Jakarta, NU Online
Deputi Pemberdayaan Masyarakat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) RI Gatot Soebiantoro menjelaskan pola tanam tumpangsari tambak atau silvofishery untuk pelestarian hutan mangrove yang banyak mengalami kerusakan di sejumlah wilayah di Indonesia.
Pola tanam tumpangsari tambak merupakan sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara usaha perikanan dengan penanaman mangrove. Pola ini diikuti oleh konsep pengenalan sistem pengelolaan dengan meminimalkan input dan mengurangi dampak terhadap lingkungan.
Gatot menjelaskan bahwa penanaman tumpangsari tambak dapat dilaksanakan dengan mengombinasikan penanaman mangrove dan kegiatan penambakan. Selain pada tanggul, penanaman juga bisa dilakukan di pelataran tambak atau empang, sesuai dengan rancangan yang telah disusun.
Cara penanaman pada pola ini bisa dilakukan secara langsung dengan menggunakan benih yang telah disiapkan. Sedangkan jumlah tanaman yang akan ditanam, paling sedikit 800 batang per hektar dengan jarak tanam disesuaikan dengan kondisi lapangan yang telah dituangkan dalam rancangan teknis.
"Pola tumpangsari tambak terdiri dari empat macam cara yaitu empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka, dan kao-kao. Untuk meningkatkan keberhasilan penanaman maka dapat dibuat pelindung tanaman," tutur Gatot dalam Sosialisasi Percepatan Rehabilitasi Mangrove Provinsi Kalimantan Timur beberapa waktu lalu.
Setelah dilakukan penanaman, maka bisa dilakukan pemeliharaan. Hal ini bertujuan untuk memperbaiki atau mempertahankan kondisi tanaman dari serangan hama atau penyakit, pasang surut, gelombang, dan sampah.
"Rupanya tambak-tambak yang ada itu di tengahnya memang masih belum diapa-apakan, hanya seperti parit saja di pinggirnya yang dikerjakan. Dan hanya satu pintu keluar-masuk airnya, padahal bisa mengatur secara sirkuler," terangnya.
Rehabilitasi hutan mangrove dalam pola tanam tumpangsari tambak ini secara umum terdapat tiga model. Pertama, sistem empang parit yang mengatur agar vegetasi mangrove berada di tengah dan kolam berada di tepi mengelilingi. Kedua, sistem empang inti yakni dengan posisi kolam di tengah dan hutan mangrove mengelilingi kolam. Ketiga, sistem kombinasi yaitu perpaduan antara sistem empang parit dan sistem empang inti.
"Hal yang terpenting adalah ketika lokasi sudah ketahuan dengan baik dan dianggap sudah pasti maka urusan selanjutnya adalah menyiapkan masyarakat yang harus didesain dengan baik," tutur Gatot.
Ia menerangkan bahwa pada tahun ini, BRGM akan melakukan pemetaan sosial di beberapa provinsi. Sebab hal tersebut menjadi dasar atau landasan dalam upaya melakukan pemberdayaan masyarakat. Dalam hal kegiatan rehabilitasi mangrove, terdapat konsep pembangunan ekonomi yang juga harus merangkum nilai-nilai sosial.
Setidaknya, ada tiga hal yang digarisbawahi BRGM dalam melakukan pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi dan nilai-nilai sosial. Pertama, enabling. Sebuah upaya untuk menciptakan suasana atau iklim agar potensi masyarakat dapat berkembang dengan baik.
"Kedua, empowering yaitu memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Ketiga, protect yakni upaya melindungi atau mencegah agar (masyarakat) yang lemah tidak bertambah lemah. Entah dengan berbagai cara, baik dengan regulasi ataupun dengan proteksi urusan marketing, itu harus didesain," pungkasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan