Sebagai Komandan Divisi Hizbullah Jawa Tengah dan Anggota Dewan Pertahanan Daerah Kedu, ia memimpin laskar hizbullah untuk bersama-sama pasukan TKR di bawah pimpinan Kolonel Soedirman. Dalam pertempuran Ambarawa sendiri terjadi karena sekutu harus segera mengungsikan orang-orang Eropa di Ambarawa dan sekitarnya yang berjumlah sekitar 10.000 orang.
KH Saifuddin Zuhri bersama pasukan tempurnya dar Hizbullah sebelum bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan tentara kelaskaran rakyat lainnya dalam perang Ambarawa terlebih dahulu melakukan mobilisasi kekuatan tempur untuk menyerang Inggris di Magelang.
Pertempuran di mana pun, termasuk di Ambarawa dan Magelang, riyadhoh rohani dilakukan. Saat itu ikhtiar berlangsung hanya satu jam, usai sebelum waktu subuh tiba. Kala itu KH Saifuddin Zuhri mengantarkan Letkol M. Sarbini dan Letkol Ahmad Yani hingga ke pinggir alun-alun di mulut Jalan Bayeman, Magelang.
Mereka masih terus membicarakan rencana serangan serentak untuk mengepung markas tentara Sekutu yang mendiami Seminari Katolik ketika itu. Ketiga tokoh tersebut merencanakan ‘gerakan mencekik leher’. Mengepung kedudukan Sekutu dengan serangan tiba-tiba.
Di tengah rencana tersebut, Laskar Hizbullah akan bergerak dari Masjid Besar dan pendopo kabupaten untuk menyerang musuh dari arah depan. Laskar yang lain bergerak dari arah Bayeman, menerobos jalan Pecinana untuk mencapai gedung bioksop yang terletak dari sayap kiri gedung Seminari Katolik.
Adapun Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang induk pasukannya berada di karesidenan akan menyerbu markas Sekutu dari arah Hotel Tidar yang terletak di sayap kanan gedung Seminari Katolik.
Tiba-tiba sesosok tibuh mendekati KH Saifuddin Zuhri, Sarbini, dan Ahmad Yani dalam keremangan waktu subuh.
“Menoreh!” teriak seorang pengawal M. Sarbini.
“Meteseh!” jawaban dari sosok tubuh di keremangan yang ternyata kurir (pembawa pesan) TKR. Ia makin mendekati ketiga tokoh tersebut, datang untuk melapor kepada Letkol M. Sarbini yang merupakan komando pertempuran di Magelang, Jawa Tengah.
KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren (2013) menjelaskan bahwa ‘Menoreh’ dan ‘Meteseh’ adalah kata-kata semboyan jaga (wachtwoord), kata atau kode pengenal untuk mengetahui apakah seorang yang dijumpai itu kawan atau musuh.
Dalam keadaan siaga dan diterapkan jam malam, berlaku kata sandi untuk menegur seseorang yang tidak dikenal. Kata pengenal tersebut terdiri dari dua kata (teguran dan jawaban) yang telah ditetapkan oleh komandan daerah yang bersangkutan. Kata pengenal tersebut setiap malam berganti dan hanya diketahui oleh sesama kawan.
Kadang-kadang berupa kata teguran ‘maju’ dan jawabnya ‘menang’ atau ‘siap’ dan jawabnya ‘waspada’. Jika jawaban orang yang ditegur adalah kata di luar ketetapan, maka dengan sendirinya hal itu merupakan petunjuk bahwa orang itu bukan kawan.
Malam itu kata sandi terdiri dari kata-kata “Menoreh’ dan ‘Meteseh’. Kedua kata sandi tersebut merupakan dua nama daerah perjuangan yang dijadikan medan tempur oleh Pangeran Diponegoro saat menghadapi penjajah Belanda.
Tentara Sekutu mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjen Bethel. Awalnya rakyat Indonesia ikut membantu pergerakan Tentara Sekutu yang kedatangannya ingin menyisir sisa-sisa tentara Nippon (Jepang) di Indonesia pasca Sekutu mengalahkan Jepang lewat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Tetapi seperti terjadi di daerah-daerah lain, serdadu NICA menyalakan obor fitnah dan mengadu domba sehingga terjadilah insiden antara rakyat Indonesia dengan tentara Sekutu. Insiden karena adu domba NICA ini menjalar ke sejumlah wilayah di Jawa Tengah, seperti Magelang. Bung Tomo, setelah secara perkasa membantu perjuangan santri di Surabaya, dia menuju ke Jawa Tengah karena situasi sama gentingnya seperti yang terjadi di Jawa Timur.
Namun demikian, kondisi ini juga mendapat perhatian serius dari para ulama Magelang. Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri, ulama se-Magelang mengadakan pertemuan di rumah Pimpinan Hizbullah di belakang Masjid Besar Kota Magelang pada 21 November 1945. Pertemuan ini dilaksanakan pada tsulutsail-lail atau saat memasuki duapertiga malam (sekitar pukul 03.00 dini hari).
Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mencatat, baik pertempuran Ambarawa dan Magelang, memberikan pelajaran penting. Pertama, jika sleuruh rakyat bersatu dengan senjata apa adanya pun bisa mengalahkan musuh yang menggunakan persenjataan modern.
Kedua, kemenangan bangsa Indonesia dalam pertempuran Ambarawa merupakan pernyataan penting bahwa seluruh rakyat Indonesia mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Ketiga, perang Ambarawa merupakan pesan penting bahwa Sekutu tidak boleh melibatkan diri membantu Belanda yang ingin berkuasa kembali.
Penulis: Fathoni Ahmad