Kedung Pakuncen: Peradaban Islam Kota Bojonegoro, Rembang, dan Tuban pada Abad 17
Kamis, 31 Maret 2022 | 23:00 WIB
Kedung Pakuncen merupakan tempat disemayamkannya ayah mertua Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Tuban. Di kawasan yang saat ini masuk wilayah Kota Bojonegoro barat itu, juga jadi basis pasukan Diponegoro, markas pasukan Sarekat Islam, hingga tanah kelahiran NU Bojonegoro.
Islam di Kota Bojonegoro memang sepuh. Terbukti pada abad ke-17 (1600 masehi), tercatat sudah membangun konsolidasi genealogis dengan para penyebar agama Islam di Kawasan Lasem Rembang dan Tuban Selatan.
Keberadaan manuskrip dan hikayat-hikayat, tak bisa dipungkiri adalah rentetan indikasi dan bukti otentik bahwa Islam di Kota Bojonegoro memang sepuh sekali. Hal itu bisa dibuktikan secara empiris nan ilmiah, sesuai data kronik sejarah.
Kota Bojonegoro, pada abad ke-17 (1600 masehi), pernah menjadi peradaban Islam yang pergerakannya berhubungan langsung dengan Kota Rembang dan Tuban. Sepuhnya persebaran Islam di Kota Bojonegoro, tak lepas dari sebuah wilayah bernama Kedung Pakuncen.
Kawasan Kedung Pakuncen, secara formal administratif, saat ini bernama Desa Kuncen, Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. Sebuah kawasan yang memiliki sejarah panjang terkait persebaran agama Islam.
Nama "Kedung Pakuncen" muncul di sebuah manuskrip yang ditulis sekitar 1870 oleh salah seorang pilar Masyayikh Kuncen Padangan, Mbah Durrohman Klothok atau Syekh Abdurrohman Padangan. Dalam dunia literatur, manuskrip ini sering disebut dengan Manuskrip Padangan.
Dalam manuskrip tulisan Pegon berhuruf Arab Jawa itu, tertera bahwa Kedung Pakuncen merupakan tempat disemayamkannya para leluhur masyarakat Kuncen Padangan yang tak lain adalah para penyebar agama Islam di kawasan tersebut.
Dalam manuskrip tertera nama Mbah Kiai Sabil dan Mbah Kiai Khasim sebagai leluhur orang-orang Islam di Kedung Pakuncen. Beliau berdua merupakan ulama penyebar agama Islam yang berdakwah pada awal abad ke-17 (1600 masehi) di kawasan Kuncen Padangan dan sekitarnya.
Dalam manuskrip tersebut, tertulis dengan jelas bahwa Mbah Sabil adalah ayah mertua dari Sayyid Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu Lasem). Mbah Sabil juga ayah mertua dari Mbah Abdul Jabbar Tuban. Ini menunjukan betapa sepuhnya Islam di Kota Bojonegoro.
Mbah Sabil diperkirakan wafat pada pertengahan abad ke-17 (1650). Hal ini ternyata sesuai dengan periodisasi masa hidup anak-anak menantunya. Yakni, Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Nglirip Tuban.
Mbah Sambu Lasem, sesuai manakib beliau, wafat pada tahun 1671 masehi.
Sedangkan Mbah Abdul Jabbar, dirujuk dari buku Mbah Jabbar: Leluhur dan Dzuriyyahnya (2009) karya Abdurrahim Izzuddin, mengatakan bahwa Mbah Jabbar hidup sezaman atau lebih muda sedikit dari Mbah Sambu Lasem. Ini logis karena Mbah Sambu Lasem kakak ipar Mbah Jabbar Tuban.
Dalam manuskrip disebut, Mbah Sambu Lasem menikah dengan anak kedua Mbah Sabil. Sementara Mbah Jabbar menikah dengan anak ketiga Mbah Sabil. Sehingga, Mbah Sambu Lasem adalah pripenan (kakak ipar istri) dari Mbah Jabbar Nglirip. Keduanya merupakan anak menantu Mbah Sabil Kuncen Padangan Bojonegoro.
Ada tiga manuskrip silsilah yang membahas Mbah Abdul Jabbar. Diantaranya Manuskrip Padangan, Manuskrip Gresik, dan Manuskrip Tuban. Memang ada perbedaan dalam hal turunnya dzuriyah Mbah Jabbar (ini karena Mbah Jabbar beristri lebih dari satu). Tapi, ketiga manuskrip sepakat bahwa Mbah Jabbar adalah anak mantu Mbah Sabil Kuncen.
Dalam Manuskrip Padangan dijelaskan, Mbah Sabil memiliki 4 orang anak. Anak pertama bernama Kiai Sabat berada di Kedung Pakuncen. Anak kedua adalah Nyai Sambu (istri Mbah Sambu Lasem). Anak ketiga Nyai Jabbar (istri Mbah Jabbar Nglirip Tuban). Anak keempat bernama Bagus Abdurrohim yang berada di Kasiman Bojonegoro.
Hal ini menjadi alasan kuat bahwa konsolidasi persebaran Islam di wilayah Lasem Rembang dan Tuban Selatan, berhubungan dengan pergerakan Islam di Kota Bojonegoro, khususnya kawasan Kedung Pakuncen. Sebab, pada periode tersebut, pernikahan adalah bagian dari konsep persebaran agama Islam.
Kelak kita tahu, daerah yang merepresentasikan Mbah Sabil (Kuncen, Padangan, Bojonegoro), Mbah Sambu (Lasem, Rembang) dan Mbah Jabbar (Singgahan dan Senori, Tuban), menjadi kawasan yang identik selalu melahirkan ulama penyebar agama Islam.
Ini juga menjadi bukti otentik bahwa Islam di Kota Bojonegoro tak hanya berusia sepuh. Tapi memiliki peran penting dalam peta persebaran dan pergerakan agama islam di sejumlah wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Khususnya Lasem Rembang dan Tuban bagian Selatan.
Pada pertengahan abad ke-16 (1550), kawasan ini masuk Kadipaten Jipang (wilayah administratif Kerajaan Demak). Dan Kedung Pakuncen, adalah bagian ibukota Kadipaten Jipang. Ini alasan ia jadi pusat pengembangan Islam. Sebab, sebelum Mbah Sabil datang ke sana, Mbah Khosim sudah menyebarkan Islam di tempat tersebut.
Namun, kehadiran Mbah Sabil pada awal abad ke-17, membuat geliat islam di Kedung Pakuncen kian membesar. Terlebih, dengan didirikannya Pondok Pesantren Menak Anggrung yang cukup masyhur sebagai kawah candradimuka para pesuluk cahaya, kala itu.
Selain itu, keturunan Mbah Sabil juga melanjutkan estafet syiar. Baik melalui konsolidasi genealogis maupun konsolidasi keilmuan. Ini alasan orang-orang Islam yang hidup di Kedung Pakuncen pada abad ke-18 dan ke- 19 (1700 dan 1800 masehi), hampir semua memiliki pertautan saudara.
Anak pertama Mbah Sabil yang bernama Kiai Sabat, kelak menjadi leluhur orang-orang Islam yang ada di daerah Kedung Pakuncen. Peradaban Islam di Padangan mulai gencar dibangun di era Kiai Sabat. Ini terbukti, hampir semua Masyayikh Kuncen dan para ulama pejuang yang lahir di sana, mayoritas memiliki hubungan saudara.
Ini juga alasan kenapa nama-nama ulama penyebar agama islam di luar daerah seperti KH Zainuddin Mojosari (Nganjuk), KH Mustajab Gedongsari (Nganjuk), KH Zuber Umar (Salatiga), hingga Syekh Sulaiman Kurdi (Makkah); lahir dan pernah tumbuh di kawasan bernama Kedung Pakuncen.
Tanah para Pejuang
Kedung Pakuncen, secara harfiah, bisa dimaknai lubuk yang terkunci. Atau tempat yang terkunci. Atau tanah yang terlindungi. Ini alasan utama kenapa tanah Kuncen Padangan, selain dikenal keramat bagi para birokrat jahat, juga selalu jadi basis perlawanan terhadap para penjajah, dari zaman ke zaman.
Hal ini sesungguhnya bisa dianalisis dari para sesepuhnya. Mulai dari Mbah Sabil Kuncen, Mbah Sambu Lasem, hingga Mbah Jabbar Nglirip Tuban, punya karakter yang mirip. Yakni, beliau sangat anti dengan penjajahan. Ini alasan Kedung Pakuncen selalu jadi tempat lahirnya para ulama yang berjuang melawan penjajahan.
Kawasan Kedung Pakuncen punya peran penting dalam setiap zaman. Tak hanya jadi pusat peradaban Islam Bojonegoro abad ke-17, tapi hampir di tiap abad, selalu punya peran yang melibatkan ulama pejuang. Hal ini terbukti secara empiris dan ilmiah berbasis kronik sejarah.
Zaman Perang Diponegoro
Pada era Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830), kawasan Kedung Pakuncen jadi markas utama ratusan Pasukan Diponegoro yang dipimpin Tanggono Pura dan Sayyid Abu Bakar Alaydrus (Kiai Khasan). Sebuah divisi pasukan yang bertugas menghalangi dan memblokade perlintasan Belanda dari arah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pasukan ini disebut Malang Negoro, karena menghalangi dan membabat habis pergerakan Belanda dari arah Jawa Tengah (Rembang) dan Jawa Timur (Pacitan). Lokasi tempat disemayamkannya Tanggono Pura dan Sayyid Abu Bakar itu, kini dikenal makam Mbah Malang Negoro. Terletak di Desa Ngasinan Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro.
Peneliti dari Sarkub Institute, Kiai Furqon Azmi mengatakan, pada tahun 1990, Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan pernah singgah ke Padangan dan meminta salah seorang ulama di Padangan, yakni KH. Khanifuddin, untuk merawat sebuah makam di makbaroh Malang Negoro.
Sebab, dalam daftar nama para pejuang Malang Negoro di Padangan, terdapat seorang habaib yang memiliki hubungan saudara dengan Habib Luthfi bin Yahya. Hal itu yang membuat Habib Luthfi berpesan pada para ulama di Kuncen Padangan agar merawat makam Pasukan Malang Negoro.
"Menurut Habib Luthfi, di sana bersemayam saudaranya, yang tak lain adalah Sayyid Abubakar Alaydrus". Kata Kiai Furqon Azmi melalui pesan singkat.
Menurut Furqon Azmi, pasca pecahnya perang Diponegoro, ratusan pasukan Diponegoro (khususnya dari Divisi Malang Negoro), banyak yang bersembunyi dan membangun keluarga di kawasan Padangan.
Ini alasan utama banyak keturunan Pasukan Malang Negoro yang lahir dan hidup di kawasan Padangan.
Zaman Sarekat Islam
Para pasukan Malang Negoro melahirkan cukup banyak keturunan di kawasan Padangan. Anak keturunan pasukan Malang Negoro inilah, yang kelak menjadi para pejuang Sarekat Islam (SI), meneruskan perjuangan leluhur mereka dalam menghadapi penindasan penjajah.
Hal ini terbukti secara empiris. Hampir 90 persen masyarakat Kuncen Padangan, kala itu para pejuang Sarekat Islam yang sangat militan. Terbukti, pada tahun 1916, saat Sarekat Islam mulai masuk di Kota Bojonegoro, Kuncen Padangan menjadi basis utama perjuangan Sarekat Islam.
Dalam buku Sejarah Kabupaten Bojonegoro; Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa (1988), secara jelas disebut bahwa pada tahun 1916, Sarekat Islam Bojonegoro berpusat di Padangan. Menurut buku tersebut, Padangan adalah kawasan yang paling diawasi Pemerintah Hindia Belanda, terkait keberadaan SI-nya.
Kawasan Padangan memiliki banyak simpatisan SI yang sangat militan dan kerap menebar teror pada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Saking militannya, sampai membuat Pemerintah Hindia Belanda mengirim Intel khusus ke Padangan.
Dalam buku itu pula, disebut jika Intel khusus yang dikirim pemerintah Hindia Belanda ke Padangan itu, memiliki nama samaran, M. Suparman. Seorang intel yang bertugas mengawasi gerak-gerik simpatisan SI di Padangan.
Dalam buku Pergerakan Nasional Indonesia (1912-1927) karya Yasmis (2009), disebut bahwa Sarekat Islam merupakan organisasi yang secara lantang dan frontal menentang segala ketidakadilan sistem kolonialisme.
Hal itu benar adanya. Tak hanya penjajah Belanda, penjajah era Jepang yang terkenal kejam itu, punya trauma buruk dengan Kuncen Padangan. Masyhur jika pasukan Jepang sangat takut memasuki teritori Padangan.
Banyaknya keturunan Sarekat Islam yang berada di Kuncen Padangan, membuat pasukan Jepang pada (1942-1945) harus berpikir dua kali untuk menyombongkan diri. Sebab, Sarekat Islam sangat anti dengan apapun bentuk penjajahan.
Jika pernah mendengar hikayat ada kawasan yang membuat kroni-kroni penjajah berdoa dulu sebelum memasukinya, itulah Tlatah Kuncen Padangan---kandang macan bagi kroni penjajahan. Di kawasan itu, penjajah "dipaksa" bersholawat agar bisa melintas dengan selamat.
Zaman Nahdlatul Ulama
Dengan rentetan sejarah seperti di atas, tak heran jika KH Wahab Chasbullah sangat ingin cabang NU bisa lahir di kawasan Kedung Pakuncen. Dalam buku NU Bojonegoro dalam Lintasan Sejarah (2008) karya Drs. H. Anas Yusuf, disebut bahwa tiap kali KH Wahab Chasbullah melintasi Padangan, beliau selalu berhenti dan berharap agar NU bisa lahir tempat tersebut.
Pada awal 1930, Mbah Wahab seringkali melakukan perjalanan dari Jombang ke Kudus untuk berkonsolidasi dengan KHR Asnawi Kudus terkait organisasi Nahdlatul Ulama yang baru dibentuk. Tiap kali melintas di Padangan, kendaraan yang beliau tumpangi selalu terhenti.
Mbah Wahab berharap agar NU bisa lahir di kawasan tempat ia menghentikan kendaraan tersebut. Dan itu terbukti. Pada 1938, NU Padangan (embrio NU Bojonegoro) lahir di sebuah musala di Kedung Pakuncen. Selain melahirkan NU Bojonegoro, dari tempat yang sama, NU Cepu Jawa Tengah juga lahir di sana.
Ahmad Wahyu Rizkiawan, khadim di Pondok Pesantren Ar-Ridwan Al Maliky Bojonegoro dan penulis buku "Kronologi Lahirnya NU Bojonegoro"