Jakarta, NU Online
Pada tahun 2015, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang menerbitkan buku Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama. Buku dengan subjudul Sebuah Bunga Rampai tentang Kearifan Lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur ini disusun berdasarkan hasil penelitian tentang agama dan kearifan lokal dalam konteks kekinian.
Disebutkan penelitian ini difokuskan pada masyarakat Jawa pesisiran di Gresik dan masyarakat Jawa pedalaman di Banyumas. Masing-masing masyarakat tersebut memiliki karakteristik budaya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thohir (2005: 87-88) bahwa perilaku masyarakat dengan budaya Jawa pesisiran yang nampak secara umum adalah sikap yang lugas, spontan, tutur kata yang cenderung kasar jika dibanding Jawa pedalaman.
Praktik keagamaan masyarakat pesisiran cenderung puritan dibanding masyarakat pedalaman. Berbeda dengan itu, masyarakat dengan budaya Jawa pedalaman mempunyai karakteristik selaras dengan karakteristik budaya keraton yang lebih mementingkan etiket formal, perbedaan status, dan mengagumi kehalusan jiwa yang terekspresi melalui kesenian.
Gresik dikenal sebagai daerah yang berada dalam perlintasan sejarah peradaban dua fase kerajaan besar, sehingga daerah ini kaya dengan budaya dan tradisi masyarakat yang bersifat kontruktif, dinamis dan estetis. Sementara masyarakat Banyumas memiliki karakteristik yang khas, baik secara geografis maupun secara kultural. Masyarakat Banyumas dikenal sebagai masyarakat yang egaliter dalam berinteraksi. Bahasa yang digunakan adalah dialek ngapak-ngapak (dialek Banyumas yang kental atau medok).
Kodirun (dalam Koentjaraningrat, 1970: 329) mengatakan bahwa masyarakat Banyumas merupakan bagian masyarakat Jawa, termasuk wilayah kebudayaan yang secara kolektif disebut daerah kejawen. Nilai–nilai kearifan lokal masyarakat Gresik dan Banyumas ternyata masih banyak yang potensial dan fungsional untuk membangun kerukunan umat beragama. Kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai kerukunan dan kebersamaan, sebagaimana yang terdapat dalam tradisi-tradisi, praktik-praktik sosial, dan norma-norma sosial, serta keteladanan tokoh atau pemimpin.
Nilai-nilai kerukunan berupa sikap saling menghormati dan menghargai agama orang lain, sikap toleransi dan mendorong hubungan kerjasama antarmanusia, termasuk antarumat beragama. Berbagai tradisi dan praktik sosial yang dilaksanakan bersama-sama mendorong terwujudnya kohesi sosial dan menunjukkan aktivitas kerukunan, bahkan berbagai norma sosial dan keteladanan tokoh/pemimpin juga mengajarkan masyarakat untuk hidup rukun dan harmoni.
Masyarakat Gresik dahulu dikenal kuat dalam tradisi keislamannya karena tidak terlepas dari sejarah Gresik yang penuh dengan tokoh-tokoh penyebar agama Islam, seperti Fatimah binti Maimun (w. 476 H/ 1082 M), Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M). Kini, masyarakat terpilah dalam dua wilayah budaya, yakni wilyah Gresik Utara dan wilayah Gresik Selatan. Di antara tradisi yang menonjol di wilayah Gresik Utara adalah tradisi haul dan tradisi yang terkait dengan hari besar Islam, seperti perayaan Malam Selawe dan tradisi Pasar Bandeng pada bulan Ramadhan.
Sementara tradisi yang menonjol di wilayah bagian selatan adalah tradisi Tegal Desa atau Sedekah Bumi yang dilaksanakan dengan nuansa Islam. Meski tradisi lokal ini dimeriahkan dengan tandhak, gulat okol, dan atau wayangan, tetapi diisi juga pengajian atau ceramah agama dan pembacaan doa-doa secara Islam.
Di Banyumas, masih banyak tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat. Di antara tradisi yang menonjol adalah nyadran, suran, jamasan, jaro rajab, dan sedekah bumi. Selain itu, ada tradisi-tradisi lain yang dilakukan yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia, antara lain mitoni, ngruwat, dan tumpengan. Tradisi-tradisi semacam ini mengandung nilai-nilai luhur bagi masyarakat, karena di dalam pelaksanaan tradisi terdapat simbol-simbol dan atau petuah-petuah yang mendorong terwujudnya rasa persaudaraan dan solidaritas sosial.
Masyarakat Banyumas masih banyak yang memelihara praktik-praktik sosial terkait dengan hubungan sosial antar warga. Praktik-praktik sosial ini menjadi kohesi sosial karena menuntut keterlibatan dan partisipasi secara fisik setiap warga. Dampak positifnya adalah hubungan sosial antar warga menjadi lebih kuat dan warga menjadi lebih mengenal dengan warga lainnya karena memiliki ikatan sosial secara emosional.
Itulah sebabnya, buku ini menjadi amat penting bagi para tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, karena dapat memberkan inspirasi dalam membina kerukunan umat beragama berbasis komunitas budaya. Hal ini dimaksudkan agar penguatan kerukunan umat beragama bisa dilakukan dengan pendekatan button up (tumbuh dari bawah), bukan top down (tumbuh dari atas). Karena itu, warga masyarakat diharapkan dapat mengembangkan kerukunan atas dasar kearifan lokal yang mereka miliki.
Dari perspektif filsafat ilmu, struktur pengetahuan terdiri atas ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Demikian juga suatu kebudayaan muncul hal yang sifatnya ontologis, hingga melahirkan bentuk-bentuk epitemologis dan aksiologis. Buku ini menampilkan beberapa tulisan terkait dengan kearifan lokal dan kerukunan beragama dari berbagai perspektif maka struktur buku ini mencoba menampilkan urutan dari hal yang sifatnya ontolologis hingga yang aksiologis.
Temuan-temuan penelitian yang ditampilkan dalam buku ini meliputi kajian terhadap nilai-nilai dan norma di masyarakat yang membangun kerukunan. Nilai-nilai dan norma sosial menjadi landasan bagi masyarakat dalam bertindak dan bersikap, termasuk cara bersikap dalam berinteraksi dilandasi nilai dan norma sosial tersebut, sehingga tercipta kerukunan beragama. Tema selanjutnya adalah praktik-praktik sosial yang merupakan manifestasi sikap keseharian masyarakat yang tentunya terbentuk dari pandangan dunia (word view) sebagaimana nilai dan norma yang dianut.
Berbagai praktik sosial di masyarakat memiliki fungsi kohesi sosial yang kuat, sehingga mampu memelihara kerukunan di lingkungan mereka. Manifestasi nilai-nilai juga terungkap dalam tradisi-tradisi upacara baik komunal maupun individual. Tradisi-tradisi upacara tidak sekedar ritual sosial belaka, tetapi juga menjadi media transfer nilai yang dianut kepada masyarakat dan generasinya. Beberapa hal tersebut merupakan kearifan lokal yang menjadi acuan sikap dan tindakan masyarakat.
Agen penting dalam proses internasisasi kearifan lokal ini adalah tokoh lokal masyarakat. Ketokohan ini tidak saja dalam kerangka pemeliharaan nilai, tetapi mereka juga menjadi bagian tidak terpisahkan sebagai agen sosial yang menjaga dan mendorong nilai-nilai baru, bahkan menjadi role model di masyarakat, terutama kaitannya dengan pembinaan kerukunan beragama. Kearifan lokal dengan demikian sangat potensial untuk menjadi bahan dan sekaligus strategi bagi pembinaan kerukunan beragama.
Buku ini ditutup dengan refleksi pentingnya kearifan lokal yang menjadi tugas Kementerian Agama. Penyuluh agama sebagai aparatur Kementerian Agama yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat dalam rangka tugas pembinaan dibidang keagamaan dan pembangunan perlu menggali dan memanfaatkan potensi-potensi kearifan lokal ini bagi tugas mereka membina keagamaan dan kerukunan beragama. (Kendi Setiawan)