Jakarta, NU Online
Secara institusional pesantren merupakan salah satu corak lembaga pendidikan yang berkembang di segenap penjuru Nusantara. Eksistensinya, baik secara historis maupun sosiologis, secara legal formal menjadi bagian integral dari berbagai corak lembaga pendidikan yang diakui Negara (UU No. 20 Tahun 2003).
Presiden keempat RI, Gus Dur, secara sosiologis mewacanakan pesantren sebagai subsistem dari sistem pendidikan di negeri ini. Secara kultural pun demikian. Walau tidak dalam pola-pola tertentu yang seragam dan masif, kultur pesantren ikut mewarnai kultur masyarakat di sekitarnya, dalam relasi pesantren-masyarakat yang mengalami pasang-surut sesuai dengan dinamika kehidupan yang dialami.
Sepanjang Republik Indonesia ini ada, maka sepanjang itu pula barangkali tak perlu kekhawatiran yang berlebihan tentang eksistensi pesantren berdampingan dengan lembaga pendidikan formal, atau lembaga pendidikan sejenis lainnya. Persoalan eksistensi pesantren dapat menjadi isu krusial yang menguras perhatian apabila ditinjau dari aspek kultural-sosiologisnya.
Pesantren sebagai subkultur bangsa ini, sebagaimana kultur bangsa secara keseluruhan, sedang berhadapan dengan arus globalisasi kultural dan sosiologis. Globalisasi menjadi harapan sekaligus tantangan bagi eksistensi pesantren di masa-masa yang akan datang.
Persoalan-persoalan yang dialami lembaga pendidikan corak apapun di negeri ini terkait dengan globalisasi, yaitu: sumber daya, kepemimpinan, motivasi, dan kebangsaan. Dalam hal ini, sumber daya dapat di-breakdown menjadi sumber daya manusia dan sumber daya sarana-prasarana. Jikalau sumber daya-sumber daya ini relatif kuat dan berkualitas, niscaya ia akan mampu menghadapi dan melampaui tantangan global.
Dalam konteks manajerial suatu lembaga pendidikan—apapun coraknya, kemampuan melampaui tantangan global tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran-peran kepemimpinan dalam lembaga tersebut.
Peran-peran kepemimpinan dapat ditinjau dari aspek bagaimana suatu kepemimpinan dilakoni, dan terindikasi sebagai gaya (style) seorang pemimpin memimpin lembaganya, memimpin dan mengelola sumber daya manusia dan sumber daya sarana-prasarana.
Di samping itu, tentu saja bagaimana seorang pemimpin dalam peran dan fungsi manajerialnya sehari-hari mengambil keputusan dan mencari solusi atas berbagai permasalahan dalam lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Dalam konteks pesantren tentu saja yang dimaksud adalah profil kiainya.
Sistem nilai yang dibangun bersama dalam suatu lembaga pendidikan juga ikut menentukan sejauh mana lembaga pendidikan mampu melampaui tantangan global. Sistem nilai sebagai identitas lembaga juga mengartikulasikan kemampuan lembaga tersebut untuk bertahan (survive ability).
Motivasi sumber daya manusia internal lembaga, utamanya tenaga pendidik—dalam hal ini ustadz dalam pesantren, memiliki posisi kunci walau tidak sentral, dalam ikut membentuk sikap terhadap tradisi dan perubahan global.
Terkait kemampuan dan kemauan lembaga pendidikan melampaui tantangan global adalah penanaman dasar dan pilar kebangsaan. Dampak dari penyelenggaraan suatu lembaga pendidikan—apapun coraknya—termasuk pesantren adalah memperkuat dan membangun spirit kebangsaan, minimal terhadap para santri, alumni, dan masyarakat di sekitar pesantren tersebut. (Kendi Setiawan)