Tinggal Bagaimana Politik Kebudayaannya
Sabtu, 19 November 2005 | 05:22 WIB
Jakarta, NU Online
Kita berhadapan dengan persoalan cukup rumit yakni keterputusan sejarah. Dulu Hamka berupaya menyingkirkan kebudayaan Jawa dan Nusantara dari kebudayaan Islam. Lalu Sutan Takdir Ali Sjahbana menginginkan kita terpisah dari kebudayaan Sriwijaya dan Majapahit setelah kita menjadi Indonesia. Sekarang negeri ini nyaris tanpa sejarah, dan masa depan pun ditentukan dan berada di luar negeri.
Demikian dalam diskusi kebudayaan yang diadakan rutin oleh NU Online dan Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU, Jum'at (18/11), di Gedung PBNU. Sebagai moderator Abdul Mun'im DZ yang pucuk pimpinan LTN NU. Diskusi kali ini masih seputar politik kebudayaan. Hadir, antara lain, anggota komisi X DPR RI, Pendidikan dan Kebudayaan, Masduki Baidlowi, Peneliti LP3ES Enceng Sobirin, Sekjen Lembaga Seni Budaya Muslim (Lesbumi) Dinaldo, dan Binhad Nurrohmat, salah seorang penyair lulusan pesantren yang hampir mematangkan popularitasnya .
<>Bangsa Indonesia cukup kaya sejarah. "Kalau bicara politik, bisa dilihat bagaimana Sriwijaya bisa bertahan sampai seratus tahun. Bahkan kalau bicara bagaimana menaklukkan negeri lain dengan cara mengambil kader dari negeri itu untuk dididik lalu kelak dipakai sebagai alat menyerang balik yang sekarang dipaktikkan di negara Barat itu sudah ada di masa kerajaan-kerajaan kita dulu. Sekarang ini, politik Indonesia difahami oleh para politisinya sebagai kebudayaan luar negeri," kata Mun'im DZ.
Hal penting, kata Enceng Sobirin, karakter masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mandiri. Jika nyatanya kemandirian ini telah diusik, harusnya kita telah sampai pada satu agenda besar yakni merumuskan kembali politik kebudayaan. "Kita ambil satu discourse untuk merebut kekayaan moral. Inilah salah satu agenda besar politik kebudayaan. Dan saya kira memang tidak ada strategi kebudayaan tunggal," katanya.
Politik kebudayaan, tambah Mun'im DZ, penting dalam rangka mencipta kebudayaan sendiri dan untuk dilakukan sendiri. "Demikianlah yang dilakukan walisongo atau para pendiri bangsa ini," katanya.
Tanpa Politik kebudayaan yang jelas, Masduki Baidlowi menambahkan, negeri ini juga tidak akan punya masa depan yang jelas. "Pendidikan kita sekarang misalnya, akan menjadikan yang kaya semakin kaya, dan yang pinter semakin pinter." katanya. Mengutip kata-kata Kiai Muchid Muzadi, "Selama ini ternyata kita tertipu," katanya lagi. Begitulah.....
Diskusi politik kebudayaan itu akhirnya mengarah pada perbincangan seputar identifikasi nilai dan kekayaan kultural bangsa Indonesia. Istilah identifikasi budaya ini dilontarkan oleh Enceng Sobirin setelah panjang lebar memaparkan bagaimana tradisi NU dan pesantren yang dulu dianggap kuno dan ketinggalan itu belakangan dipakai oleh orang-rang yang sebelumnya mengklaim diri modern. "Dulu kiai itu diremehkan tapi belakangan gelar kiai ini dipakai juga oleh mereka yang mengaku modern. Dulu pesantren kuno, sekarang banyak yang mendirikan pesantren," kata Enceng.
Proses identifikasi harus ditempuh sebelum sampai pada pengartikulasian ulang beragam bentuk nilai dan kekayaan kultural bangsa Indonesia. Mungkin macam beginilah politik kebudayaan.
(a khoirul anam)Terpopuler
1
Nabi Musa Menangis saat Tahu Umat Rasulullah Lebih Mulia Ketimbang Umatnya
2
Khutbah Jumat: Menumbuhkan Keikhlasan dalam Beramal dan Beribadah
3
Khutbah Jumat: Jagalah Lisan supaya Tidak Menyakiti Orang Lain
4
Khutbah Jumat: Jangan Salah Pilih Teman
5
Khutbah Jumat: Manusia sebagai Makhluk Sosial, dan Perintah untuk Saling Mengenal
6
Data Hilal Penentuan Awal Bulan Syaban 1446 H
Terkini
Lihat Semua