Fragmen

Kisah di Balik Empat Tiang Saka Masjid Tegalsari

Ahad, 23 Juli 2017 | 09:04 WIB

Hampir di setiap bangunan masjid lama, dapat kita temukan tiang utama (sakaguru) penyangga berukuran besar di dalamnya. Dalam bangunan rumah model joglo, tiang juga menjadi salah satu alat vital sebagai penopang kuat sebuah bangunan.

Dalam falsafah arsitektur Jawa, kerangka bangunan utama rumah terdiri atas empat tiang sakaguru dengan pengeret tumpang sanga atau tumpang telu di atasnya. Struktur semacam itu melambangkan bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat menjalani kehidupan seorang diri. Antara manusia satu dan yang lain harus saling bantu-membantu.

Tak hanya itu, tiang-tiang itu terkadang memiliki kisah menarik yang ada di balik pembangunannya. Seperti kisah pembangunan tiang (sakatatal) Masjid Agung Demak yang konon dibentuk dari serpihan kayu yang disambung menjadi satu oleh Sunan Kalijaga.

Lain lagi dengan jumlah tiang saka Masjid Al-Wustha Mangkunegaran yang berjumlah total, baik di dalam maupun di luar, sebanyak 18 buah. Jumlah ini melambangkan umur RM Said ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunegara.

Lalu bagaimana dengan empat tiang saka yang ada di dalam Masjid Tegalsari? Di masjid yang didirikan pada tahun 1928 tersebut memiliki tiang saka dengan panjang lebih dari 10 meter.

Menurut sesepuh Masjid Tegalsari H Ahmaduhidjan, kayu saka guru didapatkan dari daerah Surabaya dan Ngawi. “Pada saat proses pembangunan masjid, H Umar bin Akrom diutus untuk mencari bahan-bahan yang bagus, antara lain di Surabaya dan Ngawi,” kata H Ahmaduhidjan.

Setibanya di tempat penimbunan/penyimpanan kayu (Mantri Alas) ia berkeliling untuk memantau pohon jati yang sudah layak untuk ditebang. Setelah memilih kayu yang tepat H Umar pun melaksanakan shalat Ashar dan kemudian beristirahat.

Sayangnya, maut tak dapat diduga kedatangannya. Sewaktu beristirahat H Umar terkena penyakit “angin duduk”, dan menjadi sebab ia beristirahat untuk selamanya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Pada akhirnya kayu-kayu yang telah dipilih pun menjadi saksi jariyah perjuangan beliau, yang bahkan tidak sempat menyaksikan berdirinya keempat tiang saka serta selesainya pembangunan masjid. Lahul Fatihah! (Ajie Najmuddin)


Terkait