Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) mulai masuk ke wilayah Jawa Barat ditandai oleh kehadiran para kiai dari daerah tersebut sejak Muktamar pertama di Surabaya tahun 1926, salah satunya KH Abdurrahman Menes. Kehadiran para kiai dalam muktamar ini didasarkan pada jejaring keilmuan yang erat melalui status guru-murid dan pertemanan antar-ulama dalam tradisi Ahlussunah wal Jamaah. Cirebon menjadi salah satu contoh utama penetrasi NU, karena daerah ini memiliki banyak santri Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Bahkan, salah seorang pendiri NU, KH Abdul Chalim Leuwimunding dari Majalengka, merupakan representasi awal dari Jawa Barat (yang saat itu masih dihitung sebagai bagian dari Cirebon).
Muktamar NU yang saat itu dilaksanakan tiap tahun dengan tempat berpindah-pindah menunjukkan semakin bertambahnya para kiai dari Jawa Barat. Pada perkembangan selanjutnya, sejak muktamar ke-3 di Surabaya yang memutuskan dibentuknya Lajnatun Nashihin, para kiai Jawa Barat yang hadir rutin ke muktamar tersebut membentuk cabang.
Dari tahun ke tahun, cabang-cabang yang terbentuk semakin bertambah. Para pengurus di tingkat pusat juga semakin sibuk mengembangkan organisasi. Karena itulah HBNO (sekarang PBNU) membentuk sebuah sturuktur yang memfasilitasi HBNO dengan cabang, yaitu consulat. Struktur yang setingkat dengan PWNU saat ini.
Hoofd Consul Nahdlatoel Oelama, berdasarkan Anggaran Rumah Tangga NU 1940 Pasal 19 ayat 1 disebutkan Majelis Konsul terdiri dari seorang kongsol selaku wakil H.B.N.O. Ia dibantu oleh komisaris daerah Ansor dan beberapa orang anggota, di antaranya seorang seorang ulama atau lebih dan pengurus administrasi Consulat yang terdiri dari seorang penulis dan seorang bendahara.
Consulat NU Jawa Barat pada masa Hindia Belanda mencakup tiga provinsi saat ini, yaitu Jawa Barat, Banten, dan Jakarta. Ketuanya adalah KH Zainul Arifin yang tinggal di Jakarta dan memiliki perwakilan di Jawa Barat, Jakarta, dan Banten.
Kemudian, sejak Indonesia merdeka pada 1945, Jakarta menjadi provinsi tersendiri. Karena NU mengikuti luas kewilayahan administrasi pemerintahan Indonesia, maka Jakarta menjadi PWNU tersendiri. Dari 1945 sampai 2005 yang dimaksud Jawa Barat adalah Jawa Barat saat ini dan Banten.
Pada masa Hindia Belanda, Consulat Jawa Barat berubah-ubah penulisannya dalam verslag muktamar NU juga dalam bahasa pers saat itu. Pada verslag muktamar ke-13 di Menes, Pandeglang (Banten) disebut sebagai Consulat HBNO Djawa Barat (Verslag Congres Nahdlatoel Oelama jang Ke XIII Kota Menes Bantam, hlm. 158). Namun, pada verslag muktamar ke-15 di Surabaya 1940 atau muktamar terakhir pada masa Hindia Belanda, pada disebut dengan Consulat daerah Mr. Cornelis (Verslag Congres Nahdlatoel Oelama jang ke-15 di Kota Soerabaja 1940, hlm 34). Hal ini serupa dengan yang diungkapkan dalam bahasa pers pada saat itu, misalnya koran Pemandangan dan Sipatahoenan.
Sampai akhir masa Hindia Belanda, Consulat HBNO Jawa Barat pernah melaksanakan konferensi wilayah sebanyak tiga kali. Pertama berlangsung di Bandung pada 24-25 Desember 1937 sebagaimana disampaikan pada berita berjudul Conferentie Nahdlatoel Oelama Daerah Djawa Barat ke I Diadakan di Bandoeng (Pemandangan, 24 Desember 1937). Kedua, Konferensi Wilayah Consulat HBNO Jawa Barat ke-2 berlangsung di Tasikmalaya pada 25-27 Desember 1938 sebagaimana disampaikan pada berita berjudul Conferentie NO Daerah Djawa Barat ke II (Pemandangan, 23 Desember 1938). Ketiga, Konferensi Wilayah Consulat HBNO Jawa Barat ke-3 berlangsung 25 Maart 1940 Conferentie di Gedong Permoefakatan Indonesia gang Kenari no 15, di kota Jakarta seperti diungkapkan berita berjudul Conferentie Nahdatoel Oelama Daerah Djawa Barat I (Pemandangan, 26 Maret 1940).
Struktur dari masa ke masa
Struktur kepengurusan PWNU Jawa Barat tercatat menjelang Pemilu 1955. Sebetulnya, tahun tersebut bukan tahun berdiri, tapi penyegaran kembali setelah Indonesia merdeka beberapa tahun karena sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, akar PWNU Jawa Barat adalah Hoofd Consul NO Djawa Barat yang aktif di tahun 30-an dengan Ketua KH Zainul Arifin.
Berikut ini adalah nakhoda PWNU Jawa Barat sejak 1955 sampai sekarang:
Rais Syuriyah Jawa Barat adalah KH Mochamad Dahlan (1955-1962), KH Ahmad Dimyati (1962-1968), KH Habib Utsman Al-Aydarus (1968-1974), KH Mustamid Abbas (1974-1980), KH Muhammad Ilyas Ruhiat (1980-1990), KH Abdullah Abbas (1990-2005), KH Asep Burhanuddin (2005-2016), KH Nuh Addawami (2016-2021), KH Abun Bunyamin (2021-sekarang).
Sementara ketua tanfidziyah adalah KH Achamd Dimyati (1955-1962), KH Abdul Muiz Ali (1962-1974), KH Lukman Hakim (1975-1980), KH Hafizh Utsman (1980-1990), KH Dudung Abdul Halim (1990-1995), KH Habib Syarif Al-Aydarus (1995-1999), KH Sofyan Yahya (1999-2006), H Dedi Wahidi (2006-2011), H Eman Suryaman (2011-2016), KH Hasan Nuri Hidayatullah (2016-2021), KH Juhadi Muhammad (2021-sekarang).
Tokoh dan tuan rumah muktamar
NU Jawa Barat merupakan salah satu wilayah yang kader terbaiknya kerap dipercaya pada tampuk kepemimpinan nasional. Rais Aam PBNU 1992-1999 berasal dari Jawa Barat, tepatnya Tasikmalaya, yakni KH Mohammad Ilyas Ruhiat. Sebelumnya, Jawa Barat juga pernah menempatkan diri salah seorang tokohnya, yakni KH Anwar Musaddad sebagai Wakil Rais Aam periode 1979-1984. Pada tanfidziyah, Jawa Barat juga pernah menempatkan tokoh terbaiknya menjadi Ketua Umum PBNU, yaitu KH Said Aqil Siroj pada masa kepemimpinan masa khidmah 2010-2021.
Begitu juga pada badan otonom NU, KH Imron Rosyadi dari Indramayu pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Ansor masa khidmah 1954-1967, Hj Maria Ulfa Ansor yang juga berasal dari Indramayu pernah menjadi Ketua Umum Fatayat NU masa khidmah 2000-2005 dan 2005-2010. Asep Irfan Mujahid asal Ciamis pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) masa khidmah 2015-2018.
Jawa Barat juga pernah menjadi tuan rumah acara-acara akbar NU. Sejak masa Hindia Belanda, secara berurutan, Jawa Barat pernah menjadi tuan rumah muktamar ke-6 di Cirebon pada 1931, muktamar ke-7 di Bandung pada 1932, muktamar ke-8 di Jakarta pada 1933, muktamar ke-13 di Pandeglang pada 1938, muktamar ke- 24 di Bandung pada 1967, muktamar ke-29 di Tasikmalaya pada 1994.
Perhatian terhadap ekonomi
Pada muktamar ke-10 di Surakarta (1935), NU Cabang Bandung melaporkan memiliki 18 ranting. Setiap ranting mengadakan koperasi (Poetoesan Kongres ka 10 di Solo Surakarta 1935, Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama, hlm. 9).
Laporan tersebut bukan sesuatu yang mengherankan karena NU Bandung saat itu dipimpin seorang pengusaha besar pada zamannya, Said Wiratmana Abdurrahman Hasan (Swarha). Dia pengusaha yang tak hanya mencatatkan diri sebagai ketua, tapi berdasarkan koran-koran dan majalah saat itu, rajin turun ke ranting-ranting berpidato khusus urusan ekonomi. Buku Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa mencatat ia satu-satunya pengurus NU dari tingkat ranting sampai tingkat pusat yang masuk kategori tokoh perdagangan (Gunseikanbu, 1944, hlm. 259-260). Koran berbahasa Sunda menyebutnya sebagai moal aya anu bireuk deui. Artinya sangat populer di kotanya (Sipatahoenan, 26 Maret 1935).
Meski demikian, belum ada penjelasan lebih lanjut tentang informasi NU Bandung mengadakan koperasi pada 1935. Justru informasi keberadaan koperasi muncul dari Pandeglang (saat itu masih menjadi bagian dari Jawa Barat) pada berita yang dirilis sebuah koran pada berita dengan judul Cooperatie Pakakas Roemah Tangga (Sipatahoenan, 17 Juli 1935).
Perhatian pada koperasi ditunjukkan NU Tasikmalaya sebagaimana penelitian Upaya lain yang dilakukan NU Tasikmalaya untuk mewujudkan kesejahteraan umat adalah mendirikan koperasi. Pendirian koperasi itu juga dilakukan untuk mewadahi dukungan kalangan pengusaha. Sejak 1930-an pengurus NU mendirikan koperasi yang berusaha menghimpun dana bagi kelancaran usaha anggota, selain untuk kepentingan keorganisasian. Beberapa tokoh NU Tasikmalaya pada 1930-an diketahui juga merupakan pengusaha yang sukses. Ada beberapa di antara mereka yang dapat dikatakan juga sebagai kiai. Contohnya adalah Haji Azhari (Muhajir Salam, dkk. Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya) sebagaimana dikutip dari Soekapoera.
Lebih luas dari koperasi, yakni perhatian pada bidang ekonomi, ditunjukkan NU Cabang Purwakarta (saat ini mencakup Subang dan Karawang). Berdasarkan informasi yang dirilis koran Pemandangan edisi 24 Juli 1939, cabang tersebut dipercaya menjalankan plan ekonomi NU:
Plan Perekonomian jang dimadjoekan kepada Congres jang ke 13 di Menes, jang mendapat samboetan dan kepoetoesan boelat, jalah pertama dari penjelidikan dan ke oetoesan Conferentie NO. daerah jawa Barat, tentang ”Economise Mobilisatie", rentjana dari Tjabang Poerwakarta di Soebang, jang toentoenan dan penjerahan bentoekan commiasienja dipasrahkan pada HB. N.O. di Soerabaja.
Pada edisi lain di koran yang sama, NU Purwakarta menunjukkan sisi keseriuasan melaksanakan aktivitas perekonomian sebagaimana diungkapkan pada berita berjudul Nahdlatoel Oelama dan oeroesan Economie dengan lead Gerakan igama djoega semestinja mengoetamakan perekonomian poela. Dari berita tersebut bahkan sudah terbentuk susunan pengurusnya.
“Kita mendapat kabar bahwa atas initiatiefnja Bestuur Nahdlatoel Oelama tjb. Poerwakarta jg berpoesat di Soebang, maka dalam boelan ini tela dibentoek satoe ceomite Badan Perekonomian dengan soesoenan pengoeroes seperti berikoet:
Voorzitter t. O. Djajawisastra
Secretaris t. Antaatmadja
Pennmgm. t. SastrawidjajaSementara commissarisen akan diambil dari tiap2 kring seloeroeh NU tjb. Poerwakarta.
Ini badan perekonomian sedikit hari lagi akan bersidang, dan maksoednja ialah akan mendirikan berbagai2 tjb, peroesahaan jg tidak melanggar larangan igama Islam. Ialah oentoek memperbaiki perekonomian anggota2 NO.
Djalan oentoek membangoenkan kapitalnja, ialah dengan memoengoet wang taboengan (aandeel) dari anggauta-anggauta N.O. jg seoeka masoek sebagai anggauta ini badan economie,” tulis Pemandangan 1 Mei 1937.
Sayang sekali informasi tersebut tidak ditemukan proses dan keberhasilannya. Namun, tidak ditemukan bukan berarti tidak ada. Bisa jadi, memang cabang tersebut menjalankan misi plan perekonomiannya. Hanya saja, belum ditemukan informasi lengkapnya. Kalaupun rencana tersebut tidak berjalan sama sekali, setidaknya kita mengetahui pada masa lalu, cabang-cabang NU sudah memiliki perhatian, memikirkan, dan berupaya menjalankannya. Namun, karena situasinya tidak memungkinkan -karena situasi kolonialisme bangsa asing dan persoalan sumber daya manusia- niatan semacam itu tidak terlaksana dengan baik.
Upaya-upaya semacam itu, difasilitasi NU sejak awal berdiri sebagaimana dikemukakan Statuten NU saat resmi menjadi perkumpulan menurut peraturan Hindia Belanda Pasal 3 poin F, yaitu "Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama Islam.”
BUMNU
PWNU Jawa Barat saat ini dipimpin Rais Syuriyah KH Abun Bunyamin dan Ketua Tanfidziyah KH Juhadi Muhammad (periode 2021-2026). Sebagaimana NU di masa lalu, PWNU Jawa Barat saat ini memiliki perhatian pada bidang ekonom melalui Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama (BUMNU).
Menurut Kiai Juhadi, ada satu program yang dijalankan yang konsisten di paruh terakhir masa kepemimpinannya, yaitu ekonomi melalui BUMNU.
BUMNU, menurut dia, adalah jihad ekonomi pengurus PWNU Jawa Barat merupakan hasil dari kajian pengurus, yang menyadari keadaan Nahdliyin menghadapi problematika kemandirian ekonomi.
“Pada 2022 PWNU membantuk tim ad hoc dari unsur syuriyah dan tanfidziyah; gabungan, ada perwakilan Lembaga Perekonomian, ada Lembaga Pengembangan Pertanian, unsur sekratris dan bendahara; hasilnya strateginya membangun kemandirian jamiayah Jabar. Muncullah BUMNU,” katanya saat ditemui di kantor PWNU Jawa Barat, Kamis 18 September 2025.
BUMNU bertujuan untuk menggerakkan perekonomian di tingkat cabang-cabang NU. Target awalnya, BUMNU bertugas memastikan bahwa setidaknya 10 persen dari 628 Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) di Jawa Barat memiliki kegiatan usaha. Ini berarti sekitar 60-70 MWCNU diharapkan sudah memiliki unit usaha hingga akhir masa kepengurusan.
Untuk menjalankan BUMNU, PWNU Jawa Barat menunjuk Irman Meilandi sebagai pengelola. BUMNU secara hukum berbentuk koperasi. Saat ini, BUMNU telah mendirikan tiga koperasi dan dua Perseroan Terbatas (PT). Dua entitas utamanya adalah:
Pertama, Koperasi Jasa Manbaul Barokah Jabar. Ini adalah koperasi induk yang menjadi payung bagi usaha-usaha BUMNU. Kedua, Koperasi Konsumen BUMNU Wargi Jabar. Koperasi ini menjalankan program "Belanja Bareng", sebuah inisiatif yang memungkinkan warga NU berbelanja kebutuhan sehari-hari dari BUMNU. Program ini diproyeksikan akan bekerja sama dengan MWCNU dan Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) di seluruh Jawa Barat.
Sementara model bisnisnya menurut Irman, disebut dengan "Belanja Bareng" BUMNU. Model ini dirancang untuk memasok kebutuhan pokok Nahdliyin melalui depo dan warung di tingkat MWCNU dan PRNU.
Salah satu contoh keberhasilan BUMNU terjadi di MWCNU Cibatu, Garut. BUMNU pada mulanya membantu 15 produsen bacang (sejenis kue beras) di sana. Kelompok ini sebelumnya kesulitan mendapatkan bahan baku beras khusus yang sukar didapat di pasaran serta tabung gas. BUMNU membantu mencarikan pemasok beras dengan harga yang lebih murah dan menyediakan gas sehingga setiap produsen dapat menghemat sekitar Rp200.000 - Rp400.000 per bulan.
Meskipun sudah menunjukkan hasil, tapi skalanya masih kecil, masih jauh dari target yang dikehendaki PWNU. Di antara hambatan yang dihadapi dalam menjalankan model itu di antaranya pola pikir pengurus, yaitu masih banyak yang belum memiliki semangat kewirausahaan dan cenderung lebih menyukai dana hibah daripada dana bergulir.
Kedua, keterlibatan pengurus dalam transaksi: BUMNU berusaha menghindari keterlibatan langsung pengurus dalam transaksi harian untuk mencegah masalah. Pengelola usaha disarankan untuk mandiri, tetapi tetap harus menyadari bahwa NU adalah "bos" mereka.
Ketiga, permodalan: tantangan terbesar adalah modal untuk mendirikan depo dan warung baru. Idealnya, satu depo membutuhkan Rp250 juta dan satu warung membutuhkan Rp70 juta. Meski banyak MWCNU yang tertarik (236 MWCNU telah meminta dukungan), ketersediaan modal menjadi kendala utama.
Meski demikian, BUMNU berencana terus mengembangkan unit-unit usaha yang sudah berjalan dengan baik dan mengatasi tantangan yang ada. Untuk memastikan keberlanjutan program ini jika terjadi pergantian kepengurusan, PWNU sedang merancang mekanisme transisi yang sesuai agar BUMNU tetap berjalan dan berkembang meskipun struktur PWNU berubah.
Kaderisasi
Jawa Barat memiliki sejarah demografi yang heterogen dan terbuka. Sejak zaman Hindia Belanda, Kota Bandung, misalnya, telah menjadi rumah bagi penduduk lokal dari berbagai etnis (Sunda, Betawi, Jawa) maupun penduduk asing (Eropa, Tionghoa, Arab). Pada tahun 1934 orang Eropa di Kota Bandung sebanyak 21.691 orang (Edi S. Ekadjati, Sobana Hardjasaputra, Ietje Mardiana, Sejarah Kota Bandung 1945-1979, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1985), hlm 4).
Komposisi penduduk yang beragam ini membentuk watak masyarakat yang dinamis dan menerima hal-hal baru, termasuk gagasan, kebudayaan, dan organisasi. Keterbukaan ini menjelaskan mengapa Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) yang sangat banyak—bahkan tercatat sebagai yang terbanyak kedua di Indonesia hingga tahun 2023, dengan sekitar 116.627 ormas (" Jabar 'Juara', Peringkat 1 Provinsi dengan Jumlah Ormas Terbanyak di Indonesia ", selengkapnya dikutip dari Pikiran Rakyat).
Di tengah lanskap organisasi yang padat ini, NU telah berhasil menancapkan akarnya secara kuat, menjadi salah satu ormas keagamaan (Kosoh. S, dkk., Sejarah Daerah Jawa Barat, (Jakarta, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994), hal. 180). Berdasar data kependudukan dari BPS, umat Islam di Jawa Barat mencapai 97,4 persen dari total populasi, atau sekitar 48,5 juta jiwa.
Kekuatan NU terletak pada afiliasi kulturalnya dengan lembaga pendidikan Islam tradisional. Hal ini terbukti dari data statistik Kemenag, yang menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah pesantren terbanyak di Indonesia, mencapai 12.121 pesantren sebagaimana dilansir dari NU Online. Meskipun afiliasi resmi sulit diukur, secara umum, sebagian besar pesantren ini—terutama di kantong-kantong tradisional seperti Cirebon, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Sukabumi—memiliki akar tradisi yang selaras dengan ajaran dan manhaj NU, menjadikannya lumbung kader utama.
Melihat potensi basis kultural yang masif ini, PWNU Jawa Barat mengambil langkah strategis untuk "menjamiyyahkan" (mengorganisasikan) umat melalui program Pendidikan Dasar-Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (PD-PKPNU), yang digenjot sejak tahun 2022. Gerakan kaderisasi ini menerapkan pola bertingkat: dimulai dari PWNU yang melatih pengurus sendiri, kemudian dilanjutkan ke PCNU (tingkat kabupaten/kota) yang pesertanya adalah seluruh pengurus PCNU.
Selanjutnya, PCNU diwajibkan menyelenggarakan PD-PKPNU bagi pengurus MWCNU (tingkat kecamatan), menjadikannya gerakan kaderisasi struktural yang berjenjang dari atas ke bawah.
Meskipun di tiap cabang melaksanakan kaderisasi secara merata, tapi paling masif dan intensif terjadi di wilayah Jawa Barat bagian selatan. Di Garut dan Tasikmalaya misalnya kaderiasi mencapai 27 angkatan. Intensitas semacam itu tidak lepas faktor penentu: dukungan penuh PCNU meliputi dukungan finansial dan penyediaan instruktur, yang memungkinkan Garut dan Tasikmalaya menyelenggarakan PD-PKPNU secara rutin, hampir seminggu atau dua minggu sekali.
Selain itu, hal yang mesti dicatat dalam kaderisasi di Jawa Barat adalah komitmen peserta dijaga melalui konsep pembayaran yang berlaku di semua lokasi; biaya pendaftaran dianggap sebagai indikator keseriusan dan komitmen, memastikan peserta yang lulus adalah kader yang benar-benar siap berjuang, bukan sekadar "gratisan".
Sembari melanjutkan kaderisasi selama dua tahun lebih, pada tahun ini NU Jawa Barat fokus pada pasca-kaderisasi dan penguatan organisasi. Setiap kegiatan PD-PKPNU diikuti dengan Rencana Tindak Lanjut (RTL) untuk memastikan strukturisasi dan revitalisasi pengurus di tingkat MWCNU agar organisasi aktif kembali.
Langkah ini mencakup: 1) Aktivasi Kepengurusan di ranting dan MWCNU, 2) database pengurus, kader, dan instruktur oleh PCNU, 3) transformasi lailatul ijtima' atau yaumul ijtima' menjadi sarana konsolidasi kader dan evaluasi kinerja bulanan, dan 4) mendorong kemandirian finansial melalui program Koin NU (Kotak Infaq Nahdlatul Ulama), yang terbukti berhasil mengumpulkan dana signifikan di beberapa daerah seperti Sumedang, Subang, dan Garut. Di Garut dan Tasikmalaya bahkan mampu memobilisasi dana pembangunan kantor MWCNU dalam waktu singkat.
