Jakarta, NU Online
Hasil penelitian Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2018 menunjukkan angka Kerukunan Umat Beragama (KUB) terbilang tinggi, yakni berada pada angka 70,90. Angka ini diperoleh dari hasil pengukuran tiga indikator, yaitu toleransi (70,33); kesetaraan (70,33); dan kerja sama (70,56). Faktor-faktor signifikan yang memengaruhi ketiga indikator tersebut antara lain pendidikan, pendapatan, partisipasi sosial, pengetahuan terhadap peraturan, rural-urban (wawasan kemajemukan), dan daerah mereka tinggal.
Dari ketiga dimensi tersebut, kerja sama berada skor lebih tinggi dari yang lain. Meskipun indikator pada dimensi toleransi lebih berpengaruh terhadap nilai kerukunan (0,862).
Faktor-faktor yang signifikan memengaruhi ketiga dimensi adalah pendapatan, pendidikan, bauran penganut agama, bauran rumah ibadah, habituasi ritual di luar rumah ibadah, habituasi perayaan keagamaan, dan pekerjaan.
Metode pelaksanan pada penelitian adalah penyebaran kuesioner (try in, try out), analisis indikator (hasil), analisis kuantitatif, survei lapangan di 34 provinsi, dan FGD di lima provinsi meliputi Aceh, Sumatera Barat, Banten, Maluku, Sulawesi Utara.
Dari hasil survei, skor tertinggi seperti diperoleh Provinsi NTT sebesar 78,9; disusul Provinsi Sulawesi Utara 76,3; ketiga Papua Barat 76,2. Secara berurutan diikuti oleh Bali dengan skor 75,4, lalu Sulawesi Barat memiliki skor 74,9. Berikutnya adalah Kalimantan Barat mencapai 74,8.
Survei ini melibatkan 13.600 responden yang tersebar di 34 provinsi. Responden adalah masyarakat Indonesia yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Enumerator atau surveyor menyebarkan kuesioner dengan membacakan langsung item-item pertanyaan kepada seluruh responden.
Survei yang digelar dari 1 Agustus sampai dengan 30 September 2018 ini menggunakan metode multistage random sampling dengan margin error sebesar 1,35 % dan tingkat keper-cayaan 95 %. Survei ini melibatkan 68 peneliti, 13.600 pembantu peneliti (pembalap), dan 8 orang spot checker dari Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan yang bertugas memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan survei.
Rekomendasi
Dari hasil penelitian tersebut, dapat dikemukakan sejumlah rekomendasi. Pertama, Kemenko PMK sebagai kementerian yang menjadi koordinator terhadap beberapa kementerian sumber daya manusia, maka kerukunan umat beragama juga menjadi prioritas pembangunan kesejahteraan pada aspek pemeluk agama. Jika relasi antarpemeluk baik dan harmonis maka program pemerintah pada aspek lain akan terlaksana dengan baik dan optimal.
Kedua, bagi Kementerian Agama, kerukunan umat beragama adalah Indikator Kinerja Utama, sebagai tolok ukur utama dalam hal menilai kerja kementerian. Implikasi tidak hanya kepada Pusat Kerukunan Umat beragama sebagai leading sektor kerukunan, namun juga di bawah tanggungjawab Direktorat Bimbingan Masyarakat Agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu). Sejatinya program kerukunan umat beragama dilekatkan pada kegiatan secara vertikal).
Berikutnya, Kementerian Dalam Negeri. Sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri nomo 8 dan nomor 9 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Kerukunan Umat Beragama menjadi tanggungjawab dan tugas dua kementerian. Kementerian Dalam Negeri dapat menjalankan kewenangan koordinatif terhadap program kerukunan setiap daerah, baik itu provinsi sampai dengan kabupaten. Intervensi dapat juga dilakukan sampai tingkatan teknis penganggaran, bagaimana seluruh daerah Provinsi dan kabupaten melekatkan anggaran kerukunan mulai dari perumusan sampai dengan pembinaan teknis.
Keempat, Kemenko Polhukam sebagai kementerian koordinator yang berhubungan dengan kebijakan asumtif terhadap keamanan, penegakan hukum dan pertahanan. Tentu saja dapat ditunjang oleh data kerukunan, sebagai data pendukung keamanan dan mewujudkan pilar stabilitas nasional.
Selain itu, dalam hal pelaksanaan fungsi agama, kementerian agama memang harus mewujudkan program kerukunan umat beragama sampai pada tingkatan teknis pada Kementerian Agama Kabupaten atau Kota, bahkan jika memungkinkan dilaksanakan setingkat KUA.
Bagi Pemerintah Provinsi, data kerukunan yang ada merupakan representasi kondisi kerukunan pada setiap provinsi yang diwakili sampel Ibu Kota, Kabupaten dan Kota yang ada. Hendaknya digunakan untuk menyusun dan mengevaluasi kerukunan setingkat provinsi, adapun data setingkat kabupaten belum bisa digunakan secara parsial. Cara menggunakannya tetap rata-rata provinsi, mengasumsikan seluruh kabupaten dan kota dilakukan kebijakan yang sama, jika menggunakan parsial haruslah berdasarkan kajian tambahan oleh pemerintah kabupaten/kota itu sendiri. (Husni Sahal/Kendi Setiawan)