Nasional

Anak Ibu Susah Diatur? Berikut Cara Rasulullah Mendidik Anak

Sabtu, 23 Juli 2022 | 09:32 WIB

Anak Ibu Susah Diatur? Berikut Cara Rasulullah Mendidik Anak

Ilustrasi anak-anak.

Jakarta, NU Online

Perkembangan mental dan pengetahuan anak akan terus bertambah seiring usianya. Mereka semakin tahu tentang apa yang diinginkan. Hal ini terkadang membuatnya sulit diarahkan. Bahkan, dalam beberapa kasus, anak melawan orang tua sering terjadi di sekitar kita.


Sikap anak yang tidak bisa diatur biasanya ditangkap orang tua sebagai perilaku melawan, memancing emosi, dan dalam keadaan tertentu, orang tua justru memukul si anak sebagai jalan terakhir ‘mendidik’ sekaligus membuatnya jera.


Jika Anda mendapati anak susah diatur, cenderung melawan, berikut ini beberapa tips yang bisa orang tua lakukan untuk mengatasi anak yang suka membantah.


Cara ini bersumber dari Rasulullah saw dalam mendidik anak yang diriwayatkan Sahabat Anas bin Malik sebagaimana tertulis dalam artikel Cara Rasulullah Mendidik Anak Kecil yang Membangkang.


Dalam kitab Sunan Abî Dawud, Imam Abu Dawud Sulaiman memasukkan sebuah riwayat menarik tentang Sayyidina Anas dan Rasulullah saw. Berikut riwayatnya:


 قَالَ أَنَسٌ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَا أَذْهَبُ وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, قَالَ: فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرَّ عَلَى صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي السُّوقِ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَابِضٌ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ اذْهَبْ حَيْثُ أَمَرْتُكَ, قُلْتُ: نَعَمْ أَنَا أَذْهَبُ يَا رَسُولَ اللَّهِ, قَالَ أَنَسٌ: وَاللَّهِ لَقَدْ خَدَمْتُهُ سَبْعَ سِنِينَ أَوْ تِسْعَ سِنِينَ مَا عَلِمْتُ قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا وَلَا لِشَيْءٍ تَرَكْتُ هَلَّا فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا


Anas bin Malik berkata: “Rasulullah saw adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Aku berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan pergi (mengerjakan perintahnya).’ Padahal diriku sebenarnya ingin pergi melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi Allah saw kepadaku.”


Anas berkata: “Lalu aku keluar (rumah). Aku melewati sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di pasar, tiba-tiba Rasulullah saw memegang tengkukku dari belakang, aku melihat kepadanya, dan beliau sedang tertawa, kemudian berkata: “Wahai Anas, pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).” Aku menjawab: “Baik, aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rasulullah.”


Anas berkata: “Demi Allah, sudah tujuh atau sembilan tahun aku mengabdi kepadanya, aku tidak pernah (mendengarnya mengomentari) kesalahan yang kulakukan dalam mengerjakan sesuatu dengan berkata: “Kenapa kau melakukannya begini dan begini,” atau mengomentari (kelalaianku) melakukan sesuatu dengan berkata: “Kenapa kau tidak melakukan ini dan ini.” (Imam Abu Dawud, Sunan Abî Dawud, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt, juz 4, h. 246-247)


Riwayat ini menunjukkan bahwa Sayyidina Anas adalah anak kecil yang memiliki dunianya sendiri, gemar bermain, dan bersenang-senang. Andaipun disuruh melakukan sesuatu, tanpa segan ia mengatakan, “tidak”, meski yang menyuruhnya adalah Rasulullah. Ini bukan hal yang aneh, karena begitulah anak kecil.


Menariknya, Rasulullah tidak menampakkan kemarahan, berwajah masam, dan menghardiknya dengan keras. Cara bersikap Rasulullah saat mendengar kalimat, “aku tidak akan pergi melakukannya,” adalah meninggalkannya.


Sejurus kemudian, ketika beliau menjumpai Sahabat Anas di pasar, beliau memegang tengkuknya dan berkata, “Wahai Anas, pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).”


Sahabat Anas lalu menjawab, “Baik, aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rasulullah.” Ini menarik, karena Rasulullah tidak bertanya, “Apa kau sudah melaksanakan perintahku?”


Jika Rasulullah menanyakan itu, bisa jadi Sahabat Anas bingung menjawabnya, karena ia belum melakukannya. Bisa saja pertanyaan semacam itu membuatnya terpojok dan akhirnya berbohong.


Karena itu, Rasulullah menggunakan pendekatan teladan yang baik dan mudah dimengerti oleh anak kecil, didukung dengan wajah beliau yang sama sekali tidak menunjukkan kemarahan, malah tertawa lepas tanpa beban.


Hal menarik lainnya adalah jeda yang diberikan Rasulullah. Ketika perintahnya ditolak Sahabat Anas, beliau memberinya ruang agar ia tidak merasa ditekan. Anak kecil tentunya berbeda dengan orang dewasa.


Bagi anak kecil, ancaman dirasakan sebagai tekanan, karena fitrahnya memang suka bermain-main. Karena itu, selama sepuluh tahun melayaninya, Rasulullah tidak pernah sekalipun berkata kasar dan menyalahkannya.


Sikap Rasulullah inilah yang menumbuhkan rasa tidak enak hati secara alami dalam perasaan Sahabat Anas. Karena selama bertahun-tahun bersama Rasulullah, ia tidak pernah merasa dipertentangkan dengan keadaan yang membuatnya berbohong, dan dibandingkan dengan anak kecil lainnya hingga menimbulkan perasaan kurang dihargai.


Sikap Rasulullah ini menunjukkan bahwa dunia anak-anak adalah dunia yang tidak bisa dipandang secara menyeluruh dengan perspektif orang dewasa. Karena itu, Rasulullah memperlakukan Sahabat Anas sebagai anak kecil, bukan sebagai orang dewasa, sehingga apapun kesalahan yang dilakukannya, ia tidak menyalahkannya, tapi memberinya contoh yang benar.


Nasihat dan kata-kata memang berarti, tapi bagi anak-anak, contoh keteladanan jauh lebih terasa artinya. Ini bisa dilihat dari sekian banyak riwayat yang menceritakan bagaimana Rasulullah bergaul dengan anak kecil, baik cucunya sendiri, maupun orang lain, termasuk Sayyidina Anas.


Intinya, kita harus memperlakukan anak kecil sebagai anak kecil. Jangan paksakan pandangan orang dewasa kepada mereka. Karena standar kebenaran anak kecil, belum semapan orang dewasa. Kebenaran bagi mereka masih berganti-ganti, sesuai selera kesenangan mereka.


Di samping itu, kita juga harus mengedepankan keteladanan dalam bergaul dengan mereka. Nasihat dan penjelasan tetap harus dilakukan, tapi keteladanan tak bisa ditinggalkan.


Pewarta: Musthofa Asrori

Editor: Fathoni Ahmad