Umat Islam di negeri ini sudah mafhum, bahwa Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri NU. Para ulama atau kyai di Nusantara, pastilah mengerti bahwa Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari, gurunya para ulama, penulis belasan kitab penting dalam Islam.
<>
Tapi, berapa banyak orang yang mengetahui, bahwa ia juga punya perhatian pada dunia pertanian. Ya, belum banyak tersiar bahwa Hadrotusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari adalah ulama yang memiliki perhatian kepada kaum tani, pada keseburan tanah, serta menyerukan kepemilikan tanah.
Ketahuilah, kakek Gus Dur itu telah menulis tentang pertanian dengan judul KEOETAMAAN BERTJOTJOK TANAM DAN BERTANI, dengan judul kecil Andjoeran Memperbanyak Hasil Boemi dan Menjoeboerkan Tanah, Andjuran Mengoesahakan Tanah dan Menegakkan Ke’adilan. Tulisan satu halaman itu dimuat majalah Soera Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363.
Sudah jamak seorang kiai, ketika menulis yang banyak dikutip adalah Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab para ulama. Di antara nash yang dikutip adalah hadits Imam Bukhori,” Tak ada seorang muslim yang menanam tanaman atau mencocokkan tumbuh-tumbuhan, kemudian tanaman itu dimakan burung atau manusia atau burung, melainkan dihitung menjadi sedekah (bagi yang menananmnya).”
Sebetulnya tidaklah mengherankan jika Hadrotusy Syaikh amat perhatian pada dunia pertanian. Dan, Mbah Hasyim sendiri, seperti data diri yang diserahkan ke penjajahan Jepang, pekerjaan resminya adalah petani dan guru agama.
Adalah fakta bahwa Nahdlatul Ulama, pada waktu itu, sangat peduli pada nasib petani.Lihat saja dalam bahtsul masail (majlis para ulama untuk membahas persoalan-persoalan keumatan) yang diselenggarakan NU dari tahun 1926-1945, banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkait dengan pertanian, tanah, tambak, zakat petani, hingga sedekah bumi (ritual kaum tani untuk mensyukuri nikmat Tuhan). Bahkan, berdirinya NU, salah satu tujuannya, adalah untuk melindungi kaum tani,”Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan persahabatan, yang tiada dilarang syara’ agama Islam.”
Tokoh-tokoh NU, jika berpidato di muka umum atau di rapat-rapat NU, memilih diksi-diksi yang dekat dengan kaum tani: tanah, air, tanah air, atau bumi. Sekedar contoh, Rais Aam PBNU Kiai Wahab Hasbullah, dalam doa iftitah Muktamar NU ke-25 di Surabaya, menegaskan:
”Mewarisi ‘bumi’ ini artinya membangunnya agar menjadi suatu dunia yang sejahtera, aman dan makmur, yang di dalam berisi keadilan dan kebenaran yang dijunjung tinggi.”
Mbah Hasyim, dalam tulisannya, menerangkan bahwa petani adalah benteng terakhir bagi pertahanan negeri. Mengutip tulisan Muntaha dari kitab Amalil khuthaba, Mbah Hasyim menulis:
”Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.”
Di akhir tulisan, seraya mengutip kitab akhlak yang masyhur di pesantren Adabud Dunya, Mbah Hasyim menyeru, bahwa dunia akan tertib jika enam hal terpenuhi, pertama, agama yang ditaati. Kedua, pemerintah yang berpengaruh. Ketiga keadilan yang merata. Keempat, ketentraman yang meluas.
Kelima, kesuburan tanah yang kekal. Dan keenam, cita-cita yang luhur. (Hamzah Sahal)
Sumber:
- Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama Tahun 1930,
- Soera Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363
- Ahkamul Fuqoha; Kumpulan keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (Surabaya, 2006),
- Secercah Da’wah karya KH Saifuddin Zuhri dalam (Bandung, 1983)