Daerah

Ahmad Tohari Minta Dukungan untuk Majalah Sastra "Surah"

Ahad, 3 Maret 2013 | 10:24 WIB

Yogyakarta, NU Online
Apa jadinya sebuah mesin berbahan bakar bensin tanpa asupan berliter-liter bensin? Sebuah tenaga yang keluar, pasti memerlukan energi yang cukup.

<>

Tanpa suplai memadai, putaran sebuah mesin tentu akan mengangguk-angguk kantuk, bahkan pulas tertidur entah sampai kapan. Begitulah mesin, begitu pula kelanggengan sebuah buku, majalah atau terbitan apapun, termasuk sastra. Dalam saresehan bertema ‘Anakmuda dan Langkah Budaya’ yang dihadiri budayawan, seniman dan penulis pesantren, di LKiS Yogyakarta, Rabu (27/2) siang, Ahmad Tohari menegaskan pentingnya daya beli masyarakat terhadap sebuah majalah dan beragam terbitan.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Saresehan yang dihadiri tidak kurang dari 50 orang merupakan bagian dari acara pembacaan puisi Acep Zamzam Noor dan peluncuran edisi perdana majalah sastra ‘Surah’. Selian didukung Yayasan LKiS, acara tersebut didukung oleh santri, pesantren-pesantren, juga Gusdurians yang menyumbangkan makanan dan lain-lain. 

Dengan dipandu Budayawan Heru Prasetia, saresehan di antaranya mengetengahkan presentasi dari komunitas-komunitas kebudayaan seperti Matapena, Komunitas Coret, Gusdurian, dan Komunitas Surah.


Kang Tohari yang duduk di dewan redaksi majalah itu mengimbau kepada hadirin untuk terlibat aktif sebagai pembaca, penulis sastra, tetapi juga agen yang menyebarkan majalah sastra itu.

“Siapa yang ingin membaca dan menghidupkan majalah sastra, harus membayar tarif yang ditentukan guna mendukung biaya produksi itu sendiri,” kata Kang Tohari, sapaan akrab Ahmad Tohari.

Menurutnya, kehadiran majalah sastra “Surah” merupakan sebagai media komunikasi yang mempersatukan anak-anak muda dalam hal tulis-menulis. Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk ini telah lama menunggu-tunggu kehadiran majalah sastra yang turun dari langit menyapa anak-anak muda.

Ia mengaku bahwa sepanjang hidupnya, ia sering duduk di dewan redaksi aneka media. Hanya untuk kali ini, ia menyatakan kebanggaannya karena berkedudukan sebagai dewan redaksi majalah sastra yang hendak menemani pertumbuhan kreativitas anak muda.

Untuk menghidupi majalah sastra atau bentuk kesenian apapun, Kang Tohari menyadari penting kehadiran seorang miliuner yang mendukung seni dan kehidupan seniman. Tetapi logika santrinya mengatakan lain. Ia yakin, kehidupan majalah sastra itu dapat berjalan dengan kenekatan swadaya dan daya beli masyarakat sastra itu sendiri.

Di akhir sambutan, Kang Tohari mengambil dari dompetnya uang Rp 15.000 guna mempelopori para hadirin membelinya. Lantas seketika, Acep Zamzam Noor, M. Jadul Maula, Hairus Salim, Heru Prasetia, Hasan Basri, Isma Kaze, Bosman Batubara, dan lainnya, yang sedang duduk bersila di pendopo untuk merogoh kantong masing-masing guna membayar majalah sastra yang tengah digawanginya.

Majalah sastra yang bersemboyan "Medan Sastra Indonesia" itu diterbitkan oleh anak muda NU yang selama ini aktif di Komunitas Surah. Mereka berbasis di Jakarta. Mereka bukan hanya sastrawan, tetapi juga seniman, desainer, santri, mahasiswa, penulis lepas hingga jurnalis.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Selain menerbitkan majalah, mereka berencana menerbitkan buku, membuat film, dan melanjutkan kegiatan rutin pelatihan menulis yang sudah dijalani lima tahun belakangan


Penulis: Alhafiz Kurniawan


Terkait