Urgensi Pendidikan Anak di Lingkungan Keluarga, Sekolah, dan Pesantren

Pendidikan anak dalam keluarga, sekolah, dan pesantren menjadi fondasi penting dalam pembentukan karakter dan kepribadiannya.

Jakarta, NU Online

Membangun pendidikan anak perlu dimulai dari lingkungan keluarga sebagai pembentuk dasar kepribadian dan karakter anak. Pengajaran orang tua merupakan fondasi bagi pertumbuhan kepribadian anak.


“Setiap orang tua menginginkan karakter yang terbaik untuk anaknya ini bisa disebut dengan character strengths. Karakter yang positif ini sebagai fondasi bagi anak untuk mengembangkan agensi mereka untuk menjadi lifelong learner,” kata Elga Andriana, Dosen Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam Kongres Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat (31/1/2025).


Menurutnya, pendidikan pada anak merupakan pendidikan sepanjang hayat yang dipengaruhi oleh banyak lingkaran dimulai dari lingkaran paling dekat sampai lingkaran paling jauh. Lingkaran yang paling dekat dimulai dari keluarga, sekolah, organisasi keagamaan, tetangga, teman bermain, kemudian ada internet dan handphone.


“Lingkaran yang jauh itu bisa berasal dari ekonomi orang tuanya, tekanan yang diberikan oleh orang tuanya, lingkungan sekolah seperti adanya bullying, kekerasan. Lingkaran jauh juga akan membentuk attitude dan karakter ideologi anak,” ujar Pendiri sekolah Tumbuh Yogyakarta itu.


Menuju ke sana, orang tua perlu mengenal empat tipe pola asuh kepada anak. Pertama, otoritatif, yaitu pola asuh yang baik dan harus diterapkan di lingkungan keluarga karena melibatkan anak dalam mengambil keputusan untuk mereka. Kedua, otoritarian, yakni pola asuh yang memosisikan orang tua sebagai sosok yang otoriter sehingga anak harus mengikuti perintah orang tuanya.


Ketiga, permisif, yaitu pola asuh yang menuruti keinginan dan kemauan anaknya. Pola ini memosisikan anak sebagai bos, segala permintaannya dituruti orang tuanya. Keempat, uninvolved, yaitu pola asuh yang mengabaikan anak dan sibuk dengan dunianya masing-masing. Hal ini, menurutnya, tidak baik untuk diterapkan di lingkungan keluarga.


Uninvolved ini masuk ke dalam tindak kekerasan, orang tua mengabaikan pendidikan anaknya itu juga kekerasan,” ujar Elga.

 

Anak juga perlu untuk ditingkatkan moralnya, belajar menghargai nilai-nilai spiritual dan spiritual, serta menjalankan praktik gaya hidup sederhana sehingga menumbuhkan hati yang bersih. Hal tersebut di antaranya bisa diperoleh dalam pesantren.


“Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian (ibadah) kepada Tuhan,” kata KH Husein Muhammad, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).


Kiai Husein menyampaikan tujuan belajar di pesantren dan madrasah adalah dalam rangka tafaqquh fi al-din yang merujuk pada Al-Qur’an surah Al-Taubah ayat 122. Menurutnya, pengertian tafaqquh fi al-din bukan hanya mempelajari agama pada eksoteriknya atau hukum-hukum fiqih, melainkan lebih jauh dari itu.


“Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim bahwa al-fiqhu bermakna ma’rifah al-nafs ma laha wa ma ‘alaiha yaitu pengetahuan tentang tentang diri, apa yang bermanfaat atau maslahat dan yang merugikan atau merusak. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa tafaqquh fi al-Din mengandung makna esoterik, filosofis, moral dan etika sosial,” katanya.


Dalam kesempatan tersebut, Kiai Husein menyampaikan saat ini pendidikan di pesantren dan madrasah menghadapi tantangan baru, yaitu relasi antar komunitas manusia yang mengancam dan berpotensi menghancurkan kesatuan bangsa serta masa depan kemanusiaan.


“Problem kemanusiaan itu adalah muncul dan berkembangnya gerakan ekstremisme atas nama agama,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon itu.


Ia menyampaikan permasalahan yang saat ini mencemaskan adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam berbagai bentuknya. Ini terjadi bukan hanya di ruang sosil-publik, tetapi juga di komunitas lembaga pendidikan umum dan agama, termasuk pesantren. Menurutnya, hal tersebut merupakan tantangan paling serius yang harus dicegah.


Tantangan dan urgensi wajib belajar 13 tahun

Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen Kemendikdasmen), Gogot Suharwoto menyampaikan pemenuhan akses pendidikan melalui program wajib belajar 13 tahun menjadi tantangan tersendiri.


Gogot menjabarkan berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional (Susenas) Tahun 2024 menunjukkan pola, bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka tingkat penyelesaian pendidikan justru semakin rendah. Ia menyebutkan, SD sebanyak 97,84 persen; SMP sebanyak 91,15 persen; dan SMA/ SMK sebanyak 67,07 persen. Ia juga mengatakan, terdapat sekitar 63,84 persen masyarakat Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang telah mencapai wajib belajar 9 tahun.


“Tingkatan pendidikan yang masih mengalami kesenjangan adalah tingkat PAUD dan SMA. Kesenjangan-kesenjangan yang terjadi di antaranya anak putus sekolah berkurang, tetapi jumlahnya masih banyak,” ujarnya.


Ia menyampaikan bahwa pemerintah telah mengubah wajib belajar yang semula sembilan tahun, menjadi 12 tahun, dan saat ini menuju 13 tahun melalui satu tahun pra-sekolah (PAUD), sembilan tahun pendidikan dasar (SD-SMP), dan tiga tahun pendidikan menengah (SMA/SMK).


“Arah kebijakan wajib belajar 13 Tahun adalah memastikan setiap individu mendapatkan pendidikan minimal yang bermanfaat bagi dirinya,” ujarnya.


Wajib belajar 13 tahun merupakan hal penting yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Gogot mengatakan, peningkatan aksesibilitas pendidikan merupakan hak bagi semua warga negara. Hal ini juga penting sebagai upaya mendorong peningkatan partisipasi sekolah. Menurutnya, pertumbuhan partisipasi siswa dapat mewujudkan peningkatan kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang.


Di samping itu, wajib belajar 13 tahun juga mewujudkan kesetaraan pendidikan dengan memastikan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan tanpa pengaruh faktor latar belakang sosio-ekonomi maupun geografis. Hal ini juga mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan dengan mencipatakan masyarakat yang inklusif dan menurunkan kesenjangan.


Ia mengatakan, dengan adanya urgensi tersebut maka perlunya upaya penyelenggaraannya melalui peningkatan akses dan peningkatan mutu atau kualitas. Strategi peningkatan akses pendidikan dapat meningkatkan daya tampung sekolah melalui pembangunan PAUD dan pembangunan SMA/SMK, memperbaiki sekolah rusak dan melengkapi sarana dan prasarana sesuai strandar yang telah ditetapkan.


“Perlu juga memberikan beasiswa, pendataan anak putus sekolah dan anak yang rentan putus sekolah, serta perlunya penguatan karakter dan motivasi belajar siswa untuk peningkatan akses pendidikan,” katanya.


Ia juga menyampaikan strategi peningkatan mutu pendidikan dapat menambah distribusi buku-buku bacaan yang bermutu, meningkatkan pendidikan karakter, melakukan asesmen minat dan bakat pada anak untuk mengetahui potensi yang dimilikinya.


“Peningkatan mutu juga perlu adanya dorongan penerapan anak usia dini holistik sehingga mampu melaksanakan pembelajaran berkualitas, guru-guru juga harus merata di setiap daerah dan tentu yang berkualitas juga,” ucapnya.


Rikhul Jannah
Kontributor

logo