Ar-Razi, Ilmuan Muslim Penemu Cacar dan Pelopor Penggunaan Monyet sebagai Hewan Uji
Senin, 13 Juni 2022 | 11:00 WIB
Sejak abad ke-3 Hijriah, ar-Razi, salah satu ilmuwan muslim telah menggunakan monyet sebagai hewan uji dalam bidang kedokteran.
Penyakit cacar monyet atau monkeypox yang akhir-akhir ini mewabah di berbagai negara mengusik perhatian warga dunia. Sesuai dengan namanya, cacar monyet dikenal pertama kali pada monyet yang digunakan untuk eksperimen di Denmark pada tahun 1958. Tidak hanya pada monyet, di Afrika penyakit ini juga telah ditemukan pada hewan pengerat lainnya seperti tikus dan tupai.
Cacar monyet berbeda dengan cacar lainnya yang mengenai manusia. Cacar monyet berasal dari penyakit hewan yang berpindah ke manusia dengan berbagai sebab. Salah satu hal yang membedakan cacar monyet dengan cacar lainnya adalah adanya pembengkakan kelenjar getah bening pada leher, ketiak, atau selangkangan orang yang mengalaminya. Penyebab cacar adalah berbagai jenis virus yang berlainan. Beberapa jenis cacar lain telah dikenal seperti variola (smallpox), cacar air (chickenpox), dan cacar ular atau herpes zoster.
Penggunaan monyet sebagai hewan uji pada penelitian ilmiah memang dikembangkan oleh peneliti dari barat. Namun, ternyata jauh sebelum para ahli dari Eropa menggunakan monyet untuk eksperimen, ulama muslim telah mendahului peneliti barat itu. Sejak abad ke-3 Hijriah, ar-Razi, salah satu ilmuwan muslim telah menggunakan monyet sebagai hewan uji dalam bidang kedokteran.
Ketika menggunakan hewan uji dalam eksperimen, ahli pengobatan muslim klasik menerapkan beberapa kaidah fikih. Dr. Abul Fadl Mohsin Ebrahim, Guru Besar Studi Islam pada Universitas Durban, Westville, Afrika Selatan menyebutkan sejumlah etika yang diterapkan ulama Islam terhadap hewan eksperimen dalam bukunya sebagai berikut:
“Mereka menerapkan peraturan pertama bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang bersifat menyakiti dan tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan kebutaan atau cacat pada hewan statusnya adalah haram.
Peraturan kedua membolehkan pengujian obat-obatan yang terkait dengan penyelamatan nyawa pada hewan sebelum dinyatakan aman untuk manusia.
Peraturan ketiga menyatakan bahwa tindakan menjadikan hewan sebagai objek eksperimen yang sembarangan (tidak jelas keperluannya) status hukumnya adalah tidak boleh.
Peraturan yang keempat relevan dengan kaidah eksperimen terkini yang meminimalkan penggunaan hewan coba.” (Ebrahim, 2007, Fikih Kesehatan Kloning, Eutanasia, Transfusi Darah, Transplantasi Organ, dan Eksperimen pada Hewan, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta: halaman 42-43)
Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi, atau yang disingkat dengan ar-Razi, merupakan ulama dan pakar kedokteran Islam yang dikenal dengan nama Rhazes di dunia barat. Beliau hidup pada tahun 250-312 Hijriah atau 865-925 Masehi. Meskipun berasal dari Persia, ia dianggap sebagai Galen-nya orang Arab. Galen atau Jalinus dalam Bahasa Arab merupakan tokoh pengobatan yang sangat terkenal di dunia. Karena itu, ar-Razi dianggap sebagai ahli pengobatan yang tak tertandingi dari kalangan muslim.
Di antara kontribusi ar-Razi adalah mengenalkan campuran merkuri atau air raksa sebagai obat cuci perut. Dr. Hassan Hathout, mantan profesor bidang kebidanan dan ginekologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Kuwait, menyebutkan dalam bukunya bahwa ar-Razi mencobakan cairan ini pada monyet sebelum menggunakannya pada pasiennya. (Hathout, 1984, Topics in Islamic Medicine, Kuwait, International Organization of Islamic Medicine, edisi pertama: halaman 84).
Penggunaan monyet sebagai hewan uji oleh ar-Razi sangat masyhur dan disebutkan juga oleh salah satu jurnal ilmiah yang ditulis oleh Ghaffari dkk sebagai berikut:
“Ar-Razi adalah pelopor dalam menguji teorinya pada hewan, dan menyajikan konsep kedokteran eksperimental. Dia melakukan eksperimen pada hewan dengan obat baru, memeriksa efek dan toksisitasnya sebelum meresepkan obat untuk pasiennya. Diperkirakan dia melakukan eksperimen pada hewan untuk menilai efek obat dan efek sampingnya.
Sebagai contoh, ia menyelidiki efek air raksa pada kera. Dia adalah orang pertama yang menyelidiki efek terapi obat menggunakan eksperimen pada subjek hewan. Ar-Razi menulis bahwa meskipun dirinya menyadari dampak merkuri murni pada perut manusia, beliau meninjau dampaknya pada monyet dan memantau penggunaannya pada pasien dengan penyumbatan usus." (Ghaffari dkk, Rhazes, a Pioneer in Contribution to Trials in Medical Practice, [Acta Medico-Historica Adriatica: 2017], halaman 265)
Dalam kutipan tersebut ar-Razi menjelaskan kepada kaum muslimin bahwa ia mengetahui dampak merkuri atau raksa pada manusia. Karena itu, ia berani menggunakannya pada monyet dalam rangka pengembangan penelitian berikutnya.
Selain mempelopori penggunaan hewan uji dalam penelitian, ar-Razi juga dikenal sebagai ilmuwan yang berhasil membedakan cacar variola (smallpox) dengan campak (measles). Karena itu ia dianggap sebagai penemu penyakit cacar variola. Meskipun cacar yang dideskripsikan oleh ar-Razi bukanlah cacar monyet. Namun penemuan terhadap diagnosis cacar tersebut telah menjadi landasan penting bagi dunia kesehatan.
Ar-Razi termasuk orang pertama yang menyadari perlunya sanitasi pasien yang terinfeksi cacar di rumah sakit. Ia menulis kitab Filjudari wal Hasbah, risalah pertama yang pernah ditulis tentang cacar dan campak untuk diagnostik, pembedaan antara kedua infeksi ini, dan menjadi dasar pengobatan baru untuk mendiagnosis dan mengobati cacar serta campak menurut pengalaman pasien di rumah sakit.
Ia juga mencatat bahwa penyebab infeksi ini adalah mikroba yang ditularkan melalui jalur darah. Saat ini, penyebab cacar dan campak diketahui adalah virus. Ar-Razi tidak hanya mengklasifikasikan jenis infeksi berdasarkan lokasi dan waktu munculnya gejala pada kedua infeksi ini, tetapi juga mengukur tingkat keparahan dan kemungkinan perkembangan infeksi berdasarkan warna dan lokasi kedua penyakit itu.
Tulisan ar-Razi tentang campak dan cacar dijelaskan secara tepat berdasarkan pengalaman klinis dan pengamatan di rumah sakit. Ini adalah referensi terbaik dalam sejarah kedokteran untuk mengenali kedua infeksi tersebut. Pandangan ar-Razi dalam kedokteran dan perbandingannya dengan mikrobiologi modern menemukan banyak kesesuaian. (Ashtiyani dan Amounzadeh, 2010, Rhazes Diagnostik Differentiation of Smallpox and Measles, Iranian Red Crescent Medical Journal, halaman 480).
Saat ini, cacar monyet dianggap sebagai penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya tetapi memiliki resiko yang membahayakan. Cacar monyet di Afrika dapat menimbulkan kematian pada 10% orang yang terkena. Perkembangan cacar monyet saat ini mengkhawatirkan banyak pihak karena penularannya yang sangat cepat dibandingkan dengan awal kemunculannya.
Banyak peneliti dunia yang menduga bahwa penularan cacar monyet saat ini disebarkan dari orang yang memiliki perilaku seksual menyimpang. Kontak dengan kulit dan cairan tubuh di antara orang yang membawa virus dengan orang yang sehat selanjutnya dapat menularkan penyakit ini. Cepatnya penularan cacar monyet di berbagai negara membuat ilmuwan meneliti kemungkinan adanya mutasi pada virus penyebabnya.
Nama penyakit cacar monyet dahulu dikenal karena terjadi pada monyet. Seiring dengan perkembangan waktu, penyakit itu berpindah dari hewan ke manusia dan sekarang menjadi penyakit yang menular dari manusia ke manusia. Proses perkembangan penyakit tersebut menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dari kemampuan virus penyebabnya untuk menginfeksi manusia dari waktu ke waktu.
Monyet sebagaimana hewan-hewan lainnya dapat digunakan oleh manusia untuk berbagai keperluan. Meskipun diperbolehkan menggunakan monyet sebagai hewan uji, ilmuwan muslim tetap menjaga adab dan etika terhadap hewan. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh ar-Razi, eksperimen pada hewan didasarkan pada pengetahuan yang cukup agar tidak menyakiti hewan yang digunakan.
Ahli pengobatan muslim klasik telah terlibat dalam eksperimen menggunakan hewan uji. Dengan tetap menjaga kesehatan hewan uji, mereka juga mampu menemukan hal-hal lain yang bermanfaat untuk pengembangan keilmuan kedokteran saat ini. Sebagai bagian dari kaum muslimin yang menikmati karya mereka, selayaknya kita meneladani semangat ilmiah dalam penjagaan kesehatan umat manusia di saat berbagai penyakit muncul seperti dewasa ini.
Yuhansyah Nurfauzi, Apoteker dan Peneliti Farmasi.