Internasional

Nikmatnya Ramadhan di Maroko (1)

Kamis, 24 Mei 2018 | 20:00 WIB

Maroko, NU Online
Sekitar pukul 03.27 pagi subuh sudah jatuh di Maroko. Sementara matahari terbenam pukul 19.30. Praktis sekitar 16 jam lamanya Salsabila Wilhelmina Arwani Amin, pelajar Muassasah Imam Nafie Khos li al-Ta'lim 'Atiq, Tangier, Maroko, itu berpuasa.

Ia mengungkapkan bahwa puasa di Maroko begitu indah. Sebab, kenikmatan berbuka di sana begitu terasa. Terlebih berpuasa saat musim panas.

“Puasa di sini Indah, apalagi pas musim panas, lama. Jadi pas buka kerasa banget nikmatnya,” katanya kepada NU Online, Sabtu (19/5).

Harirah (sup dari sayuran yang sudah dihancurkan), sfoufa (kacang-kacang yang digiling halus dan berasa manis), chabakia (pangsit tapi berasa manis), buah tin, dan buah kurma, katanya, menjadi menu wajib masyarakat lokal. Kue-kue kecil seperti pastel dan breouach menjadi pelengkapnya. Sementara minumannya, lanjutnya, adalah jus dan susu.

Kenikmatan itu juga terasa pada saat tarawih. Meski delapan rakaat, tetapi shalat tarawih yang dilaksanakan di sana begitu panjang. Setidaknya, peraih predikat mumtaz dalam ujian Al-Qur’an di Madrasah Zainab Oum Al-Mu’minin itu mengungkapkan tiga alasan yang membuatnya demikian.

Pertama, minimal setengah juz Al-Qur’an yang dibaca sepanjang tarawih. Kedua, imam tidak membacanya secara cepat, melainkan pelan dan tartil. Alasan terakhir adalah karena riwayat Al-Qur’an yang dibaca adalah Imam Warsy.

Sebagaimana diketahui, banyak hukum tajwid yang dibaca panjang pada riwayat Imam Warsy. Misalnya, mad jaiz munfashil yang dalam riwayat Imam Hafsh boleh dibaca dua harakat seperti mad ashli, Imam Warsy membacanya seperti mad wajib muttashil, sepanjang enam harakat. Pun dengan huruf mim jamak jika bertemu dengan hamzah dan sebagainya. Maka tak aneh jika shalat tarawih di Maroko berlangsung cukup lama.

Selain itu, kata Salsa, Surat Al-Fatihah menurut riwayat Imam Warsy tidak memasukkan basmalah sebagai bagian dari ayat Al-Fatihah. Maka, imam masjid selalu memulainya dengan melafalkan hamdalah.

“Nah kalau di Maroko kan Warsy. Jadi untuk orang Indonesia, tarawih itu pengalaman baru,” katanya.

Usai tarawih, kata Salsa, masyarakat Maroko tidak langsung melaksanakan witir, melainkan melanjutkan makan buka puasa yang tertunda. Sementara witirnya dilaksanakan sebelum makan sahur. “Habis tarawih makan lagi. Makan inti. Kemudian witir sebelum sahur,” ujar alumnus Pondok Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah itu.

Salsa menuturkan bahwa orang Maroko percaya jika lailatul qadar itu jatuh pada hari ke-27 Ramadhan. Maka, pada malam tersebut orang berbondong-bondong ke masjid.

Lebih lanjut, warga Buntet Pesantren Cirebon itu menceritakan bahwa imam masjid menghabiskan waktu satu jam untuk membaca doa qunutnya saja.

“Dan doanya, setelah qunut lama (baca silabe ma-nya panjang) banget. Bener-bener sejam,” ceritanya.

Hal itu bagi orang Indonesia bukan syahdu, malah ambyar, katanya. “Udah lama, gak paham kan doanya apa, karena bahasa Arab,” tuturnya sembari tertawa.

Salsa menerangkan bahwa orang Maroko lebih suka menikmati buka puasa di rumah. Menurutnya, sangat jarang orang yang berbuka di luar. Menjelang maghrib, katanya, jalanan sudah sepi. Warung-warung juga, katanya, sudah tutup. Hal ini justru betolak belakang dengan di Indonesia. “Beda dengan orang Indonesia yang hari pertama aja udah jadwalin bukber,” katanya.

Lebih Indah di Indonesia
Santri yang mendapat beasiswa dari pemerintah Maroko melalui jalur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menyatakan, meskipun berpuasa di Maroko itu baginya indah, tetapi berpuasa di Indonesia jelas lebih indah.

“Tapi jelas lebih Indah di Indonesia,”

Terlebih di Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, tempat asalnya. Sebab, di Buntet Pesantren ada oncom burak (tempe hancur) yang sangat familiar bagi masyarakat Buntet dan sekitarnya. Tempe yang belum sempurna fermentasinya itu biasanya digoreng hingga kering. Biasanya, dinikmati dengan nasi pulen panas dan kecap berisi potongan cabai.

“Apalagi di buntet, ada oncom burak (tempe hancur),” katanya.

Di Maroko ia tak dapat menikmati oncom burak. Untuk mendapatkan tempe saja, ia harus menunggu setidaknya tiga hari setelah pemesanan. Itu pun di Rabat, ibukota Maroko. Sementara ia tinggal di Tangier yang jaraknya cukup jauh. 

“Mungkin kalau tinggal di rabat ada tempe. Itupun harus pesen tiga hari sebelumnya. Karena yang bikin mahasiswi Indonesia. Dan prosesnya kan lama,” pungkasnya. (Syakir NF/Abdullah Alawi)


Terkait