Cerita Pendek: Malik Ibnu Zaman
Malam begitu sunyi. Meski kantuk terasa teramat berat, tidak membuat Noto beserta sebelas kawannya hilang kewaspadaan. Mereka terus berjalan menyusuri hutan. Mata mereka menampakkan kewaspadaan, membawa senjata api yang bisa kapan saja menyalak.
Berjalan dalam kegelapan hutan ini bukanlah hal yang menakutkan. Mereka memang sudah terbiasa dengan situasi dan kondisi semacam ini. Bukan hewan buas atau hantu yang justru mereka takutkan, tetapi sergapan Tentara Belanda.
"Angkat tangan!"
Sebuah suara terdengar dari arah depan, di balik semak-semak belukar. Pada waktu yang hampir sama, Noto beserta kawan-kawannya mengarahkan senjata ke depan.
"Siapa kalian?" tanya orang yang tadi meneriakkan angkat tangan.
Ia mendekat mengarahkan, senjatanya ke arah depan, diikuti dengan beberapa orang di belakangnya. Noto merasa tidak asing dengan suara tersebut. Suaranya begitu familiar. Noto pun mengatakan kepada kawan-kawannya agar tenang.
"Kami dari Tentara Pelajar, Regu Kalajengking," ujar Noto.
"Noto! Noto! Noto!"
Noto segera sadar, kalau orang tersebut adalah Joko, teman semasa sekolah menengah pertama di zaman pendudukan Jepang. Sewaktu Jepang menyerah kepada Sekutu, mereka baru duduk di Kelas 2. Panggilan revolusi, membuat mereka tergerak untuk ikut memanggul senjata melawan Belanda yang hendak kembali menancapkan kukunya.
"Ranu!"
"Ternyata kamu, To."
Keduanya saling berjabat tangan. Melihat komandan regu mereka saling berjabat tangan, membuat anggota regu keduanya juga saling berjabat tangan. Ranu mempersilakan mereka untuk mampir ke markasnya. Lebih tepatnya sebuah gubuk kecil reot di tengah belantara hutan. Hidangan yang disuguhkan begitu sederhana: singkong rebus dan air putih. Dalam sekejap hidangan sudah habis tanpa sisa. Sudah satu hari ini perut mereka tidak terisi.
"Kenapa kamu bisa sampai ke sini?" Ranu bertanya.
"Tentara Belanda sudah menduduki Tegal," jawab Noto.
"Saya kira berita tersebut hanya desas desus yang disebarkan oleh mata-mata untuk membuat panik. Ternyata memang benar, Tentara Belanda sudah menduduki Tegal," kata Ranu.
"Lalu langkah apa yang aku kamu lakukan, Not?"
"Entahlah, menurut instruksi semua pasukan bersenjata ditarik mundur ke Yogya."
"Bagaimana kalau kita melakukan penghadangan terhadap Tentara Belanda di Desa Jejeg? Kemungkinan besar besok mereka akan sampai di desa tersebut, setidaknya kita melakukan perlawanan."
Sejenak Noto terdiam. Ia tahu apa yang diusulkan Ranu benar-benar harus dipikirkan dengan matang. Mengingat hanya dua regu yang akan melakukan penghadangan dengan 24 orang personel, serta amunisi tidak banyak.
"Kalau masalah amunisi tidak usah khawatir Not, regu kami punya satu senapan mesin ringan," kata Ranu seperti memahami apa yang dipikirkan Noto.
"Baik. Tapi, apakah tidak sebaiknya kita amati situasi lebih dahulu besok?" tanya seorang di antara mereka.
"Saya dan Noto besok akan pergi ke Desa Jejeg untuk mengamati situasi. Kalau sampai tengah malam kami berdua tidak juga kunjung datang, lanjutkan saja perjalanan kalian ke Yogya. Kepemimpinan akan diserahkan kepada Wakil Komandan Regu," ujar Ranu kepada yang lain.
Malam semakin larut, mereka telah terlelap tidur, sebagian di gubuk kecil reyot berdesak-desakan. Sebagian lagi tidur bergelantungan di pohon menggunakan sarung. Sementara empat orang tetap terjaga mengawasi sekitar. Ranu meminta kepada empat orang tersebut, agar pada pukul tiga pagi semua dibangunkan.
Noto tertidur begitu pulas. Ia bermimpi bersama dengan gadis pujaannya, berlari menghindari kejaran tentara Belanda. Namun mereka berdua ditangkap oleh Tentara Belanda dan hendak ditembak.
Belum sempat peluru dimuntahkan, Noto terbangun oleh suara Ranu. "To, bangun To, sudah jam tiga."
Setelah semua bangun, mereka mematangkan kembali rencana semalam. Noto dan Ranu akan melakukan penyamaran menjadi pencari kayu bakar. Senjata api pun mereka tinggalkan, masing-masing hanya membawa sebilah golok. Sementara itu, kayu bakar satu ikat mereka panggul.
Perjalanan menuju Pasar Desa Jejeg dari hutan sekitar dua jam. Jika tidak ada arang melintang, pukul lima sore mereka akan sampai tujuan.
Dalam perjalanan mereka bertemu dengan para pedagang yang hendak berjualan di pasar. Noto dan Ranu berusaha menggali informasi dari mereka. Namun, mereka juga tidak tahu detail, yang mereka tahu hanyalah para tentara Belanda menjadikan sebuah rumah mewah sebagai markas. Jumlahnya sekitar seratus orang. Di tengah perjalanan, di sebuah mushala kecil, mereka menyempatkan shalat Subuh.
Tak lama setelah sampain di pasar, kayu bakar milik mereka langsung laku terjual. Noto dan Ranu kemudian memutuskan untuk berkeliling mencari informasi. Hingga pukul sebelas siang, tidak banyak informasi yang didapatkan. Mereka berdua memutuskan untuk kembali ke hutan.
Di tengah perjalanan di sebuah perkebunan kelapa milik warga, mereka melihat lima orang tentara Belanda sedang meminta kelapa muda kepada seorang pemilik kebun. Pemilik kebun kelapa mempersilakan tentara Belanda untuk mengambilnya sendiri, namun mereka tidak mau. Dengan todongan senjata, pemilik kebun kelapa pun memanjat untuk mengambilkan kelapa muda. Tanpa diduga, salah seorang tentara Belanda melepaskan timah panasnya kepada pemilik kebun kelapa. Terkena tembakan, ia terjatuh dari ketinggian pohon kelapa, dan tewas seketika. Anaknya yang masih berusia remaja, histeris menyaksikan ayahnya diperlukan semacam itu.
Melihat pemandangan menggemaskan itu, Noto dan Ranu tergerak. Mereka segera mengambil golok menyerang kelima serdadu itu. Belum sempat menarik pelatuk, kelima Tentara Belanda itu sudah dibabat habis. Setelah itu Noto dan Ranu memerintahkan remaja yang kehilangan ayahnya untuk segera membawa jasad ayahnya, lalu bersembunyi. Ia menuruti apa yang diperintahkan oleh Noto dan Ranu. Sementara setelah mengambil senjata milik kelima tentara Belanda, Noto dan Ranu bergegas melanjutkan perjalanan.
Sepanjang perjalanan, tidak ada kendala yang berarti. Seorang petani yang mereka jumpai memberikan seekor ayam.
Tiba kembali di hutan, mereka berdua disambut gembira. Noto dan Ranu menceritakan kejadian yang dialami barusan. Ayam pemberian salah seorang petani pun disembelih, lalu dibakar.
Malam pun datang. Ketika mereka sedang membahas strategi untuk penyerangan besok, muncul seorang remaja. Sontak mereka mengangkat senjata, remaja tersebut pun langsung mengangkat kedua tangannya.
"Turunkan senjata kalian, dia remaja tadi siang yang saya ceritakan," ujar Noto.
"Iya benar. Tapi mau apa kamu jauh-jauh kemari?" timpal Ranu.
"Saya mau ikut berjuang Pak, saya siap berkorban," jawab remaja tersebut.
"Siapa namamu?" Noto bertanya.
"Das'an," ujar remaja tersebut.
"To, lebih baik dipertimbangkan baik-baik, saya khawatir dia malah jadi beban," bisik Ranu.
"Siapapun, berhak untuk berjuang nu," ujar Noto.
"Kamu boleh bergabung. Silakan berkenalan dengan teman-teman yang lain," kata Noto.
Pembahasan mengenai strategi penyerangan besok dilanjutkan. Das'ad memberi tahu, pasukan tentara Belanda, setelah kejadian tadi siang melakukan pengejaran ke Barat. Mereka mengira bawha pembunuh lima tentara Belanda lari ke arah Barat.
"Tetapi, Tentara Belanda meninggalkan tiga truk berisi beras hasil perampasan paksa kepada penduduk. Truk tersebut berada di balai desa, mereka pasti kembali untuk membawa kembali truk tersebut," ungkap Das'ad.
"Kalau kita menghancurkan langsung di tempat terlalu berisiko terhadap keselamatan para penduduk. Kalau begitu kita taruh beberapa granat di kantung beras, pin granat tersebut dilepaskan terlebih dahulu. Lalu ketika melewati jalan terjal granat tersebut meledak," kata Noto.
"Apakah kepala desa pro terhadap Republik?" selidik Ranu kepada Das'ad.
"Iya, Pak Kades pro Republik," jawab Das'ad.
Mereka segera menuju ke Balai Desa Jejeg pada tengah malam. Sesampainya di balai desa, benar saja mereka menemukan tiga truk berisi beras. Ranu mengetuk pintu rumah Pak Kades. Setelah dibukakan pintu Ranu menjelaskan maksud dan tujuannya. Pak Kades setuju dengan ide tersebut. Ranu memerintahkan penduduk desa segera mengungsi ke tempat aman.
"Sebelum sore esok hari mohon Bapak segera ungsikan penduduk desa. Saya khawatir kalau penduduk menjadi pelampiasan ketika tentara Belanda mengetahui truk berasnya meledak," kata Ranu kepada Kades.
Granat-granat yang telah dilepaskan pinnya segera dimasukkan ke dalam karung beras pada di tiga truk. Setelah itu pasukan Noto dan Ranu bergegas meninggalkan tempat. Mereka berencana akan terus melanjutkan perjalanan untuk menghindari segala kemungkinan. Tujuan mereka adalah Yogya.
Pukul delapan pagi keesokan harinya, enam orang tentara Belanda datang ke balai desa untuk mengambil tiga truk berisi beras tersebut. Tanpa curiga sedikit pun mereka membawa truk tersebut meninggalkan balai desa. Ketika sampai di tikungan tajam serta terjal, truk paling depan meledak. Pengemudi truk kedua dan ketiga panik. Mereka hilang kendali menyebabkan kedua truk tersebut jatuh ke jurang lalu meledak.
Mendengar kejadian yang menimpa pasukannya, Mayor Van Der tidak curiga. Mereka menganggap kejadian tersebut murni kecelakaan.
Malik Ibnu Zaman, pecinta sastra, kontributor NU Online asal Tegal, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.