Daerah

Masjid Bung Sidom Aceh, Peninggalan Arkeologis Masa Kolonial, Tetap Berdiri Kokoh

Selasa, 11 Maret 2025 | 17:15 WIB

Masjid Bung Sidom Aceh, Peninggalan Arkeologis Masa Kolonial, Tetap Berdiri Kokoh

Masjid Bung Sidom, yang terletak sekitar 800 meter dari Jalan Raya Bandara Sultan Iskandar Muda, adalah salah satu peninggalan arkeologis masa penjajahan Belanda, Selasa (11/3/2025). (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)

Banda Aceh, NU Online

Rintik hujan masih membasahi sebagian wilayah Aceh Besar pagi itu. Genangan air memantulkan cahaya langit yang mulai membiru, menciptakan suasana tenang nan syahdu. Suara azan berkumandang, mengajak umat Muslim untuk menunaikan sholat Zuhur. Satu per satu, warga Desa Bung Sidom bergegas menuju Masjid Bung Sidom, sebuah masjid tua yang menyimpan sejarah panjang dan menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Aceh.


Di antara jamaah yang berdatangan, terlihat seorang wanita lansia dengan mukenah putih dan saraoh yang menutupi wajahnya. Langkahnya pelan namun penuh keteguhan, menuju masjid untuk melaksanakan sholat berjamaah. Suasana di sekitar masjid begitu tenang, seolah waktu berhenti sejenak untuk menghormati kekhidmatan tempat ini.


 

Latifah, salah seorang warga Bung Sidom saat menjelaskan sejarah Masjid Bung Sidom, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)
 

Peninggalan Arkeologis Penuh Makna

Masjid Bung Sidom, yang terletak sekitar 800 meter dari Jalan Raya Bandara Sultan Iskandar Muda, adalah salah satu peninggalan arkeologis masa penjajahan Belanda. Masjid ini berdiri di ujung perkampungan, dengan status tanah wakaf dari mukim yang terdiri dari lima desa. Bangunannya masih mempertahankan arsitektur asli, dengan lengkungan semen berbentuk gapura rendah di bagian depan.


Masjid ini awalnya dibangun dengan sangat sederhana, menggunakan tiang-tiang kayu kecil, beratap rumbia tumpang tiga, dan berdenah bujursangkar, kemudian lantainya yang terbuat dari abu dapur di campur dengan telur ayam yang menghasilkan lantai dingin mengilap. 


Namun, sejarah mencatat bahwa masjid ini sempat dibakar oleh Belanda karena sering digunakan sebagai tempat musyawarah dan mengatur strategi perlawanan terhadap penjajah. Meski dibakar, masjid ini tidak musnah sepenuhnya. Bentuk denah dan umpak tiang asli masih bertahan, menjadi bukti ketangguhan masyarakat Aceh.


Pada tahun 1250 H atau 1834 M, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah I, masyarakat empat mukim bangkit membangun kembali masjid ini. Mereka mempertahankan konstruksi aslinya, dengan empat tiang soko guru berdenah bujursangkar. Meski mengalami beberapa perubahan, seperti penggantian atap rumbia menjadi seng pada masa pergolakan DI/TII (1953-1958), keaslian bangunan induk tetap dipertahankan.

 
Arsitektur bersejarah yang masih dterus dipertahankan di Masjid Bung Sidom Aceh. (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)
 

Masjid Bung Sidom memiliki arsitektur yang unik dan sarat makna. Bangunan utama berukuran 7,50 x 8 meter, dengan atap tumpang bersusun tiga dari bahan seng. Keempat soko guru di tengah masjid menjadi penopang utama atap dan kap. Tiang-tiang tersebut terbuat dari kayu nangka, berdiri di atas umpak berbentuk bulat, dan dihubungkan oleh balok bawah yang disebut "ru" dalam bahasa Aceh.


Lantai masjid awalnya terbuat dari abu pembakaran kayu yang dicampur dengan telur, menciptakan permukaan yang licin dan mengkilap. Namun, seiring waktu, lantai dan atap masjid mengalami perubahan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan modern, tanpa mengorbankan keutuhan bangunan aslinya.


Di sekitar masjid, terdapat kolam penampungan air bersih, dan tempat buang air kecil, serta balee (bangunan kecil) yang digunakan untuk berbagai keperluan masyarakat. Sisi selatan masjid juga terdapat gedung pertemuan PKK, yang di bawahnya terdapat jeungki (penumbuk tradisional) menandakan bahwa masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial masyarakat.


Latifah (80), anak dari Imam Masjid yang bernama Tengku Makam, mengenang betapa masjid ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Desa Bung Sidom. 


"Sejak kami kecil, masjid ini sudah ada. Dulu, sumber air untuk wudhu hanya dari sumur di depan masjid. Tapi sekarang sudah ada kulah (bak air) yang dibangun untuk memudahkan jamaah," ujarnya.


Meski kini sudah ada masjid alternatif di setiap gampong (desa), Masjid Bung Sidom tetap digunakan oleh masyarakat untuk sholat-sholat sunnah, seperti Sholat Tasbih. 


"Masjid ini dulu dipakai oleh empat desa sekitarnya. Tapi karena jumlah penduduk semakin banyak, masjid ini tidak muat lagi. Meski begitu, kami tetap menjaga dan merawatnya," tambah Latifah, Selasa 11 Maret 2025


Latifah bercerita, pada saat sang ayah menjadi Imam Masjid tersebut sang ayah bertekad untuk terus mempertahankan bentuk Masjid seperti semula dengan terus merawatnya agar bisa dirasakan oleh generasi yang akan datang.


"Dulu abi kami sangat suka merawat masjid ini, beliau juga berharap bentuk bangunan ini tidak dirubah lagi seperti ukiran pada kayu-kayu di atas tiang itu bisa dipertahankan," ungkap Latifah. 


Latifah menyebutkan, sebelum sumber air bersih ada dengan mudah seperti saat ini di Aceh Besar. Untuk berwudhu, di hadapan Masjid Bung Sidom dibangun sebuah sumur besar dengan metode menimba yang unik. 


"Dulu kami timba air ga berat, cuma menginjak satu sisi kayu terus nanti airnya naik sendiri, seperti main jungkat-jungkit," terangnya. 

 
Tampak pilar-pilar kokoh yang masih dijaga keasliannya di Masjid Bung Sidom Aceh. (Foto: NU Online/Wahyu Majiah)
 

Di sisi lain, Masjid Bung Sidom bukan sekadar bangunan tua. ia adalah simbol keteguhan, persatuan, dan semangat masyarakat Aceh yang tak pernah padam. Setiap sudutnya menyimpan cerita perjuangan, setiap tiangnya mengingatkan pada kearifan lokal, dan setiap sholat yang dilaksanakan di dalamnya adalah doa untuk keberkahan negeri.


Di tengah gemuruh modernisasi, Masjid Bung Sidom tetap berdiri kokoh, menjadi saksi bisu sejarah sekaligus penjaga tradisi. Ia adalah warisan yang hidup, mengajarkan kita untuk tidak melupakan akar dan asal-usul, sambil terus melangkah ke masa depan dengan penuh harapan.


Saat ini, Masjid Bung Sidom telah ditetapkan sebagai situs Cagar Budaya oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah - 1 Provinsi Aceh.