Nasional

Anak Muda NU Minta Muktamar Terapkan Ahwa

Ahad, 24 Mei 2015 | 03:01 WIB

Sleman, NU Online
Anak muda NU meminta konsep Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa) diterapkan dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang Agustus mendatang. Ahwa dianggap sebagai konsep ideal untuk mengembalikan marwah ulama dan menjaga Muktamar dalam rel yang lurus sesuai khittah NU.
<>
Agar tidak ada lagi kesan kiai “diadu” dengan kiai lain dan membawa resiko konflik laten maupun terbuka seusai Muktamar. Terlebih jika terjadi mobilisasi dukungan dengan segala cara.

Hal tesebut dinyatakan oleh anak muda NU yang menggelar Musyawaroh Kubro 2015 “Merembug  Jam’iyyah, Bangsa, Dunia”  di Masjid Pathok Negara, Dusun Mlangi, Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman, Jumat-Sabtu (22-23/5).

Salah satu penggagas acara, Nur Khalik Ridwan mengatakan, konsep Ahwa yang telah dibahas matang dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama di Cirebon tahun 2012 dan di Jakarta tahun 2014, harus diterapkan dalam Muktamar 2015.

Sebab, menurutnya, Ahwa adalah model ideal untuk menata organisasi NU. Apalagi, Ahwa telah dipraktikkan di muktamar-muktamar NU di masa awal perkembangannya.

“Konsep Ahwa harus diterapkan lagi di NU. Harus dimulai dari Muktamar 2015 ini,” ujar pegiat Jamaah Nahdliyin Yogyakarta (JNY) ini.  

Ia memohon seluruh kiai struktural maupun mendorong penerapan konsep yang mendorong supremasi ulama tersebut. Dukungan atas pemakaian Ahwa, sambungnya, harus menjadi suara bulat seluruh ulama dan warga NU.

“Penerapan Ahwa dalam muktamar harus kita dorong menjadi suara bulat. Harus menjadi kesadaran bersama seluruh kiai maupun warga Nahdlatul Ulama,” tandasnya.

Peserta Musyawaroh Kubro Anak Muda NU 2015 asal Depok, Jawa Barat, Imam Malik mengaku risih mendengar ada sebagian pengurus NU di suatu daerah menyatakan menolak penerapan konsep Ahwa dalam Muktamar 2015.

Anak muda NU, kata dia, akan melakukan segala upaya agar konsep ideal tersebut tidak dibegal di tengah jalan. Apabila ada yang menolak penerapan Ahwa, maka pihak yang menolak tersebut perlu diberi sanksi sosial maupun sanksi organisasi.

“Saya risih ada oknum pengurus NU di suatu daerah di Indonesia menyatakan menolak konsep Ahwa. Itu sungguh menyedihkan. Kami merekomendasikan agar pelaku penolakan itu diberi sanski sosial atau dita’zir secara organisasi,” ujarnya.

Ia merasa lelah melihat suasana perebutan kepemimpinan NU di setiap Muktamar. Maka sekarang saatnya kembali ke model musyawarah mufakat.

“Marwah ulama harus dijaga. Jangan terus-menerus memakai model pemungutan suara,” ujarnya.

Voting, lanjut Imam Malik, diharapkan jangan terjadi dalam pemilihan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, apalagi dalam pemilihan Rais Am Syuriyah.

“Kami sudah menyepakati dalam beberapa pertemuan, Muktamar NU besok perlu diupayakan tidak ada voting. Terlebih untuk Rais Am Syuriyah, harus haram memakai voting,” tegas dia.

Hal senada disampaikan  Ahmad Majidun. Aktivis Gerakan Pemuda Ansor asal Kabupaten Magelang ini mengusulkan satu pasal dalam peraturan tata tertib Muktamar.

Yaitu pasal yang mengatur siapapun yang terbukti memakai politik uang dalam Muktamar NU didiskualifikasi apabila terpilih.

“Di Muktamar NU 2015 harus ada aturan yang tegas. Siapapun yang terbukti memakai politik uang dalam pemilihan, dinyatakan batal alias tidak sah,” usulnya.

Musyawaroh Kubro ini difasilitasi oleh Jamaah Nahdliyin Yogyakarta –JNY. Peserta adalah kaum muda nahdliyin dari pelbagai daerah di Indonesia, yang mayoritas pernah menimba ilmu di Yogyakarta. Dihadiri tak kurang 80-an orang. Termasuk Ketua PBNU M Imam Aziz dan putri almarhum Gus Dur Alissa Qotrunnada Munawwaroh Wahid. (Ichwan/Mahbib)



Terkait