KH Said Aqil Siroj (2017) mengungkap, ide pendirian Masjid Istiqlal berkat gagasan putra Hadhtraussyekh KH Hasyim Asy’ari, yaitu KH Abdul Wahid Hasyim yang pada 20 Desember 1949 diangkat menjadi Menteri Agama. Kiai Wahid Hasyim usul kepada Presiden Soekarno, dinamakan Al-Istiqlal, masjid kemerdekaan mengambil momentum penyerahan kedaulatan penuh oleh Belanda.
Pembangunan masjid yang menghabiskan dana sekitar 7 miliar rupiah ini bukan tanpa perbedaan dan silang pendapat. Terutama mengenai lokasi pendirian dan sempat mengkraknya pembangunan. Pemilihan lokasi pembangunan masjid sempat memantik silang pendapat antara Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta saat itu.
Bung Hatta menyarankan agar Masjid Istiqlal didirikan di lokasi yang saat ini menjadi tempat berdirinya Hotel Indonesia atau di Jalan M.H. Thamrin sekarang. Pertimbangan Hatta ialah lokasi tersebut berada di lingkungan Muslim dan tersedia lahan yang cukup luas.
Hatta kurang setuju jika masjid nasional itu dibangun di kawasan Pasar Baru lantaran lokasi tersebut banyak terdapat bangunan-bangunan lama peninggalan Belanda. Hatta beralasan “akan mahal karena harus membongkar bekas benteng” apabila Masjid Istiqlal didirikan di lokasi tersebut.
Soekarno tetap menghendaki agar pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan di dekat sekitar Pasar Baru, tepatnya di Taman Wilhelmina dan dekat benteng kuno Belanda. Seperti yang dikhawatirkan Hatta, anggaran untuk membangun masjid di tempat itu pasti amat besar. Namun, presiden tetap bersikukuh.
Soekarno ingin menyampaikan pesan bahwa bangsa ini memiliki semangat persatuan dan toleransi beragama yang sangat kuat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Itulah alasan utama mengapa sang presiden menginginkan Masjid Istiqlal harus dibangun dekat dengan Gereja Katedral yang menjadi pusat kegiatan umat Kristiani di Indonesia.
Silang pendapat tersebut diungkap Setiadi Sapandi dalam buku biografi Friedrich Silaban (2017). Friedrich Silaban merupakan arsitek yang memenangkan sayembara rancang bangun Masjid Istiqlal yang digelar oleh pemerintah RI kala itu. Arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung itu menyisihkan 27 peserta dan membawa hadiah emas 75 gram serta uang sebesar Rp25 ribu atas karyanya itu.
Mengenai perdebatan Soekarno dan Hatta perihal pembangunan Masjid Istiqlal di bekas Taman Wilhelmina dan dekat benteng kuno Belanda itu, Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mencatat, Soekarno menyampaikan penjelasan kepada KH Saifuddin Zuhri. Bung Karno mengungkapkan bahwa sebelum kompeni Belanda membangun Taman Wilhelmina dan benteng, di situ berdiri sebuah masjid yang kemudian dirobohkan oleh Belanda untuk membangun dua situs tersebut.
KH Saifuddin Zuhri kala itu datang menemui Soekarno yang justru ingin menyelesaikan pembangunan Monumen Nasional (Monas) terlebih dahulu padahal pembangunan Masjid Istiqlal belum rampung. Namun, Soekarno menegaskan komitmen penyelesaian pembangunan Istiqlal. Ia juga ingin karakter bangsa kokoh lewat pembangunan monumen nasional tersebut sehingga spirit nasionalisme dan religiusitas masyarakat berjalan seiring.
Peletakan batu pertama pembangunan Masjid Istiqlal dulu pernah ada. Tetapi baru dilakukan pada 24 Agustus 1961. Sebelum sukses diresmikan, pembangunan masjid ini tidak lancar karena berbagai macam alasan. Apalagi setelah G30S 1965, terjadi suksesi kepemimpinan di Indonesia. Akhirnya, setelah memakan waktu 17 tahun untuk menuntaskannya, pada 22 Februari 1978, masjid yang dalam bahasa Arab berarti merdeka ini, resmi dibuka.
Penulis: Fathoni Ahmad