Menurut Kiai Sahal, sebuah keluarga dapat menjadi maslahah jika setiap anggotanya mampu memahami hak dan kewajibannya setara dengan pemahamannya atas hak dan kewajiban anggota yang lain.
Pemaknaan mengenai keluarga maslahah yang dituliskan oleh Kiai Sahal Mahfudh dalam makalahnya yang berjudul Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Maslahah ini cukup menarik. Mengingat istilah yang pernah cukup familiar di kalangan Nahdliyin pada era 1990-an ini, kini kembali diunggah sebagai pijakan gerakan.
Dakwah mengenai keluarga maslahah menjadi bagian penting bagi gerakan pemikiran Kiai Sahal, terutama pada akhir 1980-an hingga awal 2000-an. Ketika itu, Kiai Sahal dan Nyai Nafisah Sahal secara aktif bekerja sama dengan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) melakukan traveling seminar di berbagai kota di Indonesia, bahkan hingga Filipina.
Kegiatan tersebut memiliki tujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya membangun keluarga maslahah. Mengenai hal ini, Kiai Sahal dalam makalahnya yang berjudul Keluarga Maslahah dalam Kehidupan Modern, menyatakan bahwa pembangunan keluarga menjadi wacana penting dan membangun masyarakat.
Pada perkembangannya, terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk membahasakan mengenai bentuk keluarga yang ideal. Misalnya keluarga bahagia sejahtera, keluarga berkualitas, keluarga sakinah, dan keluarga maslahah.
Tentu saja, Kiai Sahal tidak hanya melontarkan gagasan dan mendefinisikan tentang keluarga maslahah. Akan tetapi, Kiai Sahal juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Implementasi konsep keluarga maslahah dalam kehidupan Kiai Sahal pertama dapat dilihat dari relasi yang dibangun dalam keluarga inti. Keluarga inti yang dimaksud terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
Sejak awal berumah tangga, Kiai Sahal meletakkan fondasi keluarga dengan relasi yang saling mendukung dan saling menguatkan. Hal ini ditunjukkan misalnya dengan ketulusan beliau untuk memberi waktu kepada sang istri untuk menyelesaikan kuliahnya di IAIN Yogyakarta.
Keputusan keduanya ini sungguh menarik, karena hingga saat ini pun masih banyak didapati suami atau ayah yang tidak mengizinkan istrinya untuk menyelesaikan pendidikan setelah menikah. Kiai Sahal tidak pernah merasa harus memenggal keinginan sang istri untuk menyelesaikan pendidikan tingginya, meskipun pada saat itu, Kiai Sahal bukanlah seorang lulusan perguruan tinggi.
Selain dalam hal pendidikan, Kiai Sahal juga memberikan dukungan penuh kepada sang istri, saat Nyai Nafisah memutuskan untuk masuk dalam aktivitas sosial keagamaan dan politik. Nyai Nafisah tercatat pernah menjadi ketua PW Muslimat NU Jawa Tengah, terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Pati (1977), dan menjadi anggota DPD RI (2004).
Kiai Sahal juga memberi kesempatan kepada sang istri dalam melaksanakan khidmah perjuangan di masyarakat. Selain aktif di Muslimat NU serta terlibat aktif dalam pendirian lembaga pendidikan, lembaga kesehatan dan lembaga sosial, Kiai Sahal mendukung Nyai Nafisah saat mendirikan Pesantren Putri Al-Badi’iyyah (PESILBA).
Kiai Sahal memberikan ruang yang luas kepada sang istri untuk mengatur dan mengambil keputusan secara penuh terhadap pesantren putri yang didirikannya itu. Uniknya, meskipun Kiai Sahal mengasuh Pesantren Maslakul Huda (yang lokasinya berada di depan ndalem), sedangkan Nyai Nafisah mengasuh PESILBA (yang lokasinya berada di belakang ndalem), tapi kedua pesantren ini memiliki ciri khas yang berbeda dalam pelaksanaan organisasi dan program kerja. Hal ini tak lain karena keduanya mengasuh pesantren putra dan putri, dengan model serta pemenuhan kebutuhan yang berbeda antara satu dan lainnya.
Selain relasi yang saling mendukung dan saling menguatkan sebagai suami-istri, Kiai Sahal dan Nyai Nafisah menerapkan sistem kerja sama dalam mendidik dan mengasuh sang buah hati.
Kiai Sahal menganggap bahwa pendidikan dan pengasuhan seorang anak tidak hanya merupakan tanggungjawab istri. Meski sama-sama memiliki kesibukan dalam khidmah organisasi dan kepengasuhan pesantren, Kiai Sahal dan Nyai Nafisah tegas dalam mendidik, terutama untuk hal-hal prinsip seperti kewajiban ibadah, pembelajaran di madrasah hingga tanggung jawab terhadap tugas sehari-hari.
Menariknya, sebagai pengasuh Pesantren Maslakul Huda sekaligus Direktur Perguruan Islam Mathali’ul Falah (PIM), Kiai Sahal tidak pernah menggunakan kedudukan untuk memberikan keistimewaan kepada sang buah hati. Segala aturan dan konsekuensi pelanggaran yang diberlakukan di PIM, berlaku pula untuk ananda, tanpa rukhsah (keringanan) sedikit pun.
Ketegasan keduanya dalam mendidik, diimbangi dengan kebiasaan memberikan kepercayaan kepada ananda, terutama kepercayaan dalam mengambil keputusan serta bertanggung jawab atas hasilnya.
Kiai Sahal dan Nyai Nafisah tidak memaksa ananda untuk menempuh suatu jenjang pendidikan atau menekuni bidang tertentu. Pascalulus aliyah, ananda diberi kepercayaan untuk memutuskan jenjang pendidikan selanjutnya.
Pola pengasuhan yang memadukan antara ketegasan dan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan serta bertanggung jawab dalam setiap tindakan diterapkan dalam relasi keluarga maslahah ala Kiai Sahal dan Nyai Nafisah.
Pola pengasuhan ala Kiai Sahal dan Nyai Nafisah didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan untuk sang buah hati harus dilakukan melalui tindakan secara lahiriah dan batiniah.
Laku batiniah diterapkan dengan cara mendoakan, melakukan sedekah, dan laku kebaikan yang diniatkan atas nama ananda, serta mengupayakan makanan berasal dari rezeki yang halal.
Nyai Nafisah pernah berkisah bahwa ketika ananda masih kecil, dan kondisi ekonomi masih pas-pasan, Kiai Sahal setiap kali berpesan kepada sang istri untuk memastikan asal-usul rezeki dari makanan yang akan masuk ke dalam perut ananda.
Hal ini karena diyakini bahwa setiap makanan yang masuk ke dalam perut akan berpengaruh terhadap pembentukan karakter orang yang memakannya. Menjadi kewajiban orang tua untuk memberikan nafkah dan makanan yang halalan thayyiban untuk ananda.