan fokus pada kegiatan mengaji, santri tetap dapat memperoleh ijazah formal yang diakui oleh negara.
“Ketepatan memang kita sering diajak diskusi oleh Kementerian Agama Provinsi dan Kemenag RI. Saat itu sedang mencari model pendidikan pesantren hanya mengaji tapi diakui atau mendapat rekognisi penuh oleh negara, tidak lagi pesantren harus mendaftarkan diri untuk mendapatkan pendidikan formalnya ke Kementrian Agama melalui madrasah formal maupun Kemendiknas, tapi cukup ngaji saja namun ijazahnya formal,” ujar Kiai Fad.
Pada tahun 2014, terbitlah SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 5839 Tahun 2014 tentang Pendirian Pendidikan Diniyah Formal (PDF). Regulasi ini memberikan jalan lebar bagi pesantren yang memiliki tradisi kajian kitab kuning atau turats untuk menyelenggarakan pendidikan yang tetap berfokus pada kegiatan mengaji, namun dengan tambahan pengakuan formal dari negara.
Pilot Project Pendidikan Diniyah Formal
Melalui kebijakan ini, pesantren dapat memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kurikulum, sehingga ijazah yang diterbitkan tidak hanya diakui secara keagamaan, tetapi juga memenuhi standar pendidikan formal. Dengan demikian, pesantren tetap dapat menjaga tradisi mendalam dalam kajian agama tanpa harus meninggalkan kebutuhan administratif yang relevan.
“Di tahun 2014 itulah, keluar izin tentang bagaimana pesantren bisa menyelenggarakan pendidikan pesantren hanya mengaji dengan memasukan kurikulum umum atau mapel umum didalam ijazahnya supaya bisa tetap fokus mengaji,” katanya.
Hadirnya PDF ini adalah kesadaran pesantren akan kebutuhan para alumni yang memerlukan pengakuan legal formal. Banyak di antara mereka yang ingin berkontribusi dan berkiprah untuk bangsa dan negara, sebagaimana halnya anak-anak bangsa lainnya. Inilah yang mendorong pesantren untuk mempertimbangkan pentingnya memberikan fasilitas bagi alumni agar memiliki legalitas formal, yang dapat mempermudah mereka dalam berperan aktif di masyarakat.
Pesantren APIK menjadi salah satu dari 14 pesantren yang mendirikan dan menjadi pilot project PDF oleh Kementerian Agama pada tahun 2015. Model pendidikan pesantren ini dirancang dengan tiga jenjang, yaitu ula (dasar), wustha (menengah), dan ulya (atas). Namun, sejak pendiriannya di tahun 2015, jenjang yang pertama kali dibuka adalah jenjang ulya.
Basis kurikulum pesantren di PDF itu selaras dengan kitab-kitab ajar yang ada di APIK. Bahkan, banyak panduan dalam kurikulum PDF diadopsi dari pola pendidikan di Pesantren APIK yang sudah berjalan di Madrasah Salafiyah Miftahul Hidayah (MSMH). Pasalnya, pesantren ini menjadi salah satu memberikan arahan dan pandangan terkait penggunaan kitab-kitab sebagai basis utama dalam kurikulum tersebut.
“Sejak berdirinya di tahun 2015, yang lahir pertama adalah jenjang ulya ketepatan memang kurikulum yang ada di PDF ulya itu hampir semua kurikulum kelas tiga aliyah MSMH Pondok Pesantren APIK,” terang Gus Fad
KH Fadlullah yang juga ketua Asosiasi Pendidikan Diniyah Formal (Aspendif) Indonesia turut menjelaskan bahwa inisiatif Pesantren APIK dalam mengusulkan penggunaan kitab-kitab dalam PDF tersebut agar para santri memiliki bekal yang dapat memfasilitasi mereka ketika kembali ke masyarakat, apa pun peran yang mereka jalani.
Meskipun legalitas formal ini (ijazah) bukan menjadi tujuan utama, tetapi hal ini diharapkan menjadi wasilah yang mempermudah santri dalam urusan administratif, baik untuk memenuhi dorongan pribadi maupun tuntutan masyarakat. Dengan begitu, mereka dapat memberikan kontribusi yang lebih besar di lingkungan sekitarnya.
Kiai Fadlullah juga menjelaskan bahwa PDF di Pondok Pesantren APIK berfungsi sebagai penguat kapasitas pribadi santri khususnya kompetensi sekaligus solusi bagi para santri setelah pulang di kampung halamannya. Menurutnya, sebenarnya kurikulum di Pesantren APIK sudah sangat memadai untuk memenuhi standarisasi kitab kuning, mulai dari tingkat persiapan, tsanawiyah, hingga aliyah. Kurikulum tersebut telah dirancang dengan matang dan mapan.
Oleh karena itu, kehadiran PDF ini, menurutnya, memberikan tambahan rasa percaya diri bagi para santri. Hal ini mengingat proses pendidikan mereka kini diakui secara formal tanpa mengurangi esensi kajian keislaman yang menjadi ciri khas Pesantren APIK sendiri.
“PDF di APIK itu ibarat santri sudah berpakaian rapi dan akan tambah (lebih) PD lagi ketika dipakaikan jas (ilustrasi PDF). Maka dibutuhkan pakaian yang selaras supaya bisa lebih matching sehingga anak-anak santri setelah di rumah itu tambah bermanfaat” imbuhnya.
Adaptasi PDF di Pondok Pesantren APIK berlangsung dengan sangat alami, mengingat kurikulum PDF sejatinya merupakan pengembangan dari kurikulum Madrasah Salafiyah Miftahul Hidayah (MSMH), yang telah menjadi ikon pendidikan di pesantren APIK jauh sebelum adanya PDF. Karena kurikulum ini sudah lama diterapkan, proses integrasinya tidak menemui kendala berarti. Secara keseluruhan, sistem pendidikan di APIK sudah selaras dengan struktur kurikulum PDF, meskipun ada beberapa tambahan kitab yang perlu dikaji.
“Karena sejatinya kurikulum PDF itu kan kurikulum MSMH. Sebelum ada PDF sudah ada MSMH yang menjadi ikon pendidikan di APIK, ya sejak dapat ijop (izin operasional) PDF itu ya tidak mendapati kesulitan apa-apa karena secara tidak langsung sudah terintegrasi, satu kesatuan, mungkin ada tambahan kitab-kitab yang perlu dikaji,” jelas Gus Fad.
Menurut Kiai Fad hingga saat ini, alumni Pondok Pesantren APIK telah banyak yang mengisi posisi-posisi penting di daerahnya, seperti kepala desa, anggota legislatif, bahkan ada yang menjabat sebagai kepala pengadilan tinggi. Kehadiran PDF tentu membuat proses ini menjadi lebih mudah dan membuka peluang lebih besar lagi bagi para santri. Dengan adanya PDF, diharapkan para santri dapat tetap fokus pada kegiatan mengaji dan mengabdi di pesantren, tanpa harus khawatir dengan masalah legalitas pendidikan.