Entah apakah masih ada yang tahu kalau Odang adalah namanya yang sebenarnya. Dia lebih sering dipanggil dengan nama Paklik Odong-Odong. Itu karena kini dia lebih dikenal sebagai tukang odong-odong yang selalu dinanti oleh anak-anak di kompleks sini.
Sudah sekitar dua tahun Odang menjadi tukang odong-odong. Kini, Odang sudah bisa lebih menikmatinya, bisa tertawa dan bercanda dengan anak-anak atau ibu-ibu yang mengantarkan anaknya. Awalnya Odang hanya terpaksa—siapa juga yang mau menjadi tukang odong-odong kalau tidak terpaksa? Menjadi tukang odong-odong bukan cita-citanya—tentu saja. Dulu, ketika masih SMA, Odang ingin menjadi guru.
Odang terlahir bukan dari keluarga yang berada, meski juga tidak miskin sekali. Setidaknya, dia bisa bersekolah sampai tuntas SMA dan punya keinginan untuk kuliah. Untuk itu dia datang ke Surabaya, demi menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi swasta, jurusan guru Bahasa Indonesia. Odang ingin menjadi guru. Dalam benaknya ketika itu, menjadi guru adalah cita-cita tinggi yang tampaknya masih bisa digapainya.
Menjadi dokter atau insinyur rasanya tidak mungkin, karena kelihatannya membutuhkan biaya besar. Kalau menjadi guru, guru tidak butuh peralatan aneh-aneh yang harus dibeli untuk mengajar. Paling-paling hanya spidol, pulpen, pensil, dan buku. Walaupun dia tahu seorang guru tidak digaji besar, yang artinya tidak akan membuatnya kaya raya, Odang tidak mempermasalahkannya. Toh dari awal dia juga bukan orang kaya. Setidaknya, profesi guru bisa membuat hidupnya berkecukupan dan memberi posisi sosial yang lebih tinggi daripada profesi bapaknya yang seorang petani.
Sesederhana itu dia berpikir
Namun, apalah daya? Sekarang, cita-cita itu harus dia relakan juga. SPP kuliah jurusan guru memang tidak sebesar jurusan kedokteran, namun masih tetap lebih besar daripada SMA. Orang tuanya di kampung tidak bisa membantunya karena adik-adiknya juga butuh biaya. Dulu, dia pikir dengan bekerja sambilan bisa menutup biaya kuliahnya. Saat kuliah semester pertama, dia kuliah sambil berjualan bakso, yang dia ambil dari seorang juragan. Tapi, rupanya penghasilannya jualan bakso tidak cukup untuk membayar SPP ditambah dengan biaya kehidupan sehari-harinya di Surabaya.
Semester kedua dia mulai menunggak uang kuliah. Awalnya dia masih mendapat toleransi. Tapi ketika akhirnya semester keduanya berakhir dan dia tetap tidak mampu menutup tunggakannya—apalagi untuk mencicil biaya semester depan—dia terpaksa berhenti. Odang sempat berpikir dengan bekerja lebih keras, nantinya dia akan bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk kembali ke bangku kuliah. Tapi rupanya tidak semudah itu. Hingga kini, lima tahun berselang, Odang bahkan belum menutup tunggakan SPPnya yang dulu.
Dua tahun yang lalu Odang berhenti berjualan bakso. Juragan bakso yang baksonya dia jajakan mendadak menghentikan usahanya karena terlilit hutang yang tidak ada hubungannya dengan dagang bakso—usaha baksonya sebenarnya cukup lancar, tapi juragan itu punya kebiasaan buruk di luar. Masih beruntung Odang bisa dengan cepat mendapatkan pekerjaan pengganti. Tidak lebih baik memang, tapi juga tidak terlalu buruk. Sejak saat itu dia menjadi tukang odong-odong.
Odang mengayuh odong-odongnya berkeliling kompleks dengan iringan lagu anak-anak yang bukan kegemarannya. Pemuda dari desa itu harus menahan malu. Hatinya menggerutu. Ternyata menjadi tukang odong-odong lebih berat daripada berjualan bakso. Ketika berjualan bakso, dia memiliki pelanggan yang lebih beragam. Laki-laki perempuan, tua muda, dan masih sering bertemu dengan pemuda-pemuda sebayanya. Sesekali dia juga didatangi gadis-gadis, yang sedikit-sedikit biasa dia godai.
Namun ketika menjadi tukang odong-odong, dia hanya bertemu dengan anak-anak dan ibu-ibu. Jarang sekali ada bapak-bapak yang menemani anaknya bermain odong-odong. Memang kadang-kadang ada juga kakak perempuan yang cukup manis, yang mengantarkan adiknya naik odong-odong. Tapi, jangankan menggoda. Melirik sedikit saja pasti sudah dicibir oleh ibu-ibu. Sementara, dicibir oleh ibu-ibu adalah masalah yang jauh lebih besar daripada dimaki oleh bapak-bapak.
Lambat laun, Odang mulai meninggalkan rasa malunya. Pelan-pelan dia menerima kenyataan bahwa suka tidak suka dia kini adalah seorang tukang odong-odong. Sedikit-sedikit dia belajar mensyukuri dan menikmati pekerjaannya. Dia juga sudah melupakan keinginan untuk kembali ke bangku kuliah dan menjadi guru.
Bersama dengan terlupakannya cita-citanya itu, terlupakan pula nama Odang. Kini, Odang lebih tenar dipanggil Paklik Odong-Odong. Dialah tukang odong-odong kesayangan anak-anak di kompleks ini, yang selalu menjanjikan kesenangan dengan harga lima ribu saja. Anak-anak senang dengan bentuk kuda-kudaan lucu yang bisa bergoyang-goyang mengikuti irama lagu.
Ibu-ibu senang bisa menenangkan rengekan anak bawelnya. Meski kadang-kadang ada juga ibu-ibu yang kesal karena tahu-tahu anaknya ketagihan naik odong-odong, tapi ketika melihat anak-anak girang di atas punggung kuda-kudaan, tak ayal mereka tersenyum juga.
Kini, Odang mungkin tidak akan menjadi guru. Tapi, siapa tahu? Nanti, ketika anak-anak itu mulai besar dan masuk sekolah, kemudian bertemu dengan guru Bahasa Indonesia, mungkin mereka akan menuliskan tentang Odang dan odong-odongnya di tugas mengarang pertama mereka.
Hasan Irsyad, penulis tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur.