Jakarta, NU Online
Salah satu ciri dari peradaban adalah keterampilan manusia dalam membangun organisasi untuk melakukan kerja bersama. Organisasi paling vital di dalam sejarah kehidupan manusia adalah negara, sehingga menjadi salah satu simbol peradaban.
Sementara di dalam sejarah Islam yang sangat panjang, terbentang sebuah peradaban negara yang berbentuk kekhalifahan atau kerajaan-kerajaan. Peradaban Islam dalam bentuk kerajaan ini muncul setelah masa kepemimpinan Nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin.
Kerajaan pertama dalam Islam adalah Bani Umayyah yang berdiri pada tahun 661-750 masehi, di Damaskus, Suriah. Lalu muncul Umayyah Spanyol di Andalusia pada 756-1031. Selanjutnya ada kerajaan besar yakni Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad pada tahun 750-1258.
Dari sejarah panjang kerajaan-kerajaan Islam itu, terdapat dua kerajaan yang berhasil mempengaruhi peradaban pengetahuan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Keduanya adalah Bani Mamluk di Mesir dan Bani Utsmaniyah di Turki.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Lembaga Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil), di Halaqah Fiqih Peradaban yang digelar di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Sabtu (17/9/2022).
"Bani Mamluk atau Kerajaan Mamlukiyah adalah kerajaan yang dibangun para mantan budak. Jadi budak dalam Islam bisa membangun kerajaan. Berdiri di Mesir pada 1250-1517 atau sekitar 260 tahun. Itu kerajaan para budak. Saya perlu menyebut karena kerajaan ini penting pengaruhnya besar kepada NU," ungkap Gus Ulil.
Sebab, selama Bani Mamluk berkuasa lahir ulama-ulama yang kitabnya sampai saat ini dipakai sebagai panduan dalam pengajaran fiqih mazhab Syafi’i di pondok pesantren NU. Salah satu ulama besar di era Mamluk yang berpengaruh bagi peradaban NU adalah Imam Nawawi.
"Ini bukan Imam Nawawi Banten. Tetapi Imam Nawawi yang mengarang kitab Minhajut Thalibin, salah satu rujukan utama dalam mazhab Syafi’i. Kitab ini kemudian diringkas oleh Imam Zakaria Al-Anshari, yang juga hidup di era Mamluk, menjadi kitab Manhajut-Thullab, disyarahi sendiri oleh beliau menjadi Fathul Wahab," jelas Gus Ulil.
"(Fathul Wahab) ini kitab yang paling populer di pesantren-pesantren NU di mana-mana. Itu adalah asal-usulnya dari kitab Minhajut Thalibin karya Imam Nawawi yang hidup di era Mamluk," imbuhnya.
Di era Kekhalifahan Bani Mamluk itu juga lahir seorang ulama besar bernama Ibnu Hajar Al-Haitami. Ibnu Hajar ini menulis kitab sangat tebal yang menjadi syarah atau penjelasan dari kitab Minhajut Thalibin. Kitab tersebut berjudul At-Tuhfah Al-Muhtaj.
Ada pula Imam Jalaluddin As-Suyuthi, ulama besar yang hidup di akhir-akhir masa Kekhalifahan Bani Mamluk. Imam Jalaluddin As-Suyuthi ini menulis kitab tafsir, Jalalain, melanjutkan karya yang telah disusun sebelumnya oleh Imam Jalaluddin Al-Mahalli. Kitab tafsir Jalalain itu dikaji di semua pesantren di seluruh Indonesia.
"Jadi Kerajaan Bani Mamluk punya pengaruh besar sekali di dalam sejarah NU. Karena kita sekarang mengikuti mazhab Syafi’I yang ulama-ulamanya sebagian besar hidup di era Mamluk dan mazhab Syafi’i mengalami konsolidasi di era ini," ungkap Gus Ulil, Ketua Panitia Nasional Halaqah Fiqih Peradaban itu.
Bani Utsmaniyah atau Turki Utsmani juga memiliki pengaruh besar bagi peradaban Nahdlatul Ulama. Kerajaan yang merupakan kekhalifahan terakhir di dunia Islam ini berpusat di Turki pada 1299-1923. Salah satu warisan dari Turki adalah Tarekat Naqsabandiyah.
"(Naqsabandiyah) ini adalah tarekat yang berkembang pesat pada era Bani Utsmaniyah dan pengaruhnya ke Indonesia besar sekali. Dari Naqsabandiyah ini kemudian muncul Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) yang salah satu pusatnya adalah di Suryalaya, Tasikmalaya, pimpinan Abah Anom (Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin)," jelas Gus Ulil.
Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah itu merupakan salah satu tarekat penting di dalam Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Muktabarah an-Nahdliyah atau JATMAN. Salah satu pendiri dari TQN adalah KH Muslih Abdurrahman Mranggen, Demak, Jawa Tengah.
"Tarekat Naqsabandiyah itu tersebar luas ke dunia Islam berkat kerajaan Tukri Usmani. Inilah peradaban-peradaban yang pernah lahir di dunia Islam," ungkap Gus Ulil.
Sanad Keilmuan NU
Wakil Katib Syuriyah PCNU Tasikmalaya, Jawa Barat, KH Ali Abdul Kholik menjelaskan sanad keilmuan para ulama besar dunia mazhab Imam Syafi’i hingga kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Penjelasan ini sebagai pelengkap dari pemaparan Gus Ulil Abshar Abdalla.
Imam Syafi’i memiliki kitab Al-Umm. Kemudian kitab itu diringkas oleh Imam Al-Muzani menjadi Mukhtashar Al-Muzani. Lalu kitab ringkasan dari Al-Umm tersebut disyarahi oleh dua imam besar lainnya.
Pertama, Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir dan kitab politik yang berjudul Al-Ahkam As-Sulthaniyah. Kedua, Imam Al-Haramain dalam kitab Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Mazhab.
"Kemudian kitab ini (Nihayatul Mathlab) diringkas oleh Imam Al-Ghazali dalam empat kitab yang luar biasa yaitu Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Basith, Al-Khulasoh. Bahkan Imam Al-Ghazali punya kitab politik yang sangat sufistik yakni At-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk," ungkap Kiai Ali.
Imam Ghazali punya murid bernama Imam Ar-Rofi’i yang meringkas Al-Wajiz menjadi kitab yang bernama Al-Aziz, disebut juga dengan nama lain yakni Fathul Aziz. Ada pula kitab yang meringkas pemikiran Imam Syafi’I yakni kitab Al-Muharrar.
"Setelah itu, lahirlah Imam Nawawi di era Bani Mamluk, beliau pertama kali menyusun penjelasan ringkasan dari Al-Aziz, lahirlah Raudhatut Thalibin. Imam Nawawi itu meringkas kitab Al-Muharrar, lahirlah Minhajut Thalibin," ungkap Kiai Ali.
Kemudian, Minhajut Thalibin itu disyarahi oleh Ibnu Hajar Al-Haitami menjadi kitab Tuhfatul Muhtaj. Ibnu Hajar Al-Haitami punya guru bernama Imam Zakaria Al-Anshari, lalu lahir kitab Manhajut Thullab yang disyarahi menjadi kitab Fathul Wahab. Imam Al-Anshari punya murid bernama Muhammad bin Al-Qasim atau Ibn Qasim, kemudian lahir kitab Fathul Qarib lalu disyarahi oleh Imam Nawawi Al-Bantani menjadi kitab Qutul Habibil Gharib.
Lalu, Ibnu Hajar Al-Haitami juga memiliki murid bernama Syekh Zainuddin Al-Malibari yang punya kitab Qurratul Ain. Kitab itu disyarahi oleh Al-Malibari sendiri menjadi kitab Fathul Muin dan oleh Imam Nawawi Banten menjadi kitab Nihayatuz Zain.
"Kemudian kitab tersebut (Fathul Muin) disyarahi pula oleh Sayyid Abi Bakar, lahirlah kitab I’anatut Thalibin. Diringkas oleh (Syekh Mahfudz) At-Turmusi lahirlah kitab Hasyiyah At-Turmusi. Beliau punya murid namanya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU," jelas Kiai Ali.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan