Rekonstruksi Gagasan Keluarga Maslahah Gurutta KH Ali Yafie

KH Ali Yafie menegaskan keluarga merupakan ruang penting untuk mewujudkan nilai-nilai Islam. Karenanya keluarga harus bertujuan menghadirkan kebaikan.

Gagasan Gurutta KH Ali Yafie mengenai maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan hukum Islam) adalah pondasi dari seluruh pemikiran beliau terkait hukum Islam dan isu-isu kontemporer. Gurutta juga orang yang pertama kali mengenalkan prinsip hifz al-bi’ah (perlindungan lingkungan dan alam), menambahkan prinsip yang lima (al-kulliyat al-khams) dalam konsep maqashid asy-syari’ah, sehingga menjadi enam (al-kulliyat as-sitt). Tidak berlebihan, jika disematkan pada Gurutta gelar “Bapak Maqashid asy-Syari’ah Indonesia” karena dedikasinya yang terus menerus mengenalkan konsep maqashid asy-syari’ah ini dalam kancah intelektual Indonesia. 


Ada tiga momentum perkenalanku dengan konsep Maqashid asy-Syari’ah Gurutta. Yang terakhir adalah perjumpaan pada saat membezuk di rumah Bintaro, tahun 2020, bersama guruku KH Husein Muhammad, ditemani guruku juga Bang Helmi Ali, anak kedua Gurutta. Sambil berbaring lemah secara fisik di ranjang, di usia 94 tahun, setelah ditinggal wafat sang istri, Gurutta masih lantang berbicara tentang konsep maqashid asy-syari’ah dalam diskusi fiqh kontemporer. 


Momentum sebelumnya, sekitar tahun 2005, aku diajak kolega Marzuki Wahid untuk membaca draft buku gurutta mengenai fiqh lingkungan. Aku diminta Bang Helmi Ali saat itu, untuk melengkapi teks-teks hadits yang relevan dengan isu lingkungan. Buku ini secara terang benderang mendasarkan pada konsep maqashid asy-syari’ah. Penambahan prinsip keenam hifz al-bi’ah dijelaskan secara gamblang di buku ini. Aku menikmati konsep maqashid asy-syari’ah Gurutta ini langsung dari semenjak draf sebuah buku.


Momen yang paling awal, lupa persisnya tahun berapa, mungkin mulai tahun 2001 ketika mengawali aktif di Rahima dan sering bertemu Bang Helmi. Aku mendengar cerita bahwa istilah kemaslahatan dalam Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) berkaitan dengan gagasan Gurutta yang brilian dan monumental mengenai keluarga berencana pada saat Pemerintah Orde Baru. 


Di era Orde Baru, ketika Keluarga Berencana menuai resistensi dari banyak kelompok Islam, Gurutta membangun logika fiqh berbasis maqashid asy-syari’ah untuk menunjukkan bahwa keluarga berencana sejalan dengan nilai-nilai Islam. Beliau menekankan bahwa menjaga keseimbangan antara jumlah anak dan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan mereka adalah bagian dari upaya menghadirkan kemaslahatan. Pendekatan ini berhasil meyakinkan umat Islam untuk menerima program keluarga berencana sebagai langkah yang mendukung terciptanya kehidupan keluarga yang lebih berkualitas.


Maqashid dalam momen bezuk itu sudah dibukukan Kiai Husein berjudul Dialog dengan Kiai Ali Yafie: Hak Asasi Manusia, Pancasila, Negara Bangsa, Peran Akal, Konservatisme Peradaban Teks, Tafsir dan Upaya Mendialogkan Teks dan Realitas (Yogyakarta: IRCISOD, 2020). Momen maqashid lingkungan juga bisa ditemukan dalam buku Gurutta berjudul Merintis Fiqh Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Amanah, 2006).


Sementara momen maqashid dalam isu-isu keluarga ini masih berlanjut dan sering kami bicarakan, sejak tahun 2018, bersama Ning Hj. Alissa Wahid dan Mbak Nyai Hj. Nur Rofiah, terutama mulai akhir tahun 2022 untuk menyusun buku babon mengenai Keluarga Maslahah (sedang proses untuk diterbitkan). 


Tulisan pendek ini berusaha ini merekonstruksi gagasan dasar maqashid asy-syari’ah Gurutta dari inspirasi tiga momentum di atas, sebagai framework bagi pengembangan fiqh mengenai isu-isu relasi keluarga. Isu keluarga ini, masih sangat sedikit didasarkan pada konsep maqashid asy-syari’ah. Selama ini, konsep maqashid asy-syari’ah didiskusikan sebagai dasar pembaruan isu-isu publik (‘ammah), belum, atau jarang sekali pada isu-isu rumah tangga, relasi pasangan suami istri, dan relasi antar anggota keluarga. 


Untuk rekonstruksi Maqashid Gurutta dalam isu keluarga dan rumah tangga ini, juga diambil dari inspirasi kisah izin beliau kepada sang istri, Hj. Aisyah Umar, ketika tidak pulang ke rumah karena pekerjaan dan organisasi; kisah memilih tetap berada sekamar di rumah sakit sekalipun dinyatakan sembuh dan boleh pulang karena sang istri masih belum dinyatakan sembuh; dan pilihanya berbaring sepeninggal sang istri di ranjang yang biasa dipakai bareng. 


Kisah-kisah ini aku dengar langsung dari Bang Helmi Ali pada peringatan wafat Gurutta yang ke-40 hari. Tentu masih banyak kisah-kisah lain yang bisa memberi inspirasi sebuah relasi pasutri antara Gurutta dan sang istri, serta antar anggota keluarga dalam rumah tangga. Dari inspirasi kisah-kisah ini, aku akan mengantar konsep maqashid asy-syari’ah, dari pembicaraan yang biasanya hanya terkait kemaslahatan publik (mashlahah ‘ammah) menjadi kemaslahatan yang mencakup publik sekaligus domestik dengan relasi yang juga maslahah antara laki-laki dan perempuan (mashlahah cum-mubadalah).


Dalam rekonstruksi ini, perspektif maslahah Kiai Ali Yafie menegaskan bahwa keluarga merupakan ruang penting untuk mewujudkan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, keluarga harus dikelola dengan tujuan menghadirkan kebaikan (jalb al-mashalih) dan mencegah kerusakan (dar’ al-mafasid). Konsep Keluarga Maslahah, dengan demikian, menawarkan panduan bagaimana keluarga dapat menjadi maslahah secara internal dan eksternal. 


Menjadi maslahah secara internal, artinya keluarga menjadi tempat yang baik dan memberi manfaat, harmonis, sejahtera, dan adil bagi semua anggotanya—ayah, ibu, dan anak-anak. Secara eksternal, Keluarga Maslahah berarti keluarga yang para anggotanya juga memberikan manfaat dan kebaikan yang seluas-luasnya kepada publik, masyarakat, dunia, dan semesta. Konsepsi Keluarga Masalahah tidak hanya fokus pada urusan spiritual, gagasan ini juga merangkul kesejahteraan fisik, emosional, hingga pendidikan.


Ning Hj. Alissa bercerita bahwa pikiran dasar Keluarga Maslahah Gurutta adalah keluarga dimana ayah shalih dan ibu menjadi shalihah, anak-anak adalah abror (berbuat baik), dzurriyah thoyyibah (keluarga sejahtera), dengan cukup rezeki dan pendidikan memadai. Dari pandangan Gurutta ini, kami (aku, Ning Alissa, Mbak Nyai Nur, dan para senior di LKK PBNU) merumuskan pondasi Keluarga Maslahah, dalam tiga dasar utama: keseimbangan (muwazanah), kesalingan (mubadalah), dan keadilan (‘adalah). 


Fondasi ini, untuk menumbuhkan benih-benih dzurriyah thoyyibah, kami perkuat dengan lima pilar: dalam kehidupan keluarga, yaitu berpasangan (zawaj), ikatan yang kokoh (mitsaqan ghalizan), saling rela (taradhin), saling berembuk (musyawarah), dan saling berbuat baik (mu’asyarah bil ma’ruf). Fondasi dan pilar ini menjadikan keluarga sebagai ruang di mana semua anggotanya dapat berkembang dan menjalankan perannya dengan saling menghormati dan bekerja sama.


Dalam rekonstruksi Keluarga Maslahah berbasis Maqashid Gurutta Kyai Ali Yafie ini, prinsip relasi berkeluarga adalah kesalingan (mubadalah). Suami dan istri adalah subjek penuh dalam kehidupan keluarga, dengan hak dan kewajiban yang saling melengkapi. Kesalingan ini juga tercermin dalam kehidupan pribadi beliau bersama istrinya, di mana mereka saling mendukung dalam menghadapi berbagai tantangan. Inspirasi ini menunjukkan bahwa kesetaraan dalam keluarga bukan hanya ideal, tetapi juga praktik yang bisa diwujudkan.


Menariknya, Kiai Ali Yafie juga menyoroti pentingnya perlindungan lingkungan hidup. Karena itu, cinta lingkungan juga menjadi karakter dasar dalam konsepsi Keluarga Maslahah. Konsepsi ini meyakini bahwa keluarga tidak dapat hidup sejahtera tanpa lingkungan yang sehat. Oleh karena itu, pendidikan untuk menjaga kelestarian alam menjadi bagian integral dari upaya menciptakan keluarga yang harmonis. Konsep ini menempatkan keluarga sebagai bagian dari ekosistem yang lebih luas, yang saling bergantung satu sama lain.


Karena itu, dalam konsepsi Keluarga Maslahah yang disusun LKK PBNU, ada sembilan karakter keluarga. Yaitu, (1) Keluarga sebagai sumber ketenangan jiwa para anggotanya; (2) Keluarga sebagai ruang dan praktik pendidikan akhlaq karimah; (3) Keluarga membiasakan relasi kesalingan dan kerjasama dalam kebaikan; (4) Keluarga mempraktikkan amalan ibadah Aswaja NU; (5) Keluarga memiliki cukup rezeki untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya; (6) Keluarga memiliki sikap moderat (tawasut) dan seimbang (muwazanah) dalam mengelola kehidupan; (7) Keluarga memiliki komitmen untuk berkiprah bagi kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah); (8) Keluarga memiliki komitmen untuk mencintai tanah air (hubb al-wathon); dan (9) Keluarga memiliki komitmen untuk mencintai alam (hubb al-bi’ah).  


Di tengah berbagai tantangan keluarga modern, seperti meningkatnya angka perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan tekanan ekonomi, penggunaan narkoba, pornografi, radikalisme, dan perusakan alam, gagasan Keluarga Maslahah, yang berbasis Maqashid Gurutta ini, menawarkan solusi yang relevan. Dengan menerapkan prinsip keadilan, kesalingan, dan keseimbangan, keluarga tidak hanya dapat bertahan dan berkembang dalam situasi yang penuh dinamika, tetapi juga berkiprah bagi umat, bangsa, dan semesta. Konsep ini tidak hanya berbicara tentang spiritualitas, tetapi juga memberikan panduan praktis untuk kehidupan sehari-hari.


Rekonstruksi pemikiran Gurutta Kyai Ali Yafie tentang Keluarga Maslahah ini dilakukan untuk menegaskan bagaimana nilai-nilai Islam dapat menjadi solusi atas tantangan kehidupan modern. Gagasan ini mengajak kita untuk melihat keluarga sebagai ruang yang penuh berkah, di mana setiap anggota dapat merasa dihargai, dilindungi, dan diberdayakan. Dengan begitu, Keluarga Maslahah bukan hanya menjadi cita-cita, tetapi juga kenyataan yang bisa diwujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

 

Faqihuddin Abdul Kodir, Pengurus LKK  PBNU


Lainnya

logo