Dukungan NU untuk Palestina: dari Qunut Nazilah hingga Pekan Rajabiyah
Rabu, 11 Oktober 2023 | 19:45 WIB
Nahdlatul Ulama teguh dalam mendukung kemerdekaan, kebebasan, dan hak-hak warga Palestina. Hal ini sudah dilakukan sejak dahulu, bahkan sebelum Indonesia sendiri merdeka dari cengkeraman penjajahan Belanda dan Jepang.
Di masa dahulu, NU membuat dua langkah dalam mendukung perjuangan Palestina. Pertama, NU mendukung melalui doa berupa Qunut Nazilah sebagai dukungan batin. Kedua, NU menggelar Pekan Rajabiyah sebagai ikhtiar dukungan lahir terhadap perjuangan Palestina dengan menghimpun materi.
Qunut Nazilah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), saat itu masih Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO), menginstruksikan kepada seluruh cabang NU untuk mendoakan para pejuang Palestina melalui Qunut Nazilah setiap shalat fardhu. Doa yang dipanjatkan ini telah diseragamkan. KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2020: 427) sebagaimana dilansir NU Online mencatat doa tersebut dalam bentuk terjemahannya berikut.
"Ya Allah, turunkan kutukan-Mu kepada musuh-musuh saudara kami bangsa Palestina yang tengah memperjuangkan kemerdekaan mereka. Kutuki pula orang-orang kafir yang membantu musuh-musuh kami, mereka yang menghalang-halangi agama kami, mereka yang menindas saudara-saudara kami, mereka yang membunuh para pejuang Palestina dan mereka yang rnenghalang-halangi perjuangan kami, mereka yang berusaha untuk memadamkan cahaya agama kami, pecahkan persatuan mereka, goncangkan segala rencana dan kebulatan mereka, turunkanlah kepada mereka siksaan-Mu yang tidak mungkin bisa ditangkis oleh mereka, karena mereka terdiri dari orang-orang yang durhaka dan aniaya. Ya Allah, tolonglah kami dan para pejuang rakyat Palestina, lenyapkan penderitaan mereka, dan kuatkan perjuangan mereka. Semoga tetap sejahtera Nabi Muhammad tercinta, segenap keluarga dan handai tolannya."
Instruksi pembacaan Qunut Nazilah ini sempat dilarang oleh Kejaksaan Agung saat itu karena dinilai menghinakan golongan tertentu. Padahal, tidak ada niatan hal tersebut, melainkan hanya sebagai bentuk solidaritas sesama umat Islam agar mereka dilepaskan dari segala bentuk marabahaya yang dihadapinya.
Pekan Rajabiyah
Selain itu, warga NU juga menggalang dukungan untuk Palestina melalui kegiatan yang dinamai sebagai Pekan Rajabiyah. Kegiatan ini merupakan satu momen yang berisi tiga rangkaian agenda penting, yaitu (1) Peringatan Isra Mi'raj Nabi Muhammad saw; (2) Peringatan hari lahir NU (lahir 16 Rajab 1344 H); dan (3) Hari Solidaritas untuk Palestina sebagai bentuk dukungan moral dan material dari NU terhadap perjuangan para pejuang kemerdekaan Palestina.
Qunut Nazilah dan Pekan Rajabiyah itu merupakan instruksi langsung dari Ketua Umum PBNU KH Mahfudz Shiddiq. Hal ini menyusul Palestina semakin dibanjiri pengungsi Yahudi dari berbagai negara Eropa dan Amerika.
Bahkan, PBNU mengajak serta ormas Islam lainnya guna mendukung perjuangan Palestina tersebut. Hal ini disampaikan melalui seruan tertanggal 12 November 1938 M (19 Ramadhan 1357 H) kepada PB al-Hidayah al-Islamiyah, PB Wartawan Muslimin Indonesia, PB al-Islam, PB Muhammadiyah, PB Musyawaratut Thalibin, PB al-Jam'iyyatul Washiliyah, PB al-lrsyad, PB ar-Rabithah al-AJawiyah, PB Perserikatan Ulama Indonesia, Lajnah Tanfidziyah PSII, Pucuk Pimpinan PSII Penyadar, dan Dewan Pimpinan Majelis Islam a'la Indonesia.
Seruan PBNU itu berisi ajakan kepada semua partai dan ormas Islam di seluruh Indonesia untuk bersikap tegas atas apa yang dilakukan bangsa Yahudi. Pun sikap tegas atas nama bangsa Indonesia untuk berdiri bahu-membahu dengan rakyat Palestina dalam memperjuangkan agama dan kemerdekaan tanah air mereka dari cengkeraman kaum penjajah dan komplotan Zionisme.
Bahkan, NU juga mengajak serta mereka untuk menghimpun dana (Palestina Fonds) sebagai sumbangsih umat Islam Indonesia untuk meringankan beban penderitaan perjuangan warga Palestina, sebagaimana ditulis Fathoni dalam NU Online.
Dua langkah NU yang mendukung Palestina secara lahir dan batin itu ditentang pemerintah saat itu. Tak pelak, KH Mahfudh Shiddiq sampai dipanggil Bupati Surabaya pada 29 Januari 1939 M atau bertepatan dengan 6 Dzulhijjah 1357 H mengingat adanya larangan dari Kejaksaan Agung (Hoofdparket). Meskipun demikian, warga NU tetap melaksanakan kegiatan tersebut. Hal ini didukung oleh H Agus Salim melalui nota pembelaannya yang terbit di harian Tjaja Timoer.