Lebak, NU Online
Tanah Banten sejak dulu dikenal sebagai kota pelabuhan yang makmur. Sumber-sumber Portugis menyebut bahwa Bantam, sebutan Banten di masa silam, merupakan pelabuhan besar yang setara dengan Malaka di Sumatera dan Makassar di Sulawesi.
Meski dikenal sebagai kota pelabuhan yang ramai, wilayah pedalaman di provinsi paling barat pulau Jawa itu masih menyimpan kehidupan yang sangat tradisional dan menutup diri dari dunia luar. Di pedalaman provinsi Banten, tepatnya di sejumlah desa yang masuk dalam kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, tinggalah suku Baduy, yang dikenal sangat ketat dalam menjaga adat istiadat dan tradisi leluhur Sunda. Bagi masyarakat Baduy, amanah leluhur adalah segala-galanya. Hal itu dibuktikan dengan sistem kepercayaan, cara hidup, pakaian, tempat tinggal, hingga perabotan rumah tangga dan sebagainya.
Asal mula suku Baduy diyakini bemula ketika agama Islam mulai menyebar ke wilayah Banten. Konon, pada masa kekuasaan Sultan Hasanuddin terdapat sekelompok masyarakat yang melarikan diri ke pedalaman hutan karena menolak ajaran Islam. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan suku Baduy. Terlepas dari sejarah tersebut, kini sejumlah warga yang berasal dari suku Baduy bagian luar, atau Baduy Panamping, telah banyak yang memeluk Islam. Iwan Kurniawan, petugas KUA kecamatan Leuwidamar yang sering berinteraksi dengan warga Baduy mengatakan tidak diketahui secara pasti kapan awal mula warga Baduy luar beralih ke agama Islam. Meski demikian, diyakini peralihan tersebut terjadi seiring dengan keluarnya sejumlah orang suku Baduy dari pedalaman hutan untuk mencari pekerjaan lantaran terdesak oleh kebutuhan. Oleh karena itu, peralihan masuknya sejumlah orang dari suku Baduy ke dalam agama Islam bukan karena masuknya pendakwah ke pedalaman Baduy, tapi justru karena mereka yang memilih untuk berinteraksi dengan warga luar.
Seorang penyuluh agama Islam yang aktif membina suku Baduy adalah Suntiah. Kepada bimasislam, ibu paruh baya ini bercerita bahwa tantangan yaang ia hadapi saat mengajar ngaji ‘barudak Baduy’ memang sulit, terutama karena infrastruktur yang belum memadai.
“Kalau bicara tantangan, terutama di sini itu kalau mau jalan sulit, apa-apa sulit, tapi alhamdulillah sekarang sudah ada motor untuk ngajar ngaji. Dulu mah saya mau ngajar ngaji jalan kaki, tapi sekarang mah alhamdulillah udah ada kemajuan di wilayah perbatasannya,” katanya seperti dikutip dari laman kemenag.go.id.
Suntiah tinggal di dusun Cikakal Girang, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar. Di dusun itu sejumlah warga dari Baduy luar yang telah memeluk Islam belajar agama darinya. Di KUA Kecamatan Leuwi Damar sendiri terdapat 19 orang penyuluh agama honorer, sedangkan yang berstatus pegawai negeri hanya ada satu orang. Selain membimbing warga kecamatan Leuwidamar, para penyuluh ini juga membimbing warga di kecamatan Muncang.
“Tugas saya adalah membimbing masyarakat Muslim, termasuk kepada warga Baduy luar yang telah memeluk Islam. Anak-anak mereka sangat bersemangat saat mengaji,” jelasnya. Meski begitu, pembinaan terhadap mualaf dari warga Baduy dirasa masih kurang. Hal tersebut diutarakan Aat Ambiat, seorang penyuluh lainnya di kecamatan Leuwidamar.
“Tugas yang paling berat adalah setelah mereka memilih untuk memeluk Islam. Pembinaan kepada mualafnya itu yang harus dirutinkan, kalau tidak kontinyu, kasihan mereka,” ujar Aat. Satu-satunya penyuluh yang berstatus PNS di Kecamatan Leuwidamar itu menambahkan, “Suku Baduy luar yang menjadi mualaf tetapi tidak dibina, mereka mau kembali ke agama lama (kepercayaan Sunda Wiwitan) tidak bisa, (sementara) mau berbaur dengan orang Islam pun mereka malu karena merasa belum bisa apa-apa. PR besarnya adalah pembinaan terhadap mereka itu.” Aat melanjutkan, “Yang paling menyedihkan itu saat menjelang Idul Fitri, orang lain mengenakan baju dan sarung baru, sedangkan mereka tidak. Kami juga tidak bisa memberikan apa-apa karena tidak punya anggaran. Pun demikian dengan masyarakat sekitar. Saya khawatir di hati mereka ada penyesalan setelah masuk Islam,” jelasnya khawatir.
Masyarakat Baduy bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Wilayah dengan suhu rata-rata 20 derjat celcius itu berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Istilah Baduy merupakan sebutan dari penduduk luar kepada masyarakat tersebut. Mereka sendiri sebetulnya lebih senang dipanggil dengan sebutan ‘Urang Kanekes’ yang berarti orang atau warga Kanekes. Red Mukafi Niam