Redam Konflik Orang Tua dan Anak dengan Cara Meninggalkan Ego Antargenerasi

Orang tua sering menganggap generasinya paling kuat dan hebat. Sementara anak merasa sebagai generasi yang berbeda dengan generasi orang tuanya yang dinilai kolot.

Jakarta, NU Online

Praktisi kesehatan mental Adjie Santosoputro menegaskan bahwa mengurangi ego antargenerasi dalam pola asuh dapat meredam konflik antara orang tua dan anak sekaligus konflik antargenerasi.


“Untuk meredam konflik antargenerasi, kita perlu mewaspadai ego generasi. Generasi Z sering menganggap 'aku berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi tua itu kolot'. Sementara generasi tua menganggap 'generasi kami lebih kuat dan lebih hebat'. Ego antargenerasi ini menciptakan fragmentasi selama masing-masing generasi merasa lebih hebat,” tegasnya dalam bincang santai bertajuk Healing Journey: Cara Gen Z Mengatasi Luka Batin pada Festival Keluarga Indonesia di Mal Kota Kasablanka, Jakarta, Ahad (2/2/2025).


Lulusan Psikologi Universitas Gadjah Mada itu juga menegaskan bahwa selama ego antargenerasi itu terus berlanjut, maka keakraban dalam pola asuh akan sulit terbentuk, sehingga penting bagi orang tua dan anak keluar dari ego antargenerasi.


Adjie juga menjelaskan kecenderungan orang tua yang menerapkan pola pengasuhan masa kecilnya, yang tidak sesuai dengan zaman anak-anaknya saat ini karena kondisi zaman yang sudah berubah.


“Salah satu ketakutan manusia adalah perubahan. Generasi orang tua tanpa sadar menganggap bahwa zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan zaman dahulu, padahal percepatan perubahan zaman luar biasa cepat,” ujarnya.


Overthinking

Selain itu, Adjie menyampaikan bahwa penyebab overthinking adalah hilangnya momen-momen jeda atau hening (doing nothing) yang jarang dilakukan. Misalnya, ketika tidak melakukan apa-apa, orang pada zaman sekarang langsung mengambil telepon genggamnya kemudian memasukkan berbagai informasi dalam pikirannya.


“Pikiran terdiri dari dimensi berpikir (thinking) dan kesadaran (awareness). Namun, kini kita kekurangan awareness yang justru lahir saat doing nothing (seperti duduk diam). Akibatnya, saat tidak melakukan apa-apa, banyak orang merasa bersalah atau merasa tertinggal dengan tren-tren terbaru,” ungkapnya.


Ia juga mengingatkan bahwa kebocoran terbesar manusia saat ini adalah kebocoran pikiran atau yang sering disebut Gen Z adalah overthinking. Adjie mengatakan bahwa overthinking bisa diselesaikan dengan belajar lebih santai dan memberi ruang bagi kesadaran.


Senada dengan Adjie, Kreator Konten Dialogue Positive Riza Abu Sofyan (Abu Marlo) menekankan pentingnya melatih kesadaran diri untuk menyembuhkan luka batin dan pola asuh yang tepat untuk meredakan overthinking.


“Yang terpenting adalah memunculkan self awareness, dengan dilatih dan pola pengasuhan dalam keluarga juga sangat berpotensi besar dalam konteks luka batin. Jadi kuncinya adalah kembali ke rumah,” tegasnya.


Abu Marlo juga menekankan pentingnya kesadaran diri untuk menyembuhkan luka batin, dan di era dengan banyaknya informasi saat ini sebenarnya sangat memudahkan untuk mencari cara menyembuhkannya.  


“Akan selalu lebih banyak orang yang tidak mengerti kita dibanding mengerti kita. Oleh karena itu, ketika kita memiliki luka maka menyembuhkan luka adalah tugas kita sendiri,” katanya.


Abu Marlo juga menyampaikan bahwa pentingnya kolaborasi antargenerasi, yakni antara orang tua dengan anak, untuk menyembuhkan luka batin. Sebab jika satu anggota keluarga memiliki luka batin maka seluruh rumah akan merasakan dampaknya.


Dalam kesempatan ini, Abu Marlo menekankan pentingnya pemahaman dan pengetahuan mendalam mengenai spiritualitas pada generasi muda untuk memahami nilai kemanusiaan.


“Orang tua kerap menyalahkan masalah anak pada kurang iman. Padahal akarnya bisa jadi kurang pengetahuan, bukan kurang iman. Oleh karena itu, kesadaran spiritual dalam keluarga harus dipahami dalam konteks tradisi yang utuh, bukan sekadar kulitnya saja. Ibadah bukan hanya untuk menghindari dosa atau neraka, melainkan jalan memahami nilai kemanusiaan,” terangnya.


Mufidah Adzkia
Kontributor

Lainnya

logo