Ramadhan, sebagai bulan yang termaktub dalam Al-Quran, memiliki signifikansi yang mendalam dalam tradisi keislaman. Artikel ini akan menelaah secara komprehensif berbagai aspek Ramadhan melalui pendekatan tafsir tematik.
Kajian akan dimulai dengan menelusuri akar etimologis kata "Ramadhan" untuk memahami konotasi aslinya. Selanjutnya, akan dianalisis ayat-ayat Al-Quran yang secara eksplisit maupun implisit menyinggung bulan Ramadhan, meliputi surat Al-Baqarah, Ad-Dukhan, dan Al-Qadar. Kajian akan membahas interpretasi terhadap Lailatul Qadar dan keagungan Al-Quran sebagai panduan hidup bagi umat manusia.
Selain itu, akan dibahas pula hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah puasa Ramadhan, termasuk rukhshah atau keringanan yang diberikan dalam kondisi tertentu. Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang mendalam dan komprehensif mengenai Ramadhan, tidak hanya sebagai ritual keagamaan semata, namun juga sebagai momentum transformatif bagi setiap Muslim.
Makna Ramadhan dalam Tinjauan Bahasa
Menurut pakar bahasa Arab, Abu Nashr Al-Jauhari (wafat 393 H), kata "Ramadhan" berasal dari akar kata رَمَضَ yang menggambarkan panas terik matahari yang membakar pasir dan benda lainnya. Sebagai contoh, رَمِضَ يَوْمُنَا berarti hari yang sangat panas, dan أَرْضٌ رَمِضَةُ الْحَجَارَةِ merujuk pada tanah yang sangat panas akibat sinar matahari. Dalam tradisi Arab kuno, bulan-bulan dinamakan berdasarkan kondisi alam yang terjadi pada waktu tersebut. Ramadhan, yang terjadi pada musim panas yang sangat terik, dinamakan demikian untuk menggambarkan panas yang menyertai bulan tersebut.
Menurut Ibnu Manzhur (wafat 711 H), Ramadhan juga diambil dari kalimat رَمِضَ الصَّائِمُ, yang menggambarkan rasa panas yang dirasakan oleh orang yang berpuasa, khususnya perasaan panas di perut akibat haus yang mendalam (Lisanul ‘Arab, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2009], juz VII, halaman 181).
Sayyid Muhammad Murtadha Az-Zabidi (wafat 1205 H) memberikan tafsir lain yang menarik. Menurutnya, Ramadhan berasal dari kata رَمَضَهُ الحَرُّ يَرْمِضُهُ إِذا أَحْرَقَهُ, yang bermakna "panas telah membakar seseorang," yang menandakan bahwa bulan Ramadhan adalah waktu yang membakar dosa-dosa umat Islam (Tajul ‘Arus, [Kuwait, Hukumah Al-Kuwait: 1979], juz XVIII, halaman 365).
Penjelasan Az-Zabidi ini sejalan dengan pendapat para ulama mazhab Hanbali, seperti Ibnu Qudamah, yang merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas, di mana Rasulullah saw bersabda:
إنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانَ لِأَنَّهُ يُحَرِّقُ الذُّنُوبَ
Artinya, "Ramadhan disebut Ramadhan karena ia membakar dosa-dosa." (Al-Mughni, [Beirut, Darul Fikr: 1405 H], juz III, halaman 4).
Jadi secara bahasa, Ramadhan bermakna panasnya terik matahari, panasnya perut karena kehausan, serta bermakna simbolis sebagai pembakar dosa.
Ayat-Ayat Ramadhan dalam Al-Quran
Dalam Al-Quran Ramadhan secara eksplisit disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 185 saat Allah menjelaskan Ramadhan sebagai bulan penurunan Al-Quran dan hukum-hukum puasa. Namun demikian secara implisit Ramadhan disebutkan dalam beberapa rumput ayat, yaitu:
- Al-Baqarah ayat 183-187 yang membahas hukum-hukum puasa dan bulan penurunan Al-Quran.
- Ad-Dukhan ayat 3-4 yang membahas malam penuh berkah (laliatul mubarakah) sebagai malam penurunan Al-Quran.
- Al-Qadar ayat 1-5 yang juga membahas malam penurunan Al-Quran yang secara eksplisit disebut sebagai Lailatul Qadar.
Surat Al-Baqarah termasuk kategori surat Madaniyah, yaitu surat yang turun paska hijrah. Demikian pula Al-Qadar menurut pendapat arjah atau yang paling unggul, masuk kategori surat Madaniyah. Sementara surat Ad-Dukhan adalah surat Makkiyah, yang turun sebelum hijrah.
Malam Penuh Berkah dalam Ramadhan: Tafsir Ad-Dukhan Ayat 3-4
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4)
Artinya, “(3) Sesungguhnya Kami (mulai menurunkan Al-Quran pada malam yang diberkahi (Lailatul Qadar). Sesungguhnya Kamilah pemberi peringatan. (4) Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.”
Ayat ini menggambarkan betapa mulianya Lailatul Qadar atau malam yang penuh berkah, yaitu malam waktu Allah menurunkan Al-Quran dari Lauhil Mahfuzh secara utuh ke langit dunia, tepatnya ke Baitul ‘Izzah. Malam ini memiliki makna yang sangat dalam dan menjadi momen yang sangat ditunggu oleh umat Islam setiap tahunnya, khususnya di bulan Ramadhan.
1. Perbedaan Pendapat tentang Lailatul Qadar
Di kalangan para mufassir, terdapat perbedaan pendapat mengenai makna Lailatul Mubarakah dalam ayat. Sebagian ada yang mengartikan sebagai Lailatul Qadar, sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa itu adalah Malam Nisfu Sya'ban. Namun, pendapat yang lebih sahih dan banyak diterima adalah bahwa yang dimaksud dengan Lailatul Mubarakah dalam ayat ini adalah Lailatul Qadar.
2. Hikmah Penurunan Al-Quran di Lailatul Qadar
Penurunan Al-Quran di bulan Ramadhan pada Lailatul Mubarakah mengandung hikmah yang sangat besar. Salah satunya adalah mengikatkan manusia bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Memberi Peringatan, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya: إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ("Sungguh, Kami adalah Dzat yang Maha Memberi Peringatan").
Karena itu, banyak ayat dalam Al-Quran yang memberi peringatan, yang harus dipahami dan diterima oleh umat manusia dengan rasa takut dan penuh kesadaran. (As-Shawi, Hasyiyatus Shawi ‘ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 2004], juz IV, halaman 76).
Selain itu, Lailatul Qadar menjadi malam yang sangat penting bagi umat Islam karena pada malam tersebut, Allah menjelaskan segala urusan penting bagi umat manusia, termasuk rezeki, kematian, dan segala ketetapan yang akan terjadi selama satu tahun. Semua urusan ini disampaikan kepada para malaikat yang ditugaskan untuk mengurusnya. (As-Shawi, IV/76).
3. Makna Peringatan dan Keberkahan
Malam Lailatul Mubarakah mengingatkan umat manusia bahwa di satu sisi, Allah adalah Dzat Yang Maha Memberi Peringatan melalui ayat-ayat Al-Quran yang penuh dengan peringatan. Di sisi lain, malam ini adalah malam penuh berkah yang membawa optimisme dan harapan akan keberkahan hidup.
Sebagai umat yang beriman, kita seharusnya memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai momentum untuk meraih sebanyak-banyaknya keberkahan. Hal ini dapat dilakukan dengan menjalankan amal ibadah baik secara ritual maupun sosial, serta menyadari setiap peringatan yang Allah sampaikan dalam Al-Quran. Peringatan-peringatan tersebut mencakup ancaman bagi mereka yang menyekutukan Allah, mengingkari nikmat-Nya, dan bermaksiat kepada-Nya.
Dengan pemahaman ini, kita diingatkan untuk selalu memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah, memanfaatkan setiap momen dalam bulan yang penuh berkah ini untuk mencapai kebaikan dunia dan akhirat.
Ramadhan bukan hanya kesempatan untuk meningkatkan ibadah, tetapi juga waktu yang tepat untuk memperkuat komitmen kita dalam menghindari larangan Allah. Ini adalah saat yang tepat bagi manusia untuk lebih sadar dan peka terhadap berbagai peringatan-Nya, serta menjadikan setiap momen sebagai langkah untuk memperbaiki diri.
Keagungan Lailatul Qadar dalam Ramadhan: Tafsir Al-Qadar Ayat 1-5
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (4) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)
Artinya, “(1) Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qadar. (2) Tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? (3) Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan. (4) Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. (5) Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar.”
Surat Al-Qadar menegaskan keagungan Al-Quran, baik dari sisi yang menurunkan yaitu Allah, maupun dari sisi waktu penurunan, yaitu malam Lailatul Qadar. Dalam ayat pertama, Al-Quran disebut dengan dhamir atau kata ganti, yang menunjukkan keagungannya. Begitu agung dan populernya Al-Quran di tengah umat manusia, sehingga tidak perlu disebutkan secara langsung.
Lailatul Qadar adalah malam yang penuh dengan keberkahan. Allah menyebutkan dalam Al-Quran bahwa malam ini lebih baik daripada seribu bulan. Keagungan Lailatul Qadar ini mencakup tiga aspek penting: malam ini lebih baik daripada seribu bulan, menjadi waktu turunnya malaikat termasuk Jibril, dan sepanjang malam penuh dengan kebaikan.
1. Lailatul Qadar Lebih Baik daripada 1000 Bulan
Lailatul Qadar sebagai malam turunnya Al-Quran memiliki keagungan yang luar biasa. Al-Quran dengan jelas menyatakan bahwa Lailatul Qadar lebih baik daripada 1000 bulan.
Merujuk penjelasan Ibnu 'Asyur, keagungan Lailatul Qadar tidak terletak pada durasi malam itu, tetapi pada keutamaan yang ada selama malam tersebut, seperti kesempatan untuk beramal saleh, terkabulnya doa, dan pahala sedekah yang sempurna. Keutamaan suatu waktu tidak dilihat dari faktor eksternal seperti cuaca atau durasinya, tetapi dari amalan yang dilakukan pada waktu tersebut.
Allah lebih memandang pada kesalehan manusia, baik secara individu maupun kelompok, serta hal-hal yang mendukung kebenaran dan kebaikan. Keagungan suatu waktu, seperti Lailatul Qadar, diukur oleh amal saleh dan kebaikan yang dilakukan di dalamnya (At-Tahrir wat Tanwir, [Tunis, Dar Sahnun: 1997], juz XXX, halaman 459).
Memang benar, Lailatul Qadar lebih mulia daripada 1000 bulan, namun malam ini akan kehilangan kemuliaannya jika dilewati tanpa amal saleh. Terlebih lagi, jika malam ini dilewati dengan perbuatan maksiat kepada Allah. Sebaliknya, keagungan Lailatul Qadar akan sangat terasa jika dimanfaatkan untuk beribadah dan berbuat kebaikan, baik secara pribadi maupun bersama. Rasulullah saw Bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إيمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (متفق عليه) وفي رواية أحمد بأسناد حسن: وَمَا يَتَأَخَّرَ
Artinya, “Siapa saja yang menghidupkan Lailatul Qadar dengan iman dan mengharap ridha Allah, maka dosanya yang telah lewat akan diampuni.” (Muttafaq Alaih). Dalam riwayat Ahmad dengan sanad hasan terdapat tambahan: “Dan diampuni dosanya yang belum dilakukan.”
2. Lailatul Qadar Malam Turunnya Malaikat
Keagungan Lailatul Qadar semakin sempurna dengan turunnya malaikat, termasuk Jibril, malaikat yang paling mulia. Ini menunjukkan penghormatan Allah kepada umat Muslim dengan mengutus malaikat ke bumi pada malam mulia ini. Para malaikat membawa segala urusan yang telah ditakdirkan untuk setahun ke depan, seperti takdir kehidupan, rezeki, dan lainnya.
Lafal اَلْأَمْرُ dalam ayat ini disebut dalam bentuk nakirah (umum) untuk menunjukkan bahwa perkara yang dibawa malaikat mencakup segala urusan, baik yang berhubungan dengan kehidupan dunia maupun akhirat. Ini menjelaskan bahwa para malaikat turun untuk membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia, baik urusan duniawi maupun ukhrawi (Ibnu 'Asyur, XXX/463 dan Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2000], juz XXXII, halaman 35).
3. Lailatul Qadar: Keselamatan Sepanjang Malam
Keagungan Lailatul Qadar tidak hanya berlaku pada sebagian waktu malam, tetapi sepanjang malam. Keselamatan yang disebutkan dalam ayat kelima adalah keselamatan yang bersifat umum, mencakup seluruh kebaikan dan keberkahan yang ada di malam itu. Tidak ada keburukan dalam Lailatul Qadar. (At-Thabari, Jami’ul Bayan, [Muassasah Ar-Risalah: 2000], juz XXIV, halaman 534-535 dan Al-Mawardi, An-Nukat wal ‘Uyun, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah, 2012], juz VI, halaman 314).
Sepanjang malam Lailatul Qadar dipenuhi dengan keselamatan, kebaikan, dan keberkahan bagi umat manusia yang menggunakannya untuk ibadah dan memanjatkan doa. Namun, malam ini akan sia-sia bagi mereka yang menyia-nyiakannya atau bahkan menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah.
Malam Lailatul Qadar adalah kesempatan emas untuk beramal saleh dan meraih ridha Allah, bagi setiap umat Islam yang ingin memperoleh keberkahan dan ampunan-Nya.
Dengan memahami betapa agungnya Lailatul Qadar, kita diingatkan untuk memanfaatkannya secara optimal. Beribadah, memohon ampunan, dan berdoa dengan penuh keimanan, serta melakukan amal saleh sepanjang malam Lailatul Qadar, adalah cara terbaik untuk mendapatkan segala kebaikan dan keberkahan yang ditawarkan oleh malam penuh rahmat ini.
Puasa Ramadhan: Tafsir Al-Baqarah Ayat 183-187
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184) شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (185) وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (186) أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)
Artinya, “(183) Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
(184) (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(185) Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.
(186) Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(187) Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.”
Rangkaian ayat 183-187 surat Al-Baqarah menjelaskan tentang puasa Ramadhan yang meliputi hukum, tujuan, teknis, dan berbagai yang berkaitan dengannya.
1. Tujuan Puasa Ramadhan
Orang yang berpuasa harus mengingat tujuan utama puasa Ramadhan yaitu agar bertakwa. Tujuan akhir puasa Ramadhan adalah peningkatan ketakwaan orang yang berpuasa dengan semakin disiplin menjalankan perintah Allah dan menjauhi berbagai larangan-Nya.
Mengapa puasa dipilih untuk mendisiplinkan manusia? Tiada lain karena awal mula perbuatan keji, kezaliman, dan kejahatan dimulai nafsu yang tidak terkendalikan. Dalam titik ini puasa yang dilakukan secara benar dapat meningkatkan kemampuan manusia dalam mengendalikan nafsunya. Dengan nafsu yang terkendali orang akan semakin mudah menjalankan perintah Allah dan menjauhi berbagai larangan-Nya.
Berkaitan fungsi puasa ini, Rasulullah saw bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ؛ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
Artinya, “Wahai para pemuda, siapa saja yang mampu menikah (mempunyai biayanya), maka menikahlah, karena sunggu hal itu lebih menjaga pandangan dan lebih menjaga kemaluan; dan siapa saja yang tidak mampu menikah, maka hendaklah berpuasa, karena sungguh puasa dapat mengendalikan atas hawa nafsu.” (Muttafaq ‘Alaih).
Menjadi sangat wajar, Allah mewajibkan puasa Ramadhan bagi umat Islam, agar menjadi momentum emas bagi mereka dalam menempa diri agar semakin mampu mengendalikan hawa nafsu, hingga menjadi pribadi yang semakin bertakwa. Semakin disiplin beribadah, semakin baik dalam pergaulan sosial, dan semakin kuat menghindari segala godaan dalam kehidupan.
Pun demikian, tak dipungkiri puasa sebulan penuh terkadang berat dan membuat kepayahan. Karena itu Allah memberikan komparasi kewajiban puasa Ramadhan ini dengan kewajiban puasa umat-umat terdahulu. Yang berpuasa bukan hanya umat Muhammad saw saja, tapi umat-umat sebelum-Nya.
Dengan begitu, umat Islam tidak merasa sendirian dalam menjalankan kewajiban puasa dari Tuhan-nya. Bahkan Allah mengungkapkan puasa sebulan penuh dengan bahasa yang sangat memudahkan:أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ, ‘beberapa hari saja’. Ini semakin memperingan orang yang berpuasa. (As-Shawi, I/116).
2. Hukum dan Teknis Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya wajib sebagaimana dijelaskan dalam Al-Baqarah ayat 183 dan 185. Waktunya dimulai dari fajar hingga terbenam matahari, sedangkan di malam hari hingga fajar terbit boleh makan, minum, dan menggauli istri seperti dijelaskan dalam ayat 187.
3. Rukhsah dalam Puasa Ramadhan
Meskipun puasa Ramadhan itu berat, namun terdapat banyak rukhsah atau keringanan di dalamnya. Orang yang sakit sehingga sangat berat berpuasa, demikian pula orang yang sedang dalam perjalanan jauh sehingga cukup payah jika berpuasa, maka mereka boleh tidak berpuasa Ramadhan dengan konsekuensi menggantinya di luar bulan Ramadhan saat sudah sembuh atau selesai dari bepergiannya.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya, “Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184).
Bahkan di awal pensyariatan, tahun kedua setelah Hijrah, kewajiban puasa Ramadhan bersifat opsional yang bisa diganti dengan membayar fidyah. Yaitu berupa pemberian makanan pokok kepada satu orang fakir per satu harinya. Hukum puasa sebagai kewajiban opsional -terus berlangsung sampai turun ayat-ayat yang menasahkhnya, hingga benar-benar menjadi kewajiban yang tidak dapat diganti dengan selainnya.
Berkaitan hal ini Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
عَنْ يَزِيدِ مَوْلَى سَلْمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ عَنْ سَلْمَةَ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ: وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ، كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيُفْتَدِي حَتَّى نَزَلَتِ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا.
Artinya, “Dari Yazid, maula Salmah bin al-Akwa', dari Salmah, dia berkata: ‘Ketika turun ayat: ‘Dan bagi orang-orang yang mampu melaksanakannya, maka fidyahnya adalah memberi makan seorang miskin’ [Al-Baqarah: 184]. Maka siapa saja yang ingin berbuka dan membayar fidyah diperbolehkan, hingga turun ayat yang berikutnya yang menghapusnya (Al-Baqarah: 185).” (HR Al-Bukhari).
Meskipun pada akhirnya kewajiban puasa Ramadhan berlaku mutlak, tidak lagi opsional, namun keringanan boleh tidak puasa tetap berlaku dalam kondisi khusus, semisal sakit atau dalam perjalanan jarak jauh (radius boleh meng-qashar shalat, 80, 64 km). Ini menunjukkan karakter dasar Islam sebagai agama yang memudahkan bagi para pemeluknya.
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya, “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan pada kalian.” (Al-Baqarah: 185).
Ini juga menunjukkan Islam sebagai agama yang proporsional. Satu sisi mewajibkan puasa Ramadhan agar manusia semakin meningkat kemampuannya dalam mengendalikan diri, dan satu sisi memberi berbagai kemudahan dalam pelaksanaannya.
Keringanan dalam menjalankan puasa juga tampak dalam kebolehan menggauli istri di malam hari. Di awal pensyariatan bila sudah masuk waktu Isya atau sudah tidur, orang tidak boleh makan minum dan menggauli istri. Ini cukup berat bagi para sahabat. Bahkan beberapa di antara mereka tidak mampu melakukannya. Kemudian turunlah ayat yang secara lugas menjelaskan kebolehan makan dan minum, serta menggauli istri di malam hari.
Allah berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
Artinya, “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187).
Berkaitan hal ini Imam Al-Bukhari meriwayatkan:
عَنْ الْبَرَاءِ رَضِيَ اللَّهِ عَنْهُ قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ الإِفْطَارُ، فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلا يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِي. وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صَرْمَةَ الْأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا، فَلَمَّا حَضَرَ الإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ فَقَالَ لَهَا: أَعِندَكِ طَعَامٌ؟ قَالَتْ: لَا وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ. وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ. فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ: خَيْبَتَكِ لَكَ، فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارِ، غَشِيَ عَلَيْهِ. فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصَّوْمِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ، فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا، وَنَزَلَتْ: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ. (رَوَاهُ الْبُخَارِي)
Artinya, “Dari Al-Barra' ra, ia berkata: ‘Para sahabat Muhammad saw apabila seorang pria sedang berpuasa dan tiba waktunya berbuka, kemudian ia tidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan malam itu dan tidak pula makan pada hari berikutnya hingga malam tiba. Sungguh Qais bin Sharmah Al-Ansari adalah orang yang sedang berpuasa, ketika waktu berbuka tiba, ia mendatangi istrinya dan bertanya, 'Apakah ada makanan?' Istrinya menjawab, 'Tidak, namun aku akan pergi mencarikannya untukmu.' Pada hari itu, ia bekerja keras, dan karena kelelahan, matanya terpejam (tidur). Ketika istrinya melihatnya, ia berkata, 'Celakalah kamu.' Ketika tengah hari (berikutnya) tiba, ia pingsan. Hal itu diceritakan kepada Nabi saw, lalu turunlah ayat ini: ‘Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa untuk mendekati istri-istri kalian’ (Al-Baqarah: 187). Mereka sangat gembira dengan hal itu. Kemudian turun pula ayat: ‘Dan makanlah serta minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam.’ (Al-Baqarah: 187)." (HR Al-Bukhari).
4. Puasa Ramadhan Momentum Transformasi bagi Setiap Muslim
Penjelasan Al-Quran tentang puasa Ramadhan ditutup dengan penegasan bahwa hukum-hukum Allah, khususnya tentang puasa Ramadhan, telah dijelaskan secara rinci dan tidak boleh dilanggar.
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)
Artinya, “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” (Al-Baqarah: 187).
Dengan menjalankan Puasa Ramadhan secara disiplin sesuai syariatnya, seorang Muslim semestinya dapat menjadi pribadi yang bertakwa. Disiplin menjalankan perintah Allah dan menjauhi berbagai larangannya secara totalitas.
Cakupan takwa memang begitu luas. Dalam konteks sekarang yang termasuk yang penting penting adalah membentuk diri menjadi pribadi yang amanah, yang dapat dipercaya, sesuai peran masing-masing orang.
Sebagai anak dapat dipercaya oleh orang tua dalam menjalankan kegiatan belajar. Diberi uang saku dan berbagai fasilitas belajar, maka harus belajar secara optimal dan tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diperolehnya.
Sebagai pasangan suami istri harus menjadi pribadi yang dapat dipercaya pasangannya. Istri dapat menjaga harga diri dan kehormatan, demikian pula suami dapat bertanggungjawab sebagai imam dalam rumah tangga secara maksimal. Memenuhi kebutuhan hidup istri dan anak secara layak dan membimbing mereka dalam ketaatan kepada Tuhan.
Sebagai pekerja atau pebisnis, harus menjadi pribadi yang amanah dalam pekerjaan dan bisnis yang dijalankan. Tidak melakukan tipu-menipu dan merugikan hak orang lain.
Demikian pula pegawai dan pejabat negara, harus menjadi pribadi yang benar-benar mampu menjalankan tugas dan perannya secara baik. Memberi pelayanan terhadap rakyat secara maksimal. Tidak melakukan korupsi dan memakan uang rakyat secara zalim dan semena-mena sebagaimana yang masih saja terjadi hingga sekarang.
Bulan Ramadan sebagai bulan istimewa harus menjadi momentum transformasi bagi setiap Muslim, sehingga dapat menjadi kesempatan untuk meningkatkan ketakwaan diri secara total. Baik ketakwaan dalam kepatuhan menjalankan ibadah ritual kepada Tuhan, maupun ketakwaan dalam kehidupan sosial di antara manusia.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian tafsir tematik yang telah dipaparkan, dapat ditarik beberapa poin penting terkait bulan Ramadhan:
- Secara etimologis, Ramadhan mengandung makna yang berkaitan dengan panas, baik yang bersifat fisik maupun simbolis, yaitu "membakar" dosa
- Al-Quran sebagai petunjuk utama bagi umat Islam, diturunkan pada bulan Ramadhan, menjadikannya bulan yang istimewa.
- Lailatul Qadar, sebagai bagian integral dari Ramadhan, memiliki keutamaan yang lebih baik daripada 1000 bulan. Malam ini menjadi waktu yang sangat dinantikan oleh umat Islam untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
- Ibadah puasa Ramadhan memiliki tujuan yang luhur, yaitu meningkatkan ketakwaan. Melalui puasa, seorang Muslim diharapkan mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu dan meningkatkan kualitas ibadahnya.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa Ramadhan, termasuk rukhshah atau keringanan, menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan umatnya.
- Bulan Ramadan adalah momentum transformasi bagi setiap Muslim untuk meningkatkan ketakwaan, baik dalam ibadah kepada Tuhan maupun dalam kehidupan sosial.
Dengan memahami berbagai aspek Ramadhan dalam perspektif tafsir tematik ini, diharapkan umat Islam dapat menjalankan ibadah puasa dengan lebih baik dan meraih segalam manfaat dan keberkahan yang terkandung di dalamnya. Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Tengah, dan Dosen Tafsir Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo.